Setiap warga berhak mendapatkan perlindungan negara dari segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan seksual. Segala bentuk kekerasan itu merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan yang harus dihapus negara. Negara melindungi warganya dari segala bentuk kekerasan melalui instrumen hukum. Akan tetapi, harus jujur diakui, sistem hukum di Indonesia belum sepenuhnya menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Sanksi hukuman pun bahkan tidak setimpal dengan perbuatan. Ambil contoh pelaku kejahatan seksual terhadap anak dijerat dengan hukuman ringan. Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan hukuman bagi pelaku kejahatan ialah 3 hingga 15 tahun penjara saja. Sementara itu, berdasarkan KUHP, pelaku pencabulan anak maksimal dihukum 9 tahun penjara.
Karena itulah pembaruan hukum sangat mendesak dilakukan, yang bertujuan memberikan keadilan bagi para korban kejahatan seksual melalui tindakan yang tegas bagi para pelaku atau predator seksual. Pembaruan hukum juga diharapkan mampu memberikan dampak pencegahan yang memungkinkan untuk menekan kemunculan kasus-kasus kekerasan seksual secara berulang.
Pembaruan hukum itu mencakup pencegahan, perlindungan bagi korban, penanganan, dan pemulihan korban kekerasan seksual yang dilaksanakan pemerintah, pemerintah daerah, badan pendidikan, lembaga masyarakat, dan keluarga. Dalam perspektif itulah pemerintah dan DPR selaku pembuat undang-undang diminta segera membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah lebih dari 2 tahun diusulkan, tapi hingga kini tak kunjung masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Pembuat undang-undang sebenarnya tidak perlu repot-repot menyiapkan draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena naskah akademiknya sudah disusun Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Pemerintah dan DPR cukup punya kemauan untuk membahasnya, minimal menginisiasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk Prolegnas. Pemerintah dan DPR selama ini hanya bersikap reaktif, getol bicara RUU Penghapusan Kekerasan Seksual saban terjadi kasus kekerasan seksual. Teranyar ialah saat merespons kasus pemerkosaan terhadap siswi SMP di Rejang Lebong, Bengkulu, yang diperkosa hingga tewas oleh 14 orang.
Instruksi Presiden Joko Widodo kepada jajarannya untuk menjadikan penanganan kejahatan seksual sebagai prioritas utama harus menjadi momentum pembaruan hukum. Fokus pemerintah saat ini ialah menyelesaikan peraturan pemerintah pengganti undang-undang terkait dengan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. Dua hal penting diatur dalam perppu itu. Pertama soal mematikan saraf libido dan kedua tentang hukuman seumur hidup dan mati. Rencana penerbitan perppu itu sudah muncul sejak lama, tetapi sayangnya belum rampung hingga sekarang.
Daripada menerbitkan perppu yang masih perlu minta persetujuan DPR, jauh lebih elok jika pemerintah dan DPR memprioritaskan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Titik pijak pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ialah kekerasan seksual merupakan kejahatan luar biasa yang harus ditangani secara luar biasa pula. Karena itu, sanksi pidana pun harus luar biasa, mulai mematikan saraf libido, memublikasikan wajah pelaku, hingga menjatuhkan hukuman mati. Hanya itu cara melindungi korban dan mencegah kekerasan seksual berulang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
