Di negara hukum, setiap perkara hukum ialah peristiwa yang lumrah. Selama prosesnya tak menyimpang dari rambu-rambu hukum, siapa pun yang menjadi subjek ataupun objek perkara merupakan hal biasa yang seharusnya disikapi secara biasa pula. Begitu pula semestinya bangsa ini menyikapi setiap dinamika hukum yang belakangan semakin dinamis. Sulit dimungkiri, di tengah kontestasi politik dan rivalitas pilkada, banyak pihak yang bersuara sumbang terhadap sejumlah kasus hukum yang terjadi.
Apalagi ketika kasus tersebut menyentuh peserta pilkada ataupun pendukung dan penentang kontestan tertentu. Suara-suara sumbang itu lantang terdengar ketika Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjadi tersangka kasus dugaan penistaan agama. Kasus itu sudah masuk tahap persidangan dan Ahok telah berstatus terdakwa. Demikian pula tatkala calon Wakil Gubernur DKI Jakarta Sylviana Murni harus berurusan dengan hukum.
Ia tersangkut kasus dugaan korupsi pembangunan Masjid Al-Fauz Kantor Wali Kota Jakarta Pusat dan dana hibah pemprov untuk Kwarda Pramuka DKI Jakarta. Terakhir, suara miring menyesaki telinga publik ketika Rizieq Shihab tersandung hukum. Senin (30/1), pemimpin Front Pembela Islam itu ditetapkan sebagai tersangka kasus penodaan Pancasila dan pencemaran nama baik oleh Polda Jawa Barat atas laporan Sukmawati Soekarnoputri.
Sama seperti ketika menjadikan Ahok tersangka, penyidik tentu tidak asal-asalan melekatkan status yang sama kepada Rizieq. Penetapan dilakukan setelah mereka meminta keterangan 18 saksi, termasuk ahli bahasa, ahli sejarah, ahli filsafat, dan ahli hukum pidana. Rizieq juga sudah diperiksa. Polisi bahkan sampai menggelar tiga kali gelar perkara. Kita percaya bahwa polisi yang tengah memperbaiki diri untuk menjadi profesionalis sejati tak serampangan menangani Rizieq.
Sebagai salah satu penegak hukum, mereka mendasarkan segala tindakan pada pilar-pilar hukum. Tiada kriminalisasi dan penzaliman di sana. Yang penting pula, seperti halnya kasus Ahok dan Sylviana, perkara Rizieq ialah perkara biasa, sangat biasa dalam hukum. Tidak ada yang istimewa dalam perkara-perkara tersebut. Karena itu, publik pantang menyikapinya secara berlebihan.
Sikap berlebihan hanya akan membuat negara yang sudah gaduh ini semakin gaduh, yang ujung-ujungnya mempersulit Republik ini membangun diri. Kegaduhan ialah penyendat jalannya roda pembangunan, terlebih jika kegaduhan itu tak sekadar berisik atau bising kata-kata, tetapi juga berupa tekanan massa. Kita tidak ingin lagi kasus hukum dibalas dengan aksi jalanan. Akan lebih bijak jika ketidakpuasan terhadap kasus hukum dilampiaskan juga lewat jalur hukum.
Memandang kasus hukum dengan hanya kacamata hukum, bukan dengan kacamata lain, kemudian menyerahkannya ke tangan hukum ialah bentuk nyata kedewasaan dalam ber bangsa dan bernegara. Inilah saatnya kita memperlihatkan kedewasaan itu. Sudah teramat lama Republik ini direpotkan kegaduhan demi kegaduhan yang tak perlu. Sudah teramat banyak energi dan stamina bangsa ini tersedot oleh sikap sebagian anak bangsa yang kontraproduktif dan gampang terpengaruh hasutan destruktif.
Kita berharap prinsip mulia bahwa hukum ialah panglima tak hanya gagah di kata-kata. Ia harus direfl eksikan dalam tindakan nyata dengan memandang semua orang sama di mata hukum dan memercayakan setiap perkara hukum ke penegak hukum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di