Jakarta: Mahkamah Kehormatan
Mahkamah Konstitusi (MKMK) akan mengeluarkan keputusan terkait dugaan pelanggaran hakim MK dalam mengabulkan gugatan batas usia capres/cawapres. Putusan MK ini dinilai sah dan mengikat.
Ketua Umum Relawan Muda Kebangsaan Indonesia (Rembuk Indonesia), Arifuddin Hamid menilai menggugat putusan MK itu sama saja artinya delegitimasi kekuasaan kehakiman. Padahal, dalam konstitusi jelas dan tegas dinyatakan merdeka. Ini artinya Mahkamah Konstitusi punya independensi absolut, yang putusannya final dan mengikat.
Alumni Fakultas Hukum
Universitas Indonesia berharap konteks dinamika ini didudukkan secara proporsional dan berimbang. Munculnya desakan sejumlah pihak untuk mengevaluasi putusan MK itu hanya akan merusak sistem hukum dan kemerdekaan lembaga peradilan.
Kedudukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) hanya terbatas untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta kode etik dan perilaku Hakim MK.
“Kami berpandangan MKMK hanya mengadili perkara etik, bukan mengevaluasi, apalagi membatalkan putusan. Ini tentunya perlu menjadi atensi bahwa MKMK tidak berwenang untuk membatalkan putusan MK, termasuk putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Jika pun, misalnya, MKMK memutus hakim MK melanggar etik, maka tidak berarti putusan MK itu batal demi hukum. Ini dua wilayah yang sangat berbeda, tidak memiliki kausalitas satu sama lain,” ujar Arif di Jakarta, Senin, 6 Oktober 2023.
Padahal kata dia guatan permohonan yang diajukan oleh Saudara Almas Tsaqibbirru Re A bernomor 85/PUU/PAN.MK/AP3/08/2023 berdasar adanya kerugian aktual, atau setidaknya potensial bagi anak muda berkontribusi dalam kepemimpinan nasional.
“Bahwa kemudian dengan adanya Putusan MK membuka jalan bagi Gibran maju sebagai cawapres di Pilpres 2024 adalah konsekuensi demokrasi yang absah. Tidak berarti putusan MK ditujukan khusus untuk Gibran. Kami menilai berbagai tudingan yang ada adalah bentuk kekeliruan berpikir dan tidak logis. Ada kalanya kita mendudukan perkara hukum dan politik secara berimbang,” tutup Arif.
MKMK telah memeriksa sembilan hakim konstitusi terkait putusan batas usia capres-cawapres. Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie menyebut banyak pelanggaran etik yang ditemukan setelah memeriksa sembilan hakim serta pihak-pihak lain. Antara lain, hubungan kekerabatan, hakim yang seharusnya mundur dari perkara, ternyata tidak mundur.
Lalu, hakim berbicara di depan publik mengenai isu yang ditangani. Ketiga, ada hakim yang saking kesal marah kepada publik padahal itu masalah internal.
Pelanggaran lain adalah prosedur registrasi yang loncat-loncat. Misalnya laporan ditarik tapi dimasukkan lagi serta sejumlah pelanggaran etik lainnya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((WHS))