Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik-LIPI
DUA partai yang lahir pada era Orde Baru, Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), selama era reformasi ini seakan tak putus dirundung konflik internal dan bahkan perpecahan. Akibat konflik dan perpecahan itu, telah lahir partai-partai baru.
Golkar melahirkan sempalan partai-partai baru yang lahir pada era reformasi, seperti Partai Keadilan dan Persatuan yang kini menjadi PKPI, Partai Demokrat, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Nasional Demokrat (NasDem), dan partai-partai nasionalis karya pembangunan lain yang kini sudah tiada.
Tidak sedikit pula kader-kader Partai Golkar yang di awal Reformasi 1998 lompat pagar ke partai lain seperti ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
PPP memang sejak awal lahirnya dipenuhi konflik-konflik internal antarunsur partai-partai Islam lama akibat fusi yang dipaksakan pada Januari 1973, khususnya antara kader yang berasal dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Muslimin Indonesia (MI) yang berbasis Muhammadyah.
Konflik makin diperuncing akibat intervensi politik penguasa Orde Baru, khususnya pada setiap Muktamar PPP yang antara lain memilih ketua umum partai (ketua tanfiziah).
PPP yang sempat berjaya di akhir 1970-an juga selalu diganggu rezim Orde Baru melalui isu-isu Islam radikal atau terorisme.
Bahkan pada kampanye Pemilu 1982 terjadi rekayasa politik untuk mendiskreditkan PPP, seakan PPP melakukan penyerangan saat Golkar melakukan kampanye di Lapangan Banteng, Jakarta.
Padahal semua itu dilakukan aparat keamanan dan intelijen dengan menggerakkan massa yang dapat dimobilisasi dengan cara apa pun oleh kalangan intelijen dan ABRI.
PPP dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) merupakan dua partai hasil fusi yang dipaksakan rezim Orde Baru.
Dua partai itu juga tak pernah putus dari propaganda dan intervensi busuk penguasa Orde Baru melalui proses deparpolisasi dan depolitisasi.
Artinya, dengan dalih bahwa partai itu buruk dan membuat sistem politik Indonesia era Demokrasi Parlementer tidak berjalan baik, dan era Orde Lama menjadi biang keladi dari berengseknya pemerintahan Soekarno, penguasa Orde Baru mencuci otak rakyat Indonesia melalui propaganda bahwa Golkar bukan partai politik yang memfokuskan diri pada karya pembangunan.
PPP dan PDI selama era Orde Baru tidak boleh menjadi partai yang bisa menjadi tandingan Golkar.
PPP dan PDI hanya diciptakan rezim militer Orde Baru untuk menimbulkan kesan bahwa masih ada demokrasi pada era Orde Baru yang didominasi militer itu.
Dua partai itu boleh ikut pemilu hanya pelengkap penyerta atau bahkan pelengkap penderita.
PPP pernah berjaya di DKI Jakarta dan karena Jakarta adalah barometer politik Indonesia, tidaklah mengherankan jika PPP selalu menjadi target kampanye hitam aparat keamanan negara agar rakyat tidak memilih PPP.
Seperti juga dialami Golkar dan PDIP, PPP juga mengalami perpecahan internal yang bertubi-tubi di era reformasi.
PPP yang selama Orde Baru adalah satu-satunya partai yang berbasis Islam, sejak 1998 tidak lagi demikian dan lahir partai-partai baru seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK) yang kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), PKNU, dsb.
Makin tua, makin rapuh
Bila kita simak gambaran sejarah singkat di atas, Partai Golkar dan PPP (dan PDIP tentunya) merupakan partai-partai yang lahir dan besar pada era Orde Baru.
Cikal bakal Golkar lahir, tumbuh, dan berkembang saat Presiden Soekarno melakukan serentetan kebijakan mengumumkan Dekrit 5 Juli 1959 kembali ke UUD 1945, membubarkan Konstituante dan DPR serta menggantinya dengan Majelis Permusyawaratan Sementara ( MPRS) dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), membubarkan Kabinet Alisastro Amidjojo II dan membentuk Kabinet Ahli/Zaken Kabinet dipimpin Ir H Djuanda yang berbasis golongan fungsional ABRI, golongan fungsional sipil, dan sedikit anggota partai.
Militer yang mendapatkan angin kekuasaan saat itu berupaya mengimbangi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mendapatkan tempat khusus di hati Soekarno.
Kolonel-kolonel militer yang dekat dengan Bung Karno kemudian membentuk ormas-ormas tandingan PKI. Kolonel Soehardiman membentuk Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI), Kolonel Isman membentuk Kosgoro, dan Kolonel Soegandhi membentuk MKGR.
Tiga kelompok induk organisasi (Kino) itulah yang kemudian bergerak bersama ormas-ormas Islam, Katolik, dan organisasi-organisasi lainnya membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang kemudian menjadi Golkar.
Di era Orde Baru, Golkar adalah partainya penguasa (the ruler's party) dan bukan partai penguasa (the ruling party).
