Jakarta: Penegasan
Joko Widodo (Jokowi) bahwa Presiden memiliki hak politik dalam Pemilu terus menuai kontroversi. Di antaranya dari Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
Pernyataan Jokowi dinilai merusak netralitas yang diharapkan ada pada sosok Presiden. Jokowi diminta mencabut pernyataan tersebut.
"Mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut semua pernyataannya yang menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan, terlebih soal pernyataan bahwa presiden boleh kampanye dan boleh berpihak,” kata Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo, dalam keterangan resmi, Minggu 28 Januari 2024.
Baca juga:
Jokowi Tegaskan Presiden Boleh Kampanye, Anies: Kurang Elok
Trisno mengakui bahwa terdapat pasal dalam UU Pemilu yang secara eksplisit memberikan ruang kepada Presiden untuk melakukan hal tersebut. Namun Jokowi seharusnya juga mempertimbangkan sudut pandang yang lebih luas.
"Pernyataan Jokowi bahwa presiden dibenarkan secara hukum untuk berkampanye dan berpihak, merupakan statemen yang berlindung dari teks norma, yang dilepaskan dari esensi kampanye dan pemilu itu sendiri," ujar Trisno.
Trisno menegaskan
Presiden seharusnya berdiri di atas dan untuk semua kontestan. Presiden tidak bisa berkampanye untuk satu kontestan dan secara tidak langsung akan menegasikan kontestan lainnya.
"Presiden harus menghindarkan diri dari segala bentuk pernyataan dan tindakan yang berpotensi menjadi pemicu fragmentasi sosial, terlebih dalam penyelenggaraan pemilu yang tensinya semakin meninggi," tegas Trisno.
Sebelumnya, Jokowi kembali menekankan presiden dan wakil presiden boleh berkampanye di pemilu. Jokowi menyampaikan itu sambil menunjukkan dua lembar kertas putih yang menjelaskan Pasal 299 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pasal 299 UU Pemilu menjelaskan aturan presiden dan wakil presiden boleh berkampanye. "Presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye, jelas," ujar Presiden dalam keterangan persnya secara virtual, Jumat, 26 Januari 2024.
Kemudian, Pasal 281 mengatur hal-hal yang tidak boleh digunakan presiden dan wakil presiden saat berkampanye. Khususnya, tidak boleh menggunakan fasilitas negara.
"Harus memenuhi ketentuan, tidak menggunakan fasilitas dalam jabatan, kecuali fasilitas pengamanan, dan menjalani cuti di luar tanggungan negara," tutur dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((DHI))