Contoh paling nyata praktik itu ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang mengatur jumlah peserta dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), juga Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015. Keduanya, pada intinya, tidak mengakomodasi calon tunggal dalam pilkada karena peserta minimal diikuti dua pasangan calon. Apabila hanya satu pasangan calon, pilkada ditunda.
Secara substansi, beleid dalam lima pasal di UU Pilkada (Pasal 49 ayat 8 dan 9, Pasal 50 ayat 8 dan 9, Pasal 51 ayat 2, Pasal 52 ayat 2, serta Pasal 54 ayat 4, 5, dan 6) serta peraturan KPU itu secara jelas telah menghambat rakyat menyampaikan hak konstitusionalnya. Aturan itu menghilangkan hak rakyat untuk dipilih ataupun memilih. Daulat rakyat pun harus rela tersandera oleh aturan prosedural yang kaku dan tak mengindahkan prinsip demokrasi.
Dalam tataran praktis juga menimbulkan kontroversi.Ketentuan bahwa pilkada harus diikuti minimal dua pasang calon telah menciptakan banyak hal kontroversial, seperti munculnya skenario `calon boneka' sebagai penantang calon kuat. Aturan itu juga membuka ruang bagi partai politik melakukan penjegalan dengan tidak mengusung calon lain sehingga pilkada ditunda.
Oleh karena itu, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan terhadap uji materi lima pasal dalam UU Pilkada dan menyatakan mengakomodasi calon tunggal dalam pilkada serentak pada Desember 2015 merupakan sebuah terobosan penting demokrasi yang mesti kita dukung. Dalam putusan tersebut, hakim konstitusi menilai pemilihan kepala daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon (dapat) dilakukan dengan memberi kesempatan kepada rakyat untuk setuju atau tidak setuju melalui surat suara yang didesain sedemikian rupa. Mekanismenya bukan dengan kotak kosong, melainkan lebih mirip pemilihan dengan sistem referendum.
Keputusan MK itu jelas amat diharapkan mampu memecah kebuntuan pilkada di sejumlah daerah yang disebabkan oleh persoalan calon tunggal. Dalam perspektif lain, inilah cara MK menyelamatkan kedaulatan rakyat yang berpotensi tersumbat akibat praktik demokrasi yang tak seirama dengan prinsipnya. Bila UU Pilkada dan peraturan KPU disebut telah merampas hak rakyat, dengan keputusan ini, hak tersebut telah dikembalikan.
Pada saat yang sama, MK juga menganulir ketentuan Pasal 41 ayat 1 UU Pilkada yang mengatur syarat dukungan bagi calon kepala daerah jalur independen didasarkan pada jumlah penduduk. Kini dukungan bagi calon kepala daerah jalur independen tidak lagi didasarkan pada jumlah penduduk, tetapi daftar pemilih tetap (DPT) pada pemilu sebelumnya.
Dengan keluarnya dua keputusan uji materi di MK tersebut, dapat diartikan bahwa meskipun negara tidak boleh melarang munculnya calon tunggal dalam pilkada, kemungkinan untuk itu tetap harus diminimalkan. Salah satunya dengan cara memperingan syarat calon perseorangan atau calon independen untuk maju dalam pilkada.
Demokrasi memang bisa dan boleh ditafsirkan dengan berbagai sudut pandang. Namun, yang mesti selalu dijunjung tinggi ialah hak rakyat untuk bisa dipilih dan memilih.Itulah hakikat daulat rakyat yang dijamin oleh konstitusi.