Jakarta: Keberadaan penjabat (Pj) Kepala Daerah menimbulkan polemik. Bahkan, ada sejumlah daerah yang menolak penunjukan Pj yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
"Dianggap sebagai variabel ancaman. Jadi Pj masih dianggap variabel ancaman bagi daerah," kata Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jojo Rohi dalam diskusi virtual, Minggu, 31 Juli 2022.
Ia mengatakan Pj terbebas konstelasi politik di daerah. Keberadaan Pj dinilai menjadi ancaman bagi keberlangsungan agenda-agenda politik di daerah.
"Terutama bagi para incumbent yang akan maju lagi," ungkap dia.
Maka, kata dia, diperlukan ketentuan yang mengatur tugas dan wewenang Pj kepala daerah. Sehingga, penunjukan Pj mengisi kekosongan posisi kepala daerah hingga Pilkada 2024 nanti tidak ada penolakan.
"Saya pikir ketentuan soal apa tugas dan wewenang Pj itu kan sudah diatur dalam regulasi-regulasi yang ada," ujar dia.
Sementara itu, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menyoroti potensi permasalahan relasi antara Pj kepala daerah dengan DPRD. Terutama, aspek anggaran, karena lembaga legislatif daerah masih sangat tergantung dengan kepala daerah.
Dia menyampaikan banyak proyek di daerah merupakan urusan DPRD. Mereka dengan mudah bisa mencari dukungan transaksional dengan kepala daerah untuk mendapatkan proyek-proyek itu.
"Dan dengan ditunjuk oleh kemendagri, masihkah ada peluang bagi DPRD untuk bermain?" kata Lucius.
Apalagi, masa menjabat Pj kepala daerah sangat lama, bahkan hingga Pemilu 2024. Di sisi lain, anggota DPRD yang berencana akan maju lagi dituntut memiliki 'amunisi' yang banyak.
Ia khawatir muncul persoalan ketika kebijakan yang dibuat Pj kepala daerah tidak sesuai dengan kemauan DPRD. Hal itu berpotensi menimbulkan permasalahan pada pengesahan anggaran.
"Biasalah DPRD-DPRD itu dengan mudah bisa bikin gaduh, boikot sana boikot sini dalam proses pengesahan kebijakan khususnya terkait misalnya APBD," ujar Lucius.
Menurut dia, persoalan tersebut bisa diatasi. Asal Kemendagri mengeluarkan aturan teknis soal pola relasi antara DPRD penjabat kepala daerah dalam bekerja.
Sebab hampir pasti penjabat kepala daerah yang ditunjuk 2022 akan terlibat pembahasan untuk tahun anggaran 2024 yang dilakukan pada 2023.
"Bisa saja mereka mempersoalkan angka yang diusulkan atas nama suara rakyat sebagai wakil rakyat, sementara penjabat kepala daerah mereka akan posisikan sebagai orang suruhan pusat yg tidak punya legitimasi sebagai pemimpin daerah," tutur Lucius.
Selain itu, Kemendagri harus memilih Pj kepala daerah berintegritas. Sehingga tidak terjebak dalam permainan transaksional di daerah.
Dia juga menyambut baik wacana kemendagri yang membuka ruang dengan melibatkan DPRD dalam pemilihan Pj kepala daerah. Yakni, pengajuan tiga nama calon ke Kemendagri.
"Walaupun keputusan akhir itu kemendagri sendiri, tapi minimal ini ada upaya untuk kemudian melibatkan wakil rakyat di daerah dengan demikian penjabat kepala daerah punya legitimasi bahwa penunjukan dia pun punya legitimasi karena melibatkan wakil rakyat di daerah dalam proses pencalonan," ujar dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti menyebut ada untung penerapan Pj kepala daerah selama dua tahun. Di antaranya, mempermudah koordinasi antara pusat dan daerah.
"Istilahnya kalau menteri mengatakan A ya A sampai kabupaten/kota. Kalau menteri mengatakan B ya B, sampai di kabupaten/kota," kata Ray.
Dia menyampaikan hal ini tentunya akan sangat baik dalam menjalankan program pemerintah. Sehingga, semua program yang dibuat bisa direalisasikan dengan baik hingga tingkat bawah.
"Kalau yang kemarin itu kan kepala daerah masih bisa menolak, hubungan kita hanya fungsional bukan struktural," ujar Ray.
Jakarta: Keberadaan
penjabat (Pj) Kepala Daerah menimbulkan polemik. Bahkan, ada sejumlah daerah yang menolak penunjukan Pj yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
"Dianggap sebagai variabel ancaman. Jadi Pj masih dianggap variabel ancaman bagi daerah," kata Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jojo Rohi dalam diskusi virtual, Minggu, 31 Juli 2022.
Ia mengatakan Pj terbebas konstelasi politik di daerah. Keberadaan Pj dinilai menjadi ancaman bagi keberlangsungan agenda-agenda politik di daerah.
"Terutama bagi para
incumbent yang akan maju lagi," ungkap dia.
Maka, kata dia, diperlukan ketentuan yang mengatur tugas dan wewenang
Pj kepala daerah. Sehingga, penunjukan Pj mengisi kekosongan posisi kepala daerah hingga Pilkada 2024 nanti tidak ada penolakan.
"Saya pikir ketentuan soal apa tugas dan wewenang Pj itu kan sudah diatur dalam regulasi-regulasi yang ada," ujar dia.
Sementara itu, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menyoroti potensi permasalahan relasi antara Pj kepala daerah dengan DPRD. Terutama, aspek anggaran, karena lembaga legislatif daerah masih sangat tergantung dengan kepala daerah.
Dia menyampaikan banyak proyek di daerah merupakan urusan DPRD. Mereka dengan mudah bisa mencari dukungan transaksional dengan kepala daerah untuk mendapatkan proyek-proyek itu.
"Dan dengan ditunjuk oleh kemendagri, masihkah ada peluang bagi DPRD untuk bermain?" kata Lucius.