Bukan cerita baru sebetulnya bila lembaga pemasyarakatan (LP) disebut kerap mengistimewakan narapidana berkocek tebal untuk mendapatkan fasilitas di dalam LP yang melebihi seharusnya. LP amat sering menampilkan lunturnya rasa malu para pengelolanya dengan memanjakan sebagian penghuni yang berduit.
Perlakuan khusus terus mereka berikan kepada pihak-pihak yang berani bayar banyak meskipun razia, sidak, bahkan sorotan media terhadap praktik suap-menyuap di penjara itu sering dilakukan. Selama ada uang, semua bisa diatur. Begitulah kira-kira fatsunnya.
Kini temuan Ombudsman RI kian memperparah realitas itu.
Dari hasil kajian investigatif Ombudsman di empat LP, yakni LP Kelas IIA Pekanbaru, LP Kelas IIA Bekasi, LP Perempuan Kelas IIA Palembang, dan LP Kelas IIA Bogor, terkuak fakta bahwa praktik transaksional di dalam LP rupanya tak hanya terkait dengan fasilitas, tapi juga menyangkut nasib narapidana dalam mendapatkan hak-hak mereka.
Hak-hak warga binaan, seperti remisi, pembebasan bersyarat, dan cuti menjelang bebas, yang mestinya bisa didapatkan cuma-cuma oleh napi yang memenuhi syarat, tak luput pula dijadikan komoditas transaksi. Pada fase awal, hak-hak itu biasanya sengaja diabaikan pejabat yang berwenang di LP. Sosialisasinya pun sangat minim.
Fase berikutnya, pemberian hak dipersulit. Proses pengurusan hak-hak narapidana dibikin berbelit. Ujung-ujungnya ialah imbalan. Napi mesti mengeluarkan biaya yang tak sedikit demi memuluskan pengajuan mereka mendapatkan hak. Di salah satu kasus yang dicatat Ombudsman, seorang napi bahkan harus mengeluarkan duit hingga Rp3 juta untuk mengurus hak pembebasan bersyarat.
Potret realitas itu pun wajar bila membuat kita langsung menduga-duga, jangan-jangan selama ini hak-hak itu lebih banyak diberikan kepada terpidana yang sebetulnya belum memenuhi syarat, tapi berani menyetor fulus yang besar. Jangan-jangan remisi yang kerap diberikan saat perayaan HUT kemerdekaan RI itu banyak diobral kepada orang-orang yang berani bayar mahal.
Jika itu benar terjadi, makin sempurnalah wajah bobrok penjara di Republik ini. Sudahlah penuh sesak karena overkapasitas, menjadi tempat bersemayamnya banyak bandar narkoba, dan sebagai persinggahan nyaman bagi penjahat kambuhan, penjara juga menjadi tempat para pejabat dan aparatus lancung yang tega menginjak warga binaan pemasyarakatan demi keuntungan materi.
Penjara tak ubahnya membiarkan sistem yang korup terus terjadi. Tidak bisa tidak, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum dan HAM) harus segera bertindak dan bergerak membenahi pelayanan di LP. Tak perlu lagi melempar dalih-dalih pembelaan diri. Apalagi, temuan itu ialah hasil dari lembaga negara yang memang diberi kewenangan mengawasi pelayanan publik oleh penyelenggara negara dan pemerintahan.
Penjara harus dilengkapi sistem pengawasan ketat tidak hanya bagi terpidana, tetapi juga terhadap sipir penjara. Prosedur kerja standar terkait dengan pemberian fasilitas dan hak-hak terpidana harus dijalankan dengan rigid sehingga sanksi keras bisa diterapkan kepada mereka yang melanggar. Jangan sampai penjara malah menjadi semacam surga bagi para terpidana kaya serta pejabat dan aparat rakus.