Makin terasa nahas kekejian Israel memicu krisis kemanusiaan di Palestina. Lebih dari 4 ribu jiwa di Palestina tewas akibat serangan brutal Israel.
Bukan hanya korban jiwa. Korban luka pun tak kalah banyak akibat serangan Israel. Gara-gara serangan itu pula membuat Palestina dalam blokade total dan mengalami krisis air, listrik, bahan bakar minyak (BBM), hingga kesehatan.
Situasi mencekam di Palestina tersebut diakui salah satu jurnalis asal Indonesia sekaligus aktivis Lembaga International Networking for Humanitarian (INH) di Gaza, Husein LC. Menurut laporannya, serangan-serangan Israel, terutama di jalur Gaza tak pernah berhenti hingga saat ini.
"Serangan masih terus berlanjut, belum juga berhenti dan korban masih terus jatuh. Semakin parah situasi dari hari ke hari dan tadi malam ini sampai hari ini hampir tidak berhenti serangan-serangan, baik dari udara maupun dari tank-tank baja di wilayah perbatasan Timur Jalur Gaza," ujar Husein saat memberikan laporan kondisi terkini di Palestina dalam tayangan program Suara Reboan di Metro TV, pada 25 Oktober 2023.
Husein pun membenarkan krisis kemanusiaan yang terjadi di jalur Gaza. Air dan BBM menjadi krisis paling tinggi yang dialami masyarakat di negara tersebut. Bahkan, krisis air sudah dialami Palestina sejak diblokade sejak 17 tahun lalu.
"Hanya 3 persen dari air bersih yang ada di Gaza ini yang layak untuk dikonsumsi. Nah setelah terjadinya agresi militer sejak 18 hari yang lalu ini semakin memperparah, semakin besar krisisnya. Pasokan logistik dihentikan. Kemudian juga air bersih semakin langka. Kalau kita bicara bensin, sudah tidak ada bensin di Gaza. Solar juga sudah tidak ada," tutur Husein.
Wakil Ketua MPR Fraksi PKS Hidayat Nurahid menyatakan keprihatinannya dengan kondisi kemanusiaan di Palestina saat ini. Ia menilai tindakan keji Israel terhadap Palestina menunjukkan kemunafikan atau standar ganda dunia. Sebab, masih banyak negara di dunia mendukung Palestina.
"Ketika Ukraina membela diri dari serangan Rusia, negara-negara barat membela Ukraina dan mengatakan pembelaan ini adalah hak untuk membela diri. Tapi ketika Palestina membela diri, Gaza membela diri, langsung dicap sebagai teroris. Media dunia banyak kepemimpinan di barat yang kemudian serta-merta menyatakan ini adalah serangan teroris. Padahal, kasus Ukraina diserang Rusia itu baru dua tahunan saja. Tanah yang dikuasai oleh Rusia juga masih sangat sedikit," kata Hidayat.
Baca: Momen Hari Santri, Anies-Cak Imin Janji Sejahterakan Pesantren |
"Palestina, Gaza, di antaranya sejak tahun 1948 sudah dijarah, sudah diserang, sudah diteror oleh Israel. Dan sudah entah berapa juta warga yang sudah menjadi korban akibat dari kejahatan Israel. Tapi tetap saja dunia masih menyebut Israel mempunyai hak untuk mempertahankan diri. Sementara Gaza ataupun Palestina adalah teroris kalau melakukan penyerangan. Standar ganda yang terus berlanjut," lanjutnya.
Hidayat juga menjelaskan penyebab standar ganda yang bisa terjadi dalam kasus Israel dan Palestina ini. Salah satunya, ketidaktegasan PBB menyikapi kasus tersebut.
"Lebih dari 28 resolusi Dewan Keamanan PBB yang dilanggar oleh Israel dan kemudian tidak mendapat sanksi apapun. Akibatnya, Israel merasa bahwa dirinya adalah negara di atas hukum sehingga dia bisa melakukan apapun juga, dan dunia tidak melakukan sanksi hukum apapun," tutur Hidayat.
