Jakarta: Anggaran belanja alat sistem utama pertahanan (alutsista) Rp1,7 kuadriliun selama 25 tahun dianggap kecil. Bujet ini tercantum di Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan TNI.
"Kalau menghitung 25 tahun, itu sebenarnya kecil," kata pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, dalam keterangan tertulis, Senin, 31 Mei 2021.
Meski begitu, dia menilai pemerintah perlu cermat dalam mencari pendanaan. Dia menyoroti skema pembiayaan dari pinjaman luar negeri. Pemerintah harus mendapatkan suku bunga pinjaman serendah dengan tenor sepanjang mungkin.
"Artinya, (bunga) di bawah dua persen atau bahkan dua persen, terus dengan tenor panjang, ya, 12 tahun, kalau memungkinkan sampai 30 tahun," tutur dia.
Menurut dia, rencana belanja jangka panjang dari Kemhan dibutuhkan. Pasalnya, selama ini ada inkonsistensi belanja alutsista. Dalam ranperpres ini, pemerintah berupaya menjaga konsistensi belanja alutsista yang maksimal dengan pengadaan yang ditarik ke depan.
Baca: Kemhan Ungkap Alasan Alpalhankam Rp1,7 Kuadriliun Dibiayai Utang Luar Negeri
Khairul mencatat permasalahan utama selama ini ialah adanya pelambatan pengadaan alutsista berdasarkan data 2015-2019. Indonesia sejatinya memiliki minimum essential force (MEF) sejak 2007.
"Ada beberapa rencana pembelian yang nyatanya juga mangkrak sampai hari ini. Misalnya wacana pembelian Sukhoi SU-35. Itu, kan, sudah lama, tapi sampai hari ini enggak jelas, jadi beli atau tidak. Misalnya, penambahan kapal selam baru, apakah kita melanjutkan kerja sama dengan Korea Selatan atau membuka kesempatan kerja sama dengan negara-negara lain? Itu, kan, menunjukkan bahwa kita stagnan," ungkap dia.
Namun demikian, ia berharap perpres nantinya memuat lampiran rencana kebutuhan. Jika kembali ke-25 tahun ke belakang, dia melihat masih banyak pengadaan alutsista yang belum terpenuhi. Di era Orde Baru, misalnya, Indonesia memiliki puluhan kapal rekondisi yang akhirnya
banyak diparkir.
Dia menyebut kondisi alutsista sedikit berubah memasuki era reformasi, terutama di pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kala itu, banyak pengadaan-pengadaan baru. Sebagian besar alat yang datang sekarang, kontraknya diteken pada masa SBY.
Khairul mengingatkan penyusunan rencana kebutuhan alutsista harus visioner. Bicara pertahanan, kata dia, pemerintah harus selalu bersiap dengan kemungkinan terburuk yang paling perlu diantisipasi. Kemhan juga diharapkan menguatkan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP).
"Itu amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 (tentang Industri Pertahanan). KKIP ini wadah untuk merumuskan kebijakan, merencanakan kebutuhan," jelas dia.
Soal rumor mafia alutsista, Khairul menyebut yang perlu ditekankan ialah bagaimana mengatur peran pihak ketiga. Hal ini untuk menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Pengamat militer Universitas Bina Nusantara, Curie Maharani, menilai anggaran US$124,9 miliar selama 25 tahun ini cenderung konservatif. Isu yang bisa dilihat dalam rancangan perpres ini ialah implementasi modernisasi yang tidak sesuai target (behind schedule). Salah satu penyebabnya, yakni perubahan atau kaji ulang MEF.
"Dengan melakukan pengadaan di depan, diharapkan pelaksanaannya lebih konsisten. Tapi apakah dimungkinkan secara regulasi? Itu perlu dijelaskan," ucap Curie.
Jakarta: Anggaran belanja alat sistem utama pertahanan (
alutsista) Rp1,7 kuadriliun selama 25 tahun dianggap kecil. Bujet ini tercantum di Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan
Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan TNI.
"Kalau menghitung 25 tahun, itu sebenarnya kecil," kata pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, dalam keterangan tertulis, Senin, 31 Mei 2021.
Meski begitu, dia menilai pemerintah perlu cermat dalam mencari pendanaan. Dia menyoroti skema pembiayaan dari pinjaman luar negeri. Pemerintah harus mendapatkan suku bunga pinjaman serendah dengan tenor sepanjang mungkin.
"Artinya, (bunga) di bawah dua persen atau bahkan dua persen, terus dengan tenor panjang, ya, 12 tahun, kalau memungkinkan sampai 30 tahun," tutur dia.
Menurut dia, rencana belanja jangka panjang dari Kemhan dibutuhkan. Pasalnya, selama ini ada inkonsistensi belanja alutsista. Dalam ranperpres ini, pemerintah berupaya menjaga konsistensi belanja alutsista yang maksimal dengan pengadaan yang ditarik ke depan.
Baca:
Kemhan Ungkap Alasan Alpalhankam Rp1,7 Kuadriliun Dibiayai Utang Luar Negeri
Khairul mencatat permasalahan utama selama ini ialah adanya pelambatan pengadaan alutsista berdasarkan data 2015-2019. Indonesia sejatinya memiliki
minimum essential force (MEF) sejak 2007.
"Ada beberapa rencana pembelian yang nyatanya juga mangkrak sampai hari ini. Misalnya wacana pembelian Sukhoi SU-35. Itu, kan, sudah lama, tapi sampai hari ini enggak jelas, jadi beli atau tidak. Misalnya, penambahan kapal selam baru, apakah kita melanjutkan kerja sama dengan Korea Selatan atau membuka kesempatan kerja sama dengan negara-negara lain? Itu, kan, menunjukkan bahwa kita stagnan," ungkap dia.
Namun demikian, ia berharap perpres nantinya memuat lampiran rencana kebutuhan. Jika kembali ke-25 tahun ke belakang, dia melihat masih banyak pengadaan alutsista yang belum terpenuhi. Di era Orde Baru, misalnya, Indonesia memiliki puluhan kapal rekondisi yang akhirnya
banyak diparkir.