Jakarta: Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menilai hakim konstitusi terlalu lembek saat sidang sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2019. Ia menilai sikap itu merugikan sejumlah pihak.
Bivitri mengatakan hakim konstitusi tak tegas saat kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memperbaiki permohonan pada sidang perdana. Seharusnya, tindakan itu tak boleh dilakukan.
"Adanya kelonggaran hakim dalam arti menerima dulu perbaikan pemohonan dari 37 halaman jadi 100 lebih halaman," kata Bivitri di Upnormal Coffe, Raden Saleh, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu, 23 Juni 2019.
Baca: Sidang MK Dinilai Jadi Panggung Politik
Bivitri menilai sikap hakim memberatkan kubu Jokowi. Kubu Jokowi-Amin harus langsung memberikan jawaban terhadap dalil yang seharusnya tak diterima majelis hakim.
"Semua dalil ini harus dijawab, seperti halnya sedang ujian kita siap 37 halaman tiba-tiba 100 halaman," ujar Bivitri.
Ketidaktegasan hakim MK kedua adalah ketika kubu Prabowo memberikan bukti yang tidak tersusun rapi. Saat itu, hakim memberikan kelenggangan waktu sampai tengah hari untuk merapikan dokumen tersebut.
Seharusnya, kata Bivitri, hal ini tidak diperbolehkan. Hakim seharusnya langsung menolak bukti tersebut sesuai peraturan yang berlaku.
"Sidang hari Selasa itu pagi kalau kita ingat lagi. Menurut saya raut muka salah satu hakim itu udah kesal, biasanya kalau hakim bukti tidak disusun dengan baik enggak diterima, tapi karena ini high political jadi menerima sampai jam 12 diperbaiki," tutur Bivitri.
Meski sidang PHPU antara Jokowi dengan Prabowo berada dalam level sidang tinggi seharusnya hakim MK tidak boleh seperti itu. Hukum seharusnya tidak memandang bulu.
Baca: 47 Ribu Personel Gabungan Jaga Jakarta Saat Putusan MK
"Saya sebenernya ingin hakim lebih konsisten ke awal. Karena dalam hukum acara tidak ada perbaikan (bukti)," tegas Bivitri.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((DRI))