Jakarta: Jelang hajat akbar
Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, pemilih perlu waspada. Hajatan lima tahunan ini kerap disesaki kabar palsu atau hoaks.
Partnership Manager Mafindo, Dewi Sari, mengatakan hoaks dapat merusak integritas, mempengaruhi, dan memicu konflik. Karena itu, aspek-aspek penting dalam pemilu seperti demokrasi yang sehat, kredibilitas lembaga, dan partisipasi publik penting dijaga melalui literasi.
Dewi mengimbau pemilih selalu melakukan
fact check atau cek fakta. Hal ini dilakukan untuk membantu memastikan keaslian informasi.
"Pencegahan hoaks bisa dilakukan dengan menggunakan pencarian fakta berdasarkan berita resmi dari media mainstream yang terdaftar dia Dewan Pers," kata Dewi saat menjadi pembicara dalam Obral Obrol Literasi Digital bertema Pemilu Damai Tanpa Hoaks, yang digagas Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama GNLD Siberkreasi, akhir pekan lalu.
Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Timur, Nur Aulia Anggraini, mengatakan hoaks kerap beredar terlebih dulu di masyarakat. Hal ini dia pelajari dari pengalaman dua kali pemilu sebelumnya.
Sebaran hoaks amat cepat dibandingkan dengan klarifikasinya. Hasil dari hitungannya, kecepatan rasio klarifikasi satu berbanding sepuluh.
"Artinya, klarifikasi hanya 10 persen dari berita hoaks yang beredar," kata Nur.
Dia melanjutkan, ketika pola-pola munculnya hoaks dapat diidentifikasi, maka penyelenggara pemilu dapat mengorkestrasi pencegahan hoaks. Pencegahan hoaks melibatkan pihak-pihak platform sosial media.
Pengalaman Pemilu 2019, Bawaslu mengidentifikasi hoaks meningkat dua bulan jelang pemilu. Pola ini berlanjut hingga dua hingga tiga bulan setelah pencoblosan.
Waspadai algoritma media sosial
Nur juga mengimbau pemilih untuk mewaspadai algoritma media sosial. Karena, tautan konten hoaks dapat menuntun pengguna media sosial lain turut menaut berita hoaks.
"Etika di dunia nyata dapat diterapkan di media sosial. Karena itu, etika bermedia sosial dapat diterapkan pada konteks elektoral," kata dia.
Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wanseslaus Manggut, mengatakan pola munculnya hoaks dapat dideteksi sejak dini. Masyarakat dapat mendeteksi hoaks melalui judul berita yang bombastis dan mengadu domba.
Tak hanya itu, target hoaks juga dapat dikenali secara kasat mata. Ambil contoh, saat masa pemilu hoaks dapat menyasar daftar pemilih tetap (DPT).
"Dari peta dan pola yang ada, praktisnya kita punya persiapan yang diorkestrasi secara menyeluruh, berdasarkan pattern yang terjadi," kata dia.
Baca: Tahapan Pemilu Mulai Berjalan, Warga Diminta Aktif Tangkal Hoaks
Sebelumnya, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menyebut berita bohong atau hoaks sebagai titik rawan dalam pemilu. Kabar hoaks tak terhindarkan di era digitalisasi saat ini.
“Hoaks atau berita bohong merupakan variabel titik rawan dalam pemilu dan pemilihan yang sifatnya tidak terhindarkan di masa digitalisasi dewasa ini," kata Bagja dikutip dari Antara.
Dia mengatakan dampak utama dari hoaks ialah munculnya polarisasi di tengah masyarakat sebagaimana yang terjadi pada Pemilu 2019. Selain itu, apabila hoaks tidak dapat ditangani maka dapat menurunkan kredibilitas dan integritas penyelenggaraan pemilu.
"Hal ini berakibat pada kualitas pemilu yang menurun dan merusak rasionalitas pemilih," kata Bagja.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((UWA))