NAMANYA memang masa tenang. Akan tetapi, di masa itulah sejatinya periode paling rawan dalam seluruh tahapan pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah (pilkada). Dalam konteks pilkada serentak 2017, masa tenang itu akan berlangsung 11-14 Februari.
Masa itu tidak saja rawan karena pasangan calon dan partai pendukung akan terus berusaha menuai kemenangan di saat-saat akhir sebelum pencoblosan dengan berbagai cara, beribu siasat. Yang seperti itu sudah jamak dilakukan, tak jarang rambu-rambu pun dilanggar, bahkan ditabrak.
Masa tenang juga rawan karena boleh jadi akan dimanfaatkan sekelompok masyarakat untuk menggelar aksi atau demonstrasi yang judulnya terkesan tak terkait dengan pilkada, tapi sesungguhnya kental dengan aroma kampanye dan kepentingan pilkada.
Sulit bagi kita untuk tidak mengatakan bahwa aksi-aksi semacam itu, yang dilakukan di masa tenang, erat kaitannya dengan pilkada. Dengan bungkus judul atau tema apa pun, aksi yang mengerahkan massa dalam jumlah besar amat mungkin hanyalah kamuflase, yang pada akhirnya diarahkan untuk mengajak masyarakat agar mendukung atau menolak keberadaan calon tertentu.
Itu tak bisa dipandang sepele karena taruhannya ialah stabilitas menjelang pilkada. Bahkan ketika unjuk rasa di masa tenang itu betul-betul tidak ada hubungannya dengan pesta demokrasi, tetap saja ada potensi yang dapat mengganggu stabilitas keamanan dan politik. Apalagi bila aksi massa di masa tenang disusupi agenda-agenda politik pilkada, tentu ekses gangguannya akan lebih besar. Semestinya inilah yang perlu dicermati dan diantisipasi.
Upaya antisipasi itulah yang kita lihat dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto yang menginginkan tidak ada pengerahan massa saat masa tenang pilkada. Hal yang sama ia minta juga kepada para pengguna media sosial agar memiliki kesadaran diri untuk tak mengunggah konten yang bersifat sensitif saat masa tenang.
Larangan itu tentu saja bukan dalam konteks mengekang kebebasan berpendapat yang sangat dihormati dalam iklim demokrasi di negara kita. Larangan itu juga bisa dipahami karena sudah sewajarnya bila di masa tenang, mata pemerintah harus lebih awas menatap, kuping dibuka makin lebar, dan hidung harus jeli mengendus bau busuk.
Dalam perpektif yang lain, menjaga kesadaran diri juga merupakan bentuk partisipasi publik dalam koridor demokrasi yang sehat. Saat masa kampanye, silakan berjualan, mengecap sepuas-puasnya sesuai dengan aturan yang berlaku untuk menarik pemilih. Namun, saat masa tenang datang, mari kita tahan diri dari aktivitas yang menimbulkan banyak persepsi.
Betul yang dikatakan Ketua KPU Juri Ardiantoro bahwa masa tenang pilkada hendaknya dilalui tanpa aktivitas atau gerakan yang membuat persepsi macam-macam tentang pilkada.
Masa tenang yang hanya selama empat hari itu harus dihormati untuk mempersiapkan seluruh pemilih menggunakan hak pilih mereka sekaligus memberi waktu berpikir bagi mereka untuk memantapkan pilihan. Masa tenang jangan direcoki dengan ajakan, desakan, dan paksaan yang justru tidak menenangkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
