Tulus Abadi, anggota pengurus harian YLKI
PASCAJATUHNYA Air Asia QZ8501, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menggulirkan kebijakan baru, yakni menaikkan tarif batas bawah pada pesawat terbang menjadi 40% dari tarif batas atas.
Bahkan, Menhub diklaim ingin menghapus praktik penerbangan berbasis tarif murah low cost carrier (LCC) demi meningkatkan keselamatan penerbangan di Indonesia.Keselamatan dalam bertransportasi ialah prioritas pertama dan utama. Tak ada toleransi sedikit pun dalam hal itu.
Dalam konteks itu, upaya Menhub untuk meningkatkan keselamatan penerbangan patut diapresiasi. Namun, jika menggunakan instrumen tarif LCC untuk menggapai hal tersebut, itulah yang harus kita sikapi secara kritis.
Benarkah LCC menjadi pemicu rendahnya keselamatan penerbangan di Indonesia, yang sejak 2007--menurut US Federal Aviation Administration (FAA), bertengger pada rating kedua? Sementara keselamatan penerbangan di negeri jiran, Singapura, dan Malaysia bertengger di rating pertama.
Deregulasi penerbangan bermula dari dibukanya keran deregulasi penerbangan di Indonesia pada 2000, penumpang pesawat di Indonesia terus melonjak. Animo masyarakat bermigrasi ke transportasi udara begitu tinggi. Tidak mengherankan jika pada 2015, jumlah penumpang pesawat di Indonesia diprediksi lebih dari 100 juta orang.
Guna menyongsong deregulasi penerbangan dimaksud, salah satu strategi maskapai menggaet konsumen ialah menerapkan penerbangan berbasis LCC. Strategi itu tampaknya cukup ampuh. Terbukti dari total jumlah penumpang pesawat, yakni 60-65% ialah kelompok pengguna budget traveller dan hanya 40% yang premium traveller.
Untuk mewujudkan LCC, umumnya maskapai mengurangi inflight services, seperti tak ada makan minum, tak ada hiburan, tempat duduk dipersempit, pengaturan kelas tempat duduk, tiket promosi, online check-in, dan peniadaan kelas bisnis atau eksekutif.
Di atas kertas, jika pengawasan regulator kuat, maskapai yang menerapkan LCC rasanya tidak mengurangi hal-hal prinsip yang terkait dengan keselamatan penerbangan, misalnya biaya maintenance.
Bandara over kapasitas
Saat industri penerbangan di Indonesia begitu agresif, ironisnya kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia di sektor penerbangan justru sangat tidak mendukung. Lihatlah, jumlah airport (bandara) masih sangat minim, dan over kapasitas.
Nyaris semua bandara besar (dan sedang) di Indonesia mengalami overcapacity. Sebagai contoh, Bandara Soekarno Hatta (Soetta) overkapasitasnya sangat akut.
Bandara Soetta didesain hanya untuk menampung 19-20 juta penumpang per tahunnya, tetapi kini sudah mencapai 59-60 juta penumpang per tahun. Pantas saja potret pelayanan Bandara Soetta bak terminal bus. Padahal, Bandara Soetta ialah `jendela' bagi Indonesia.
Bagi sektor penerbangan, bandara yang memadai menjadi prasyarat utama yang tak bisa ditawar (no bargain).
Pilot minim
Dari sisi sumber daya manusia juga sami mawon. Terbukti, minimnya jumlah pilot. Kini pilot lokal yang mengantongi sertifikat terbang hanya 5.500. Jumlah itu masih sangat kurang dari segi kebutuhan.
Menurut Federasi Pilot Indonesia, masih kurang 9 ribu pilot, sedangkan sekolah pilot yang ada di Indonesia hanya mampu meluluskan 650-an pilot baru per tahun. Untuk menutup kekurangan itu, airline mengimpor pilot asing yang kini jum lahnya tak kurang dari 700-an orang.
Impor pilot asing masih bisa dimaklumi, tetapi kalau yang terjadi ialah `mengeksploitasi' jam terbang pilot, itu persoalan yang sangat serius. Selain pilot, sumber daya manusia yang masih sangat kurang bagi dunia penerbangan di Indonesia ialah petugas pengatur lalu lintas udara air traffic controller (ATC).
Menurut Indonesia Air Traffic Control Association (IATCA), jumlah petugas ATC di Indonesia saat ini hanya 1.200-an. Dari 2.200-an orang yang dibutuhkan (masih kurang 1.000-an).
Bahkan, yang tak kalah ironisnya, petugas pengawas atau inspektur untuk mengawasi kinerja maskapai pun masih kurang. Kemenhub sebagai regulator atau pengawas saat ini hanya memiliki 100 orang principal operation inspector (POI) dan principal maintenance inspector (PMI).
Konon, Kemenhub justru meminjam inspektur maskapai untuk memeriksa maskapai. Bagaimana mungkin mengawasi kinerja maskapai secara independen jika petugas inspekturnya kurang? Padahal, jumlah armada pesawat terus bertumbuh. Semua maskapai berlomba mendatangkan pesawat baru.
Lion Air menargetkan 1.000 pesawat
Itulah berbagai persoalan krusial yang kini membelit industri penerbangan di Indonesia. Bukan hanya persoalan finansial dan manajerial maskapai, melainkan juga justru regulatorlah yang dibelit persoalan, yakni infrastruktur bandara minim dan overkapasitas, teknologi ATC masih kuno, serta kurangnya petugas ATC dan petugas inspektor.
Minimnya jumlah pilot memicu desas desus tidak sedap, yakni pilot `diekspoloitasi' demi mengejar pen dapatan setinggi tingginya. Minimnya petugas inspektur mengakibatkan pengawasan regulator terhadap operator mandul. Regulator nyaris tak berdaya berhadapan dengan operator yang kian agresif itu.
Apalagi, meminjam sinyalemen mantan Menteri Perhubungan era Presiden Abdurrahman Wahid (Budi Mulyawan Suyitno), bahwa operator akan bersih jika regulatornya juga bersih. Ibarat seekor ikan, jika badannya busuk, pasti kepalanya juga busuk. Ada sinyal kuat bahwa oknum regulator bermain patgulipat dengan operator.
Dengan demikian, jika Menhub Jonan meniadakan tarif LCC dengan tujuan untuk meningkatkan keselamatan penerbangan di Indonesia menjadi tidak relevan.
Aspek ketidakberesan infrastruktur bandara, teknologi ATC, pilot, petugas ATC, petugas inspektur, serta lemahnya pengawasan oleh regulator (dugaan patgulipat), yakni jauh lebih krusial mereduksi keselamatan penerbangan di Indonesia daripada persoalan pentarifan.
Tarif murah bukanlah penyebab utama buruknya keselamatan penerbangan di Indonesia dan bukan pula menjadi jaminan untuk meningkatkan keselamatan penerbangan. Maskapai dari negara maju pun lazim menerapkan LCC dan amanaman saja, seperti maskapai di Singapura, Australia, dan Jepang.
Alih-alih menaikkan besaran tarif LCC (menghapus?) hanya akan menggerus hak-hak publik untuk menggunakan moda transportasi udara yang manusiawi, aman, dan terjangkau (affordability). Sektor pariwisata, bahkan pertumbuhan makro ekonomi pun bisa terancam karenanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di