Jakarta:
Demokrasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Sederet
pelanggaran etik dan penyalahgunaan wewenang dari kalangan elite sudah menjadi konsumsi publik bahkan seperti dibiarkan.
Mulai dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia capres-cawapres yang berujung dipecatnya Ketua MK, Anwar Usman, lalu menteri-menteri yang ikut berkampanye, hingga terbaru putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menetapkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari melanggar etik usai meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
Namun begitu, putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) hanya di ranah etik, dan tidak bisa menggagalkan pencalonan Gibran Rakabuming Raka.
Terkait dengan banyaknya pelanggaran etik dari para elite, ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, mengajak masyarakat untuk mengembalikan demokrasi kepada pemiliknya, yakni rakyat lewat pemilihan umum.
"Saya kira, satu-satunya mengonversi pelanggaran etik menjadi hukuman di bilik suara, sementara waktu," kata Zainal di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta pada Senin, 5 Februari 2024.
Pencoblosan cara kudeta paling konstitusional
Menurut dia, pemaknaan demokrasi selama ini cenderung berasal dari kalangan elite. Saat ini sudah saatnya Indonesia kembali ke demokrasi dalam bentuk aslinya.
"Saya kira harus dikembalikan ke publik. Dalam artian apa? Kita semua harus bergerak. Pemilu itu adalah kudeta yang paling konstitusional. Pemilu mencoblos 14 Februari adalah kudeta paling konstitusional," tegasnya.
Ia menambahkan masyarakat bisa mengudeta pemerintahan melalui pemilu dan tak ada satu orang pun yang boleh marah pada proses kudeta jalur pemilu.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((PRI))