SETELAH Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mencokok Gayus Halomoan Tambunan pada 30 Maret 2010, kita mengira bahwa modus korupsi yang dilakukan pegawai Ditjen Pajak itu tidak akan lagi diulangi para sejawatnya. Akan tetapi, perkiraan itu keliru besar. Modus itu ternyata masih dihidupkan sejawat Gayus enam tahun kemudian.
Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak Handang Soekarno-lah yang meng-copy paste modus yang membuat nama Gayus legendaris dalam sejarah korupsi di Ditjen Pajak. Dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT), Senin (21/11), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membekuk Handang Soekarno saat menerima suap dari Direktur PT EK Prima Ekspor Indonesia R Rajamohanan Nair.
Dari lokasi OTT disita uang sejumlah US$148.500, atau setara Rp1,9 miliar. Uang sejumlah itu merupakan panjar tahap pertama dari total suap Rp6 miliar kepada pejabat Ditjen Pajak untuk memutihkan kewajiban pajak sebesar Rp78 miliar. Tertangkapnya Handang Soekarno dalam sebuah OTT kasus dugaan korupsi oleh KPK itu jelas sangat kontraproduktif dengan citra yang tengah dibangun Ditjen Pajak sebagai lembaga yang mati-matian menggenjot penerimaan negara di tengah lesunya perekonomian.
Kasus itu juga secara sangat serius mencederai prestasi Ditjen Pajak dalam program amnesti pajak yang dipuji sebagai salah satu yang paling sukses di dunia. Di kala wajib pajak mulai memercayai aparat pajak, seperti tecermin dalam kesuksesan program amnesti pajak, pada saat yang bersamaan ada aparat pajak seperti Handang Soekarno yang mengkhianati kepercayaan wajib pajak yang telah taat menunaikan kewajiban kepada negara.
Suap Rp6 miliar untuk menghapus kewajiban sebesar Rp78 miliar seperti yang dilakukan Handung di Ditjen Pajak memang modus lama yang untuk kesekian kalinya terjadi kembali. Ironisnya bukan hanya salah secara moral dan hukum, kejahatan itu juga dilakukan pada saat yang fatal, ketika negara tengah berupaya mengumpulkan penerimaan secara susah payah akibat lesunya kondisi perekonomian.
Karena itu, kita sangat menyesalkan terjadinya kasus tersebut. Kita memahami kekecewaan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati atas kasus yang menimpa bawahannya itu. Kita percaya kekecewaan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia yang dituangkan dalam dua lembar surat tulisan tangan dan viral di media sosial itu bukan untuk pencitraan.
Kita mencatat, Sri Mulyani, saat menjabat menkeu pada periode sebelumnya, telah menjalankan program remunerasi yang membuat iklim kerja di Kemenkeu, termasuk di Ditjen Pajak, menjadi jauh lebih baik. Munculnya kasus Handung tentu menjadi indikasi bahwa remunerasi dan program pembenahan lainnya belum sepenuhnya membuat Ditjen Pajak bebas dari korupsi.
Kita berharap Ditjen Pajak memetik pelajaran berharga dari kasus tersebut. Karena itu, kita mendesak agar kasus suap Handung diusut tuntas. Siapa pun yang terlibat harus ditindak tegas. Kita pun ingin Ditjen Pajak memastikan kasus semacam itu tidak terulang.
