MEDAN, ibu kota Provinsi Sumatra Utara, kita kenal sebagai Kota Berbilang Kaum. Berbagai etnik hidup berbaur di kota ini. Ada etnik lokal, yaitu Melayu, Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak, Toba, Dairi, dan Nias. Ada pula etnik Nusantara, yakni Jawa, Aceh, dan Minang. Tak ketinggalan etnik mancanegara, seperti Tionghoa, India, dan Arab, eksis di Kota Medan.
Mereka menganut berbagai agama. Ada Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Sikh, termasuk agama asli semisal Parmalim. Sebagai kota multietnik, Medan relatif sukses mengelola keberagaman selama berpuluh-puluh tahun. Relasi antarkaum terbilang baik. Bisa dikatakan Medan tak pernah menghadapi konflik komunal hebat seperti daerah lain, seperti Ambon atau Poso.
Akan tetapi, di balik itu, kerusuhan komunal berbau rasial senantiasa mengintai. Bahaya laten kerusuhan berbau etnik, religi, ras, dan antarkelompok selalu mengancam. Ibarat api dalam sekam, sepercik bahan bakar saja sudah cukup untuk memantik kebakaran besar. Gesekan antarkaum sekecil apa pun bisa berubah menjadi konflik komunal. Itulah sebabnya selalu ada pihak-pihak yang berupaya mengoyak keberagaman di Kota Medan. Caranya ialah dengan mencoba menghadirkan stigma negatif bahkan kebencian terhadap kelompok tertentu.
Paling mutakhir ialah percobaan serangan bom bunuh diri di sebuah gereja di Jl Dr Mansyur, Medan, kemarin. Di rumah pelaku, polisi mendapati simbol kelompok agama tertentu. Simbol semacam itulah yang bisa memicu stigma negatif dan kebencian kepada agama tertentu. Kebencian bisa memantik kekerasan psikologis, verbal, ataupun fisik terhadap kelompok itu.
Bila kelompok tersebut melakukan perlawanan, yang terjadinya berikutnya ialah kerusuhan atau konflik komunal. Ini tentu tidak kita kehendaki terjadi.
Cara terbaik untuk mencegahnya ialah menyerahkan penanganan kasus tersebut kepada polisi. Kita menuntut polisi menuntaskannya dan menindak keras pelaku secara hukum. Serangan bom terhadap gereja di Medan bukan kali ini saja terjadi. Serangkaian teror bom terhadap sejumlah gereja di sana juga terjadi sepanjang tahun 2000.
Namun, meski teror bom tersebut menyasar simbol agama tertentu, itu semua tak kuasa menghadirkan kebencian terhadap kelompok tertentu atau menciptakan konflik komunal di Medan. Salah satu pencegahnya ialah apa yang disebut cross cultural affiliation atau persilangan lintas kultur, baik melalui perkawinan maupun ikatan-ikatan sosial lain. Cross cultural affiliation akan menghadirkan perasaan bahwa kita adalah Indonesia. Oleh karena itu, kita harus merawatnya. Mari kita rayakan keindonesiaan kita di Medan dan di sekujur Nusantara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di