Penguasa Golkar pusat dan daerah berasal dari tiga jalur yang dikenal dengan ABG, yaitu jalur A (ABRI), jalur B (birokrasi), dan jalur G (Golkar) yang bertumpu pada kino-kino yang ada di dalam golkar.
Dominasi militer amat kental di Golkar dan baru di era akhir Orde Baru ada orang sipil yang menjadi ketua umum Golkar yakni Harmoko yang saat itu menjadi Menteri Penerangan.
Namun, semua ketua umum Golkar tidak memiliki independensi.
Semua keputusan Golkar dibuat atas dasar kepentingan atau titah/perintah/sabda penguasa Orde Baru, yakni Presiden Soeharto yang menjadi Ketua Dewan Pembina Golkar.
Di era Orde Baru, Golkar amat teduh, tak ada konflik yang berarti, semua berjalan normal, dan semua aktor politiknya tunduk pada Soeharto. Kalau pun terjadi perebutan kekuasaan di Golkar, semua masih dalam konteks court politics.
Artinya, di dalam court politics tak ada hukum, yang ada adalah sabda penguasa yang menjadi hukum tertinggi; tak ada pula persatuan elite untuk mengganti penguasa karena semua elite saling berkonflik untuk dekat pada penguasa yaitu Presiden Soeharto.
Karena itu, konflik di Golkar dapat diredam dan tidak membahayakan partai dan juga politik Indonesia.
Kuatnya ego
Golkar lahir, dibesarkan, dan menjadi kekuatan politik raksasa pada era Orde Baru. Kemanjaan, proteksi, dan dukungan birokrasi serta militer era itu menjadikan Golkar bagaikan raksasa yang sulit bergerak dan menyesuaikan diri dengan era reformasi yang amat demokratis.
Dengan kata lain, Golkar saat ini bagaikan dinosaurus yang dapat punah karena perubahan situasi dan kondisi alam dan politik.
Kini kita sedang menyaksikan Pohon Beringin yang berproses menuju keruntuhannya.
Konflik di dalam Golkar bukan lagi terjadi antara kubu Aburizal Bakrie (ARB) dan Agung Laksono, melainkan sudah merasuk mendalam di kubu ARB sendiri.
ARB tampaknya berprinsip, jatuh dan hancur satu, jatuh dan hancur semuanya. Tidak ada keinginan ARB dan kelompoknya untuk memikirkan bagaimana nasib Golkar ke depan.
Mereka hanya memikirkan bagaimana kekuasaan yang ada di tangan mereka tidak hilang.
Kubu Agung Laksono setali tiga uang.
Tidak ada keinginan untuk mundur setapak untuk maju dua langkah.
Karena itu, apa pun upaya rekonsiliasi yang dilakukan para tetua Golkar, sulit untuk diterapkan.
Lihat saja bagaimana kesepakatan islah sudah diusahakan Wakil Presiden dan juga mantan Ketum Golkar Jusuf Kalla.
Islah hanya agar Golkar secara resmi bisa ikut pilkada serentak 2015.
Hasilnya, kita bisa lihat sendiri, Golkar hanya memperoleh 49 dari 265 pilkada! Sadarkah para elite Golkar mengenai lampu kuning runtuhnya Golkar? Tampaknya tidak.
PPP setali tiga uang, walau posisinya berbeda dengan Golkar.
Tokoh yang menguasai partai saat ini adalah kelompok Suryadharma Ali, dengan tokohnya, Djan Farid.
Kelompok ini merasa legal karena merasa lebih legal atas dasar konstitusi partai dan menguasai kantor DPP PPP di Jakarta.
Namun, kubu Djan Farid lebih minoritas pendukungnya jika dibandingkan dengan kubu Romahurmuziy alias Romi.
Dua kubu juga sudah sering bicara islah, tapi demi keuntungan politik kubunya sendiri.
Baik Golkar dan PPP, menariknya, berupaya keras menarik hati Presiden Jokowi dengan mengatakan akan mendukung pemerintah.
Namun, embel-embelnya, pemerintah dalam hal ini Menkum dan HAM Yasona Laoli mengeluarkan Surat Keputusan (SK) yang melegalkan susunan DPP kubu ARB dan juga kubu Djan Farid.
Apakah pemerintah terpikat pada rayuan mereka, tampaknya tidak, walaupun pemerintah selalu mengatakan menyambut baik dukungan PPP dan Golkar.
Kini tergantung pada semua pihak yang memiliki kedaulatan dan hak suara di Partai Golkar serta PPP, ke mana langkah dua partai itu selanjutnya. Apakah demokrasi memang tidak kondusif bagi kedua partai ini?
Hanya mereka yang dapat menjawabnya.
Ketika partai-partai lain mempersiapkan rakernas dan konsolidasi menuju pilkada serentak kedua pada 2017 dan Pemilu Nasional serentak pada 2019, para elite Golkar dan PPP masih asyik cakar-cakaran.
Jika islah menuju rekonsiliasi total dan persatuan tak kunjung tiba, kita sedang memirsa dua partai ini menuju ke arah keruntuhannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di