Jakarta: Beragam survei elektabilitas capres dan cawapres 2024 ramai bermunculan dalam beberapa pekan terakhir. Dari kebanyakan hasil-hasil survei tersebut, pasangan ini berada di posisi buncit.
Walau begitu, hasil survei tak membuat para pendukung dan partai serta koalisi yang mengusung Anies dan Cak Imin pesimis. Mereka percaya hasil survei bukan lah parameter mutlak untuk mengukur peluang kedua pasangan tersebut. Optimisme itu pun dikemukakan Ketua DPP NasDem Willy Aditya.
"Riset itu adalah metodologi ilmiah. Tapi kan kita diajarkan critical thinking. Jadi berpikir itu, membaca itu, bukan hanya yang kelihatan di depan," ujar Willy dalam tayangan Suara Reboan di Metro TV, 1 November 2023.
Menurut Willy, ada beberapa hal yang harus dipahami ketika ingin melihat hasil survei. Terutama melihat sumber survei tersebut berasal.
"Ada realitas-realitas yang kemudian menjadi kausalitas apa dan mengapa? Pertama, dari awal, ini terjadi namanya cacat bawaan. Bawaan oroknya sudah salah," lanjutnya.
"Apa yang paling fundamental, yang paling dasar yang salah? Kita tidak bisa membedakan lembaga survei dengan konsultan politik pemenangan. Jadi kalau dia lembaga survei, dia memiliki akuntabilitas publik. Kalau dia lembaga pemenangan, berarti siapa yang order?" tutur Willy.
Pada kesempatan itu, Willy juga bercerita mengenai posisi Partai NasDem yang semula tidak diunggulkan dalam pemilu 2014. Ketika itu, survei elektabilitas menunjukkan Partai NasDem hanya mendapat 2-3 persen suara.
Faktanya, Partai NasDem justru mendapat suara lebih tinggi sebesar 6 persen. Bahkan, suara mereka naik menjadi 9 persen pada Pemilu 2019.
"Anies enggak usah khawatir nih surveynya. Nasdem itu dulu surveinya selalu dikatakan 2 persen, 3 persen. Kemarin 6-9 persen. Nasdem mengalami lompatan yang paling besar," jelas Willy.
Willy pun menampik kekhawatiran soal upaya menjegal atau pun cara curang yang dalam Pilpres nanti. Menurutnya, masyarakat sudah makin kritis dan akan melakukan pemilihan yang sesuai hati nurani.
"Dalam pilpres itu berbeda. Mungkin NPWP itu dalam Pileg, Pilkada itu terjadi. Tapi cuma ada satu presiden di republik ini. Cuma ada satu. Khusus untuk Pilpres, semua rakyat Indonesia enggak mau dibayar," kata Willy.
"Kita lihat pada Incumbent 2004. Pak SBY, partainya baru ikut pemilu. Yang satu partai pemenang pemilu. Kenapa? Orang ingin siapa. Sebelum Pak Jokowi hadir, enggak ada yang nyalip Pak Prabowo. Tapi begitu Jokowi hadir Wah ini Jokowi kita. Jokowi modalnya apa? Sama seperti Anies sekarang. Anies ini kan modal bismillah hasil Alhamdulillah," sambungnya.
Senada dengan Willy, Ketua Majelis Nasional Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI) Untoro Hariadi juga meyakini hasil survei bukan sebagai tolok ukur mutlak. Bahkan, hasil survei itu hanya menjadi pemicu semangat bagi paslon untuk mengevaluasi dan memperbaiki kinerja mereka.
"Kalau saya melihat survei itu kan bukan kata akhir. Survei itu adalah potret pada saat survei dilakukan. Itu berguna untuk kita melakukan evaluasi. Titik mana yang kuat dipertahankan, yang masih lemah diperkuat, yang memang kesulitan kita carikan satu terobosan atau strategi yang memang bisa mendulang suara," kata Untoro.
"Jadi semacam bahan untuk mengevaluasi. Jadi tidak bisa diyakini 100 persen bahwa hasil final adalah itu. Karena apa? Karena ini kan ada dinamika. Itu poin pertama," tambahnya.
Kedua, menurut Untoro, masyarakat kini tidak bisa dipandang semata-mata hanya sebagai tukang coblos. Kini, masyarakat itu semakin sadar bahwa pada dirinya itu ada kekuatan mandat yang mau disampaikan. Maka, mereka akan berpikir harus memberikan mandat kepada orang yang tepat.
"Walaupun berpikirnya tidak seperti ini, orang akan melakukan begitu. Mungkin reflektif. Kalau kita lihat seperti itu, maka dinamika, bahkan jangankan satu bulan, jangankan dua minggu, satu hari hari bisa berbalik arah dan itu wajar. Apalagi, hari ini, dinamika politik sangat cepat sekali," jelas Untoro.
Relawan tak termakan hasil survei
Sementara itu, salah satu Relawan Perubahan, Sahrin Hamid mengungkapkan sikap relawan pasangan Anies dan Cak Imin dalam melihat hasil survei para calon yang didukungnya. Mereka pun tidak akan termakan hasil survei.
"Yang pertama, saya ingin sampaikan bahwa di manapun anjuran orang tua-tua, perspektif agama, perspektif politik demokrasi bahwa memilih pemimpin bukan berdasarkan hasil survei. Jadi rakyat harus menempatkan itu dulu yang pertama. Jadi jangan memilih pemimpin bahwa ada anjuran memilih pemimpin harus lihat survei. Saya kira tidak ada satupun anjuran yang mengatakan bahwa memilih pemimpin berdasarkan hasil survei," tegas Sahrin.
Sahrin memastikan para relawan sudah yakin dengan rekam jejak yang dilakukan kedua paslon tersebut. Sehingga tidak mungkin terseret dengan setiap penggiringan opini atau pun hasil beragam survei.
"Makanya itu adalah bagian dari tadi yang disampaikan penggiringan opini atau ada agenda di balik survei-survei itu. Jadi cara memilih pemimpin tentunya dilihat track record-nya, dilihat apa agenda-agenda perubahannya? Itu yang harus menjadi parameter atau ukuran atau dasar orang memilih," kata Sahrin.
Sahrin meyakini banyak masyarakat menginginkan gerakan perubahan. Tak sedikit di antara mereka pun bersedia menjadi relawan pasangan Amin karena keduanya memiliki potensi membawa perubahan.
"Apapun hasil surveinya, saya kira masyarakat tidak lagi melihat itu. Masyarakat melihat bahwa nasib kita harus berubah, pendidikan kita harus terjangkau, lapangan kerja harus lebih banyak kan. Pangan harus lebih murah sehingga untuk itu, maka dibutuhkan pemimpin yang berani membawa agenda-agenda ini. Bukan pemimpin yang melanjutkan, tapi pemimpin yang membawa agenda perubahan itu," katanya.
Anda juga dapat berpartisipasi mendorong perubahan yang lebih baik melalui website
https://reboan.id/
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((ROS))