KABAR kematian puluhan anak akibat campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat, Provinsi Papua, menyentak kita. Belakangan jumlahnya pun bertambah hingga menjadi 63 anak. Ingatan pun melayang ke 2009. Ketika itu, bencana kelaparan membuat lebih dari 100 warga Kabupaten Yahukimo, Papua, meninggal. Empat tahun sebelumnya, di wilayah yang sama, 55 warga meninggal, juga akibat kelaparan.
Setelah hampir satu dekade, kasus serupa kembali terkuak meski di kabupaten yang berbeda. Kondisi itu membuat kita semakin sadar bahwa persoalan gizi buruk hingga kelaparan, khususnya di Papua dan Papua Barat, belum tuntas terselesaikan. Bahkan jumlah korban sangat mungkin jauh lebih banyak ketimbang yang telah ditemukan.
Banyak wilayah di kedua provinsi tersebut yang masih sulit diakses sehingga luput dari perhatian. Campak di sebagian besar wilayah Indonesia sesungguhnya bukan lagi penyakit yang mematikan. Namun, gizi buruk membuka gerbang masuknya berbagai penyakit, termasuk campak, hingga berakibat fatal.
Apalagi jika ditambah minimnya cakupan imunisasi. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, cakupan imunisasi campak di Kabupaten Asmat pada 2016 tercatat 62,6% dan sepanjang Januari-Juni 2017 hanya 17%. Hal itu cukup mengherankan, bagaimana bisa terjadi, sedangkan di 2014 cakupan imunisasi di wilayah itu mencapai 110%.
Artinya, kendala seperti akses yang sulit ataupun sumber daya kesehatan yang minim seharusnya bisa teratasi. Dengan catatan, ada usaha keras untuk menjangkau sasaran. Lalu apa yang salah? Perilaku yang paling salah sekaligus memprihatinkan ialah menjadikan kasus-kasus kemanusiaan seperti yang terjadi di Asmat sebagai komoditas politik.
Menuding sana-sini demi memuluskan jalan menuju kursi kekuasaan. Tidak ada solusi yang ditawarkan, tidak ada pula empati yang ditunjukkan. Semua pihak perlu wawas diri, semua perlu introspeksi. Di sisi lain, penanganan yang cepat sangat dibutuhkan. Dalam jangka pendek, segala upaya harus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa agar jangan sampai korban jiwa terus berjatuhan.
Setelah itu, bukan berarti urusan selesai. Harus disadari, penuntasan persoalan gizi buruk dan kesehatan memerlukan kesinambungan penanganan dan pengawasan tanpa henti. Bila tidak, apa yang terjadi di Yahukimo kemudian di Asmat bakal terus berulang. Di situ pemerintah daerah berperan paling besar untuk mengatasi.
Itu pula gunanya triliunan dana otonomi khusus yang digelontorkan pusat untuk Papua dan Papua Barat. Kasus Asmat mengindikasikan betapa lemahnya kepemimpinan dan pengelolaan anggaran oleh kepala daerah. Jumlah dana otonomi khusus, berapa pun yang diberikan, tidak akan bisa mengubah nasib warga Papua.
Porsi dana itu pun akan berkurang dalam waktu 5-10 tahun lagi sesuai dengan amanat Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat. Ujungnya kembali lagi ke persoalan pendidikan yang membentuk karakter, mentalitas, dan kompetensi. Kerja masih jauh panggang daripada api.
Pembangunan infrastruktur yang jorjoran dilakukan pemerintah pusat merupakan bagian dari upaya membuka akses wilayah-wilayah terpencil. Selanjutnya ialah membenahi sumber daya manusia. Akan tetapi, pusat tidak bisa bekerja sendirian. Justru pemerintah daerah yang dituntut proaktif melanjutkan dasar yang telah diletakkan pusat sesuai dengan karakteristik setempat demi kesejahteraan warganya.
Cukup sampai di Asmat. Jangan ada lagi satu pun jiwa di Tanah Air yang melayang karena kelaparan dan gizi buruk.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
