KEINGINAN Koalisi Merah-Putih untuk merebut kekuasaan dengan menguasai daerah tidak sepenuhnya berjalan mulus. Perlawanan datang dari dalam Koalisi Merah-Putih sendiri. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memilih untuk mundur sebagai anggota Partai Gerakan Indonesia karena partainya paling bersemangat untuk mengambil kembali hak rakyat dalam menentukan kepala daerah di Daerah Tingkat II.
Ahok, panggilan akrab Basuki Tjahaja Purnama, berulangkali menyampaikan ketidaksetujuannya akan ide penunjukkan Kepala Daerah Tingkat II melalui Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Cara itu selain mengingkari kedaulatan rakyat, menutup peluang munculnya pemimpin-pemimpin potensial.
Namun Gerindra dan partai politik Koalisi Merah-Putih ngotot untuk mengubah tata cara Pemilihan Kepala Daerah Tingkat II. Alasannya, sistem pemilihan langsung seperti sekarang terlalu mahal biayanya dan bahkan memarakkan politik uang.
Hanya saja banyak pihak melihat motif Koalisi Merah-Putih bukanlah itu. Dengan menguasai parlemen, maka Gerindra bersama partai koalisi, yaitu Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, serta partai nonparlemen Partai Bulan Bintang, bisa leluasa menunjuk kepala daerah yang mereka kehendaki.
Dengan menguasai Kepala-Kepala Daerah Tingkat II, maka Koalisi Merah-Putih akan mudah untuk mengganjal program-program Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Apabila pemerintahan tidak bisa menunjukkan kinerjanya yang baik, maka mudah untuk mengatakan pemerintahan Jokowi tidak kapabel dan pada Pemilihan Umum 2019 mereka akan bisa lebih mudah merebut kursi presiden.
Cara-cara seperti itu sebenarnya bertentangan dengan prinsip demokrasi. Sebab demokrasi diselenggarakan bukan untuk sekadar mendapatkan kekuasaan, tetapi bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kita lihat bagaimana demokrasi diselenggarakan di negara yang sudah mapan sistemnya. Persaingan menuju kursi kepresiden selalu berlangsung sengit. Tetapi begitu pemilihan presiden usai, maka yang kalah akan memberikan selamat dan mendorong agar presiden terpilih bisa menjalankan tugasnya untuk memperbaiki kehidupan masyarakat.
Itulah yang terjadi, misalnya, di Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2000. Calon Partai Demokrat Al Gore mendapatkan suara populer jauh lebih banyak dari calon Partai Republik George W Bush. Namun Al Gore kalah dalam mendapatkan suara elektoral, sehingga sesuai konstitusi yang berlaku di sana Bush-lah yang terpilih menjadi presiden.
Al Gore dan Partai Demokrat tidak terus ngambek dan mencoba menjegal pemerintahan Presiden Bush. Ia malah mendukung Bush agar berhasil menjadi pemimpin AS, karena demokrasi dibangun untuk memperbaiki kehidupan bangsa dan negara.
Cara-cara yang dilakukan Koalisi Merah-Putih tidak sepenuhnya mendapatkan dukungan dari anggota partai koalisi itu sendiri. Banyak yang menyatakan ketidaksetujuannya, paling tidak dengan gagasan untuk menarik kembali penentuan Kepala Daerah Tingkat II melalui DPR.
Selain Ahok yang juga sudah menyatakan keberatan adalah Wali Kota Bogor Bima Arya yang berasal dari PAN. Juga yang tidak mendukung ide itu Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang diusung Partai Gerindra dan PKS.
Umumnya mereka melihat bahwa sistem pemilihan langsung sekarang ini memunculkan banyak pemimpin yang potensial. Memang belum semua Kepala Daerah Tingkat II yang terpilih secara langsung seperti yang diharapkan. Namun ini adalah proses menuju sesuatu yang kita idealkan.
Kita sendiri berpendapat bahwa sistem demokrasi memang bukanlah sistem yang sempurna. Bahkan mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad menyebutnya sebagai "the second worst". Untuk membuat sistem demokrasi itu menjadi ideal dibutuhkan dukungan dari orang yang menjalankannya.
Sistem dan orang adalah dua sisi dari satu mata uang. Sistem dan orang harus saling menunjang agar kemudian sisi negatif baik dari sisi sistem maupun orang bisa dieliminir dan sistem demokrasi bisa mencapai tujuannya yakni menyejahterakan rakyat banyak.
Ahok menunjukkan pribadinya yang tidak bisa basa-basi. Ia menunjukkan ketidaksetujuan dari manuver Partai Gerindra itu dengan menyatakan mundur dan mengembalikan kartu anggotanya.
Bagi orang yang mempunyai prinsip, pasti ia tidak mau untuk dijadikan sekadar sebagai pion. Ketika sesuatu tidak sesuai dengan hati nuraninya, pasti ia akan melawan. Itulah yang dilakukan Ahok dengan mundur sebagai anggota Partai Gerindra.
Sikap Ahok ini bisa menjadi peringatan bagi Koalisi Merah-Putih untuk tidak berbuat sewenang-wenang. Salah-salah sikap itu akan dilakukan oleh kepala daerah lain yang merupakan anggota Koalisi Merah-Putih. Akibatnya, kekuasaan tidak didapat, malah nama baik partai menjadi korban.
Cek Berita dan Artikel yang lain di