BISA saja terjadi, dalam kompetisi, pemenang sulit dipastikan dengan segera. Itu bukan berarti kegagalan sistem atau buruknya persaingan.
Sebaliknya, kekuatan yang seimbanglah penyebabnya. Malah, jika sistem juga telah berjalan dengan baik dan bersih, hasil seimbang justru harus diapresiasi. Itu berarti kompetisi tersebut mendapatkan peserta-peserta terbaik.
Seperti itu pula kita semestinya pertama-tama memandang hasil Pilkada 2017 yang sangat ketat. Hasil seperti ini sudah terlihat di pilkada Banten.
Berdasarkan penghitungan perolehan suara versi hitung cepat antara pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur Banten nomor urut 1 Wahidin Halim-Andika Hazrumi dan pasangan nomor urut 2 Rano Karno-Embay Mulya Syarief, selisih suara sangat tipis. Di portal Komisi Pemilihan Umum (KPU), berdasarkan hasil hitung TPS form C1, pasangan nomor urut 1 memperoleh 50,92% suara, sedangkan pasangan nomor urut 2 sebanyak 49,08% suara.
Setelah apresiasi terhadap pilkada yang berjalan lancar di tengah persaingan ketat, tentu saja kita tetap tidak dapat melupakan potensi kerawanan dari hasil tipis tersebut. Di sinilah sesungguhnya letak ujian kedewasaan demokrasi kita, yakni bagaimana langkah yang ditempuh para pasangan ataupun di level akar rumput dalam menghadapi hasil pilkada yang terasa getir bagi salah satu kelompok.
Sebagai negara berkonstitusi, ketidakpuasan dalam proses demokrasi bukanlah hal yang tidak mendapat tempat.
Ketidakpuasan itu sebaiknya justru harus diselesaikan melalui jalur hukum sehingga terang benderanglah hasil pilkada yang memang telah diikuti rakyat.
Penyelesaian sesuai dengan konstitusi bukan saja penting bagi pihak yang merasa kecewa. Sebaliknya, itu juga penting bagi pihak yang berada di atas angin. Hanya dengan cara itu tidak ada lagi keraguan bagi pemenang. Semua pihak harus mengakui kemenangan tersebut dan mendukung pemerintahan daerah yang baru demi kemajuan bersama.
Negara telah menyediakan jalur penyelesaian sengketa itu lewat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang. Dalam pasal 157 disebutkan, peserta pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota kepada Mahkamah Konstitusi.
Dalam pasal itu pula dijelaskan, permohonan harus diajukan paling lambat tiga hari setelah penetapan oleh KPU provinsi atau KPUD.
Dalam pasal 158 undang-undang yang sama dijelaskan mengenai syarat selisih hasil suara yang dapat dilakukan permohonan pembatalan. Untuk provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan dua juta jiwa, misalnya, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan KPU provinsi.
Syarat-syarat itulah yang tentunya harus diperhatikan benar oleh para pasangan calon sebelum mengajukan gugatan. Jika berkaca pada Pilkada 2015, banyaknya syarat yang tidak terpenuhi menyebabkan Mahkamah Konstitusi hanya bisa menerima 7 dari 147 permohonan gugatan perselisihan hasil pemilihan (PHP) Pilkada 2015.
Ini tentunya menjadi pelajaran nyata agar para pasangan calon juga tidak sekadar terbakar emosi dan mengajukan gugatan. Sebaliknya, mereka pula yang pertama-pertama harus belajar legowo ketika kekalahan memang sudah nyata. Hanya dengan sportivitas, kemajuan bersama akan segera dapat dicapai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