Namun, Hidayat mengapresiasi langkah protes dan demonstrasi yang dilakukan masyarakat di beberapa negara dunia atas penyerangan Israel terhadap Palestina. Ia menilai langkah ini memiliki efek besar sekaligus membuka mata dunia betapa kejam serangan yang dilakukan Israel.
"Langkah demonstrasi warga ini mempengaruhi karena apapun, kita sekarang berada di era keterbukaan informasi, keterbukaan juga terkait dengan demokrasi, sehingga orang pasti akan mempertimbangkan. Apalagi sampai hari ini belum ada demo besar apalagi yang kemudian mendukung Israel," kata Hidayat.
"Publik pada tingkat internasional disadarkan bahwa sesuatu sedang terjadi. Mudah-mudahan, kalau ini kemudian terus berlanjut dan bahkan di Malaysia, Perdana Menterinya sendiri langsung turun memimpin koreksi dan/atau demonstrasi untuk membela Palestina dan menolak kejahatan dari Israel," sambungnya.
Baca: Nelayan Tak Kunjung Sejahtera, Pemerintah Diminta Serius Cari Solusi |
Hidayat juga mengatakan sudah saatnya negara-negara di dunia bisa bersatu untuk menyelesaikan sekaligus mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina. Termasuk Indonesia. Menurutnya, Indonesia menjadi negara yang sangat dihormati sehingga suara dukungan perdamaian ini akan didengar.
"Indonesia negara yang sangat dihormati, dalam konteks penyelesaian masalah Israel dan Palestina. Kemarin, dalam Konferensi Tingkat Tinggi, negara-negara OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) di Jedah, pernyataan terbuka dari Ibu Menlu luar biasa sangat kuat. Itu satu hal yang kemudian menyemangati tokoh-tokoh yang lain juga. Kita lihat bahwa dari peristiwa yang terjadi terakhir di Gaza ini membuat beberapa negara yang sudah melakukan normalisasi hubungan dengan Israel mendapatkan kritik keras dari warganya sendiri. Karena normalisasi itu kan maksudnya adalah untuk kemudian membantu Palestina menjadi negara yang merdeka," kata Hidayat.
Upaya organisasi sosial Indonesia dukung Palestina
Berbagai upaya dan dukungan terhadap warga Palestina dilakukan oleh salah satu organisasi sosial kemanusiaan di Indonesia, MER-C. Mereka yang telah melakukan pembangunan rumah sakit Indonesia di Gaza akan segera mengirim bantuan untuk masyarakat Palestina.
"Sesegera mungkin. Tapi mungkin untuk masuk sepertinya sulit. Kita paling tidak ada di barisan terdepan, sebagaimana yang diamanahkan oleh masyarakat Indonesia melalui Mer-C. Amanah ini harus sampai segera," ujar Presidium Mer-C Indonesia Faried Thalib.
"Apa yang bisa kita lakukan saat ini? Sebentar lagi akan masuk musim dingin. Kita merasakan waktu itu, awal-awal tahun 2009, musim dingin yang sangat dingin sekali. Itu yang kita harus prepare," katanya.
Faried menceritakan fasilitas kesehatan dan rumah sakit di Gaza hampir kolaps akibat serangan Israel. MER-C berupaya memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan faskes di Gaza seperti baju-baju nakes, obat-obatan, hingga bahan bakar minyak dan solar.
"Lalu sekarang kita lagi cari lagi bahan bakar solar itu cukup jauh hampir 30 kilometer. Mereka bilang ada bahan bakar cuma takut kirimnya. Orang kita juga mau jemput takut, tapi lagi cari jalan. Untuk itu, ikhtiar kita apa yang ada di dalam Gaza kita lakukan," kata Faried.
Anda juga dapat berpartisipasi mendorong perubahan yang lebih baik melalui website https://reboan.id/
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News