Ketua Program Studi Sarjana Politik dan Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati, menilai adanya paslon tunggal sebagai bentuk kegagalan partai politik melakukan fungsi mendasar untuk mencalonkan kader sendiri dalam Pilkada. Dia menilai partai politik belum siap sehingga mereka juga tidak mampu menghasilkan alternatif bagi masyarakat.
Apalagi proses seleksi calon kepala daerah tidak melibatkan masyarakat. Sehingga partai politik seolah enggan membuat terobosan dan membuka ruang-ruang bagi partisipasi publik dalam proses nominasinya.
Faktor lainnya, muncul politik transaksional yang mengharuskan para calon membayar dalam jumlah besar untuk mendapatkan posisi dalam nominasi atau pencalonan. Posisi masyarakat untuk mencalonkan diri semakin sulit dengan beberapa daerah yang dikuasai oleh politik dinasti.
“Dominasi petahana dan politik dinasti di daerah turut menambah penyebab lahirnya calon tunggal,” kata Mada dikutip dari laman ugm.ac.id, Selasa, 24 September 2024.
Meski begitu, masyarakat masih dapat berperan aktif dalam Pilkada 2024, utamanya partisipasi pada tahapan kampanye dan pemungutan suara. Mada berpendapat Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki peran penting dalam mengatur detail-detail regulasi agar masyarakat dapat mengampanyekan kotak kosong.
“Selama ini, KPU tidak mengatur secara eksplisit peraturan mengenai kampanye kotak kosong itu sebab hal ini tidak dilarang, tetapi juga tidak ada pengaturan kalaupun itu dilakukan. Oleh karena itu, menurut saya tantangan ini harus segera direspons oleh KPU,” tegas dia.
Peraturan yang dimaksud Mada merujuk pada aturan KPU terhadap masyarakat yang berkampanye untuk kotak kosong karena statusnya setara dengan calon tunggal. Dia mengatakan ada prinsip dalam pemilu yang harus ditegakkan, yaitu kesetaraan kontestasi sehingga perlu diatur regulasi kampanye kotak kosong.
Apalagi, ketika masyarakat tidak dilibatkan dan bisa menjadi sarana bagi resistensi masyarakat terhadap calon yang tunggal yang disodorkan oleh partai-partai politik. Dalam sejarah Pilkada di Indonesia, kotak kosong pernah mengalahkan calon tunggal di wilayah tersebut.
Mada mengatakan saat itu ada gerakan sosial untuk mengkampanyekan kotak kosong. Sehingga, regulasi perlu dibuat untuk mengakomodasi suara masyarakat.
Dia menekankan semua pihak perlu berkontribusi untuk menghadirkan pilkada yang baik, tetapi masyarakat tetap menjadi inti atau substansi. Ini adalah momentum bagi rakyat dalam memilih kepala daerah berdasarkan visi dan misi yang berkaitan langsung dengan hajat hidup mereka sehari-hari seperti pendidikan dan kesehatan.
Mada mencontohkan dengan kondisi kabupaten dan kota di Yogyakarta saat ini yang erat dengan isu-isu urban, misalnya kemacetan, banjir, isu-isu yang menyasar kelompok-kelompok pertanian, misalnya konversi lahan hijau ke perumahan, soal pupuk, kesejahteraan petani. Belum lagi mengenai konteks anak muda hari ini yang kesulitan mencari tempat tinggal layak dan mendapatkan pekerjaan laik.
“Kini masyarakat yang harus bergerak sendiri agar tidak kehilangan momentum pemilihan ini sebab edukasi politik hampir mustahil datang dari paslon atau partai politik itu sendiri. Masyarakat, utamanya anak muda dapat membantu mengedukasi melalui aktivisme-aktivisme digital maupun langsung,” pesan Mada.
Menurutnya, generasi muda mempunyai peran strategis mengembangkan pendidikan politik bagi pemilih. Apalagi saat ini menjadi titik melakukan perubahan di daerah-daerah sehingga momentum tersebut harus dimanfaatkan.
“Gerakan-gerakan ini dapat dilakukan secara sederhana mulai dari masyarakat akar rumput, dimulai dari keluarga dan teman dekat atau dengan membuat konten-konten edukasi mengenai Pilkada di media sosial,” ujar dia.
Dampak calon tunggal
Mada menyebut calon tunggal di 38 daerah sebenarnya bukan angka fantastis. Menurutnya, angka terlihat lebih banyak disebabkan pelaksanaan Pilkada serentak di seluruh Indonesia.Tetapi, ada peningkatan jumlah paslon tunggal di Pilkada. Pilkada 2015 ada tiga calon tunggal. Angka ini kemudian naik jadi sembilan calon tunggal pada Pilkada 2017 dan 16 calon tunggal di Pilkada 2018. Kemudian, ada 25 daerah dengan calon tunggal pada Pemilu 2020.
“Bedanya, saat itu Pilkada diadakan secara bukan bergelombang sehingga Pilkada sebelumnya tidak dapat dibandingkan dengan Pilkada 2024 yang digelar serentak,” kata Mada.
Meskipun angka tersebut tidak naik signifikan, perlu diperhatikan konteks munculnya calon-calon tunggal tersebut. Misalnya, calon tunggal di wilayah tambang dapat menjadi indikasi awal persekongkolan mayoritas partai politik dan memungkinkan adanya dukungan bohir atau pemodal di balik paslon tersebut.
Apabila paslon tersebut terpilih, hal ini dapat berdampak pada munculnya kompensasi-kompensasi yang harus diberikan kepada bohir atau pemodal itu yang mungkin kaitannya dengan tambang atau dengan pengelolaan kekayaan alam di daerah itu.
"Daerah ini rentan korupsi politik seperti perizinan pertambangan yang dipermudah dan isu-isu keberlangsungan lingkungan, tata kelola sumber daya pertambangan di daerah itu dan seterusnya,” ucap dia.
Dampak kedua yang dihasilkan oleh Pilkada dengan paslon tunggal adalah rawannya mobilisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk memenangkan paslon. Pria yang menjadi panelis pada Debat Pertama Pemilihan Presiden 2024 ini menyebut hal ini rawan terjadi pada daerah dengan calon tunggal yang merupakan petahana.
Menurutnya, politisasi birokrasi yang seperti ini tidak sejalan dengan semangat reformasi birokrasi di Indonesia. Sehingga prinsip-prinsip meritokrasi, profesionalisme, tata pengelola pemerintahan yang baik itu dipertaruhkan.
Baca juga: Calon Tunggal pada Pilkada 2024 Disebut Sengaja Dikondisikan |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News