Jakarta: Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komaruddin Hidayat mengatakan ada tiga faktor lahirnya partai politik Islam. Pertama, karena panggilan sejarah di Indonesia.
"Seperti ada tanggung jawab terhadap jalannya republik, negara ini," kata Komaruddin dalam diskusi virtual bersama Moya Institute, Jakarta, Jumat, 7 Mei 2021.
Kedua, sebagai satu kekuatan kritik. Komaruddin menyampaikan ketika kritik melibatkan semua identitas kelompok maka kritik lebih didengarkan.
"Ketiga, yang saya khawatirkan jangan-jangan ini dijadikan instrumen ketika orang-orang itu terpinggirkan enggak bisa masuk maka berkelompok agar suaranya membesar," ucap dia.
Bila alasan ini dipakai, Komaruddin khawatir ini akan dijadikan retorika sesaat dan instrumental. Alasan ini juga dianggap tidak visioner.
"Kalau ini yang mengemuka, maka ini suatu kemunduran. Jadi, Islam digunakan karena kekalahan," ujarnya.
Baca: Waketum NasDem: Perbedaan Jangan Didiamkan, Tapi Didialogkan
Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta ini menyampaikan, sekarang hampir semua kelompok memiliki politik ketakutan. "Ada juga partai politik yang semakin menguruskan, dinasti-dinasti yang telah establish mencari cara bagaimana pertahankan agar tidak ada dinasti baru," ucap dia.
Menolak poros Islam
Masih di dalam diskusi yang sama, Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta mengatakan pembentukan poros Islam dianggap hanya akan memperlebar pembelahan politik identitas di masyarakat pasca-Pilpres 2019. Anis menolak ide koalisi poros Islam.
Ia menilai ada persoalan yang jauh lebih signifikan daripada sekadar ide poros Islam. "Ide ini menurut saya hanya akan memperdalam pembelahan yang sedang terjadi di masyarakat," kata dia.
Anis melihat saat ini sedang dalam krisis sistemik yang terjadi secara global dan nasional. Krisis ini mengakibatkan keterbelahan di masyarakat. Elite politik dari kelompok Islam (kanan), tengah maupun kiri sedang bingung menghadapi krisis ini.
"Di Indonesia sedang mengalami pembelahan ini dan menurut saya pembelahan ini satu fenomena yang menunjukan elite kita sedang mengalami kebingungan akibat krisis sistemik ini. Kita alami krisis sistemik dan krisis leadership saya kira kebingungan ini ada di kelompok Islam, kelompok tengah dan kelompok kiri," kata Anis.
Pembentukan poros Islam bukan sebuah solusi masalah ini. Anis menilai poros Islam bukan menyatukan tetapi justru akan membuat kelompok-kelompok kecil di masyarakat.
"Justru cara kita merespon dengan pembentukan poros Islam membuat kita masuk konfrontasi yang merusak rumah besar bangunan Indonesia," kata Anis.
Seharusnya yang dilakukan elite adalah mencari satu hal yang menyatukan semua masyarakat. Seperti, ketika masyarakat Indonesia bersatu menjelang hari kemerdekaan dulu.
"Jadi dari pengalaman masa lalu dan melihat konstelasi geopolitik yang dibutuhkan satu model blending politik baru yang berbasis pada pendalaman arah baru bagi negara kita. Saya ingin sebut arah sejarah baru. Situasinya mirip dengan situasi kita menjelang kemerdekaan kita perlu satu kata yang menyatukan kita," kata Anis.
Punya peluang sama
Cendekiawan Muslim Prof Azyumardi Azra mengatakan koalisi berbasis Islam atau Pancasila memiliki peluang yang sama untuk menang di pemilu. Bergantung kemampuan menangkap atau mengapitalisasi masalah-masalah di masyarakat.
"Banyak masalah ekonomi, sosial, disrupsi tingkat lokal, nasional, dan global. Jadi, tidak bisa hanya bicara pada ideologi. Apakah Islam atau Pancasila," kata dia.
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas mengatakan gambaran opini publik saat ini memang masih belum percaya dengan argumen yang diusung partai-partai berbasis massa Islam. Hal itu tidak serta merta memunculkan alternatif fundamental bagi struktur kepartaian di Indonesia.
"Partai-partai berbasis massa Islam memiliki problem cukup besar dengan konflik internal. Karena itu, kecenderungan suara Partai Islam dari 1999-2014 menurun. Prospeknya seperti apa kalau melihat tantangan seperti ini? Hegemoninya terlihat di sini," paparnya.
Ia menilai mayoritas pemilih muslim Indonesia masih sejalan dengan tesis Cak Nur, yakni 'Islam Yes, Partai Islam No'. "Ini indikasi masih kuatnya karakter Islam moderat Indonesia yang secara sadar menghindarkan diri dari tarikan politik berbasis agama."
Pengamat Politik global Prof Imron Cotan menyampaikan gagasan Anis Matta menjadi alternatif baru bagi pemikiran politik di Indonesia. Hal itu merujuk pada tesis: apakah pembentukan poros Partai Islam memang untuk menyongsong Kontestasi 2024? Atau untuk menghimpun aspirasi kelompok Islam dalam kehidupan berbangsa ke depan?
"Kalau untuk sekadar menyongsong kontestasi 2024, saya kira akan kembali menemui kegagalan jika melihat dinamika yang ada saat ini," kata Imron.
Jakarta: Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komaruddin Hidayat mengatakan ada tiga faktor lahirnya
partai politik Islam. Pertama, karena panggilan sejarah di Indonesia.
"Seperti ada tanggung jawab terhadap jalannya republik, negara ini," kata Komaruddin dalam diskusi virtual bersama Moya Institute, Jakarta, Jumat, 7 Mei 2021.
Kedua, sebagai satu kekuatan kritik. Komaruddin menyampaikan ketika kritik melibatkan semua identitas kelompok maka kritik lebih didengarkan.
"Ketiga, yang saya khawatirkan jangan-jangan ini dijadikan instrumen ketika orang-orang itu terpinggirkan enggak bisa masuk maka berkelompok agar suaranya membesar," ucap dia.
Bila alasan ini dipakai, Komaruddin khawatir ini akan dijadikan retorika sesaat dan instrumental. Alasan ini juga dianggap tidak visioner.
"Kalau ini yang mengemuka, maka ini suatu kemunduran. Jadi, Islam digunakan karena kekalahan," ujarnya.
Baca:
Waketum NasDem: Perbedaan Jangan Didiamkan, Tapi Didialogkan
Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta ini menyampaikan, sekarang hampir semua kelompok memiliki politik ketakutan. "Ada juga partai politik yang semakin menguruskan, dinasti-dinasti yang telah
establish mencari cara bagaimana pertahankan agar tidak ada dinasti baru," ucap dia.
Menolak poros Islam
Masih di dalam diskusi yang sama, Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta mengatakan pembentukan poros Islam dianggap hanya akan memperlebar pembelahan politik identitas di masyarakat pasca-Pilpres 2019. Anis menolak ide koalisi poros Islam.
Ia menilai ada persoalan yang jauh lebih signifikan daripada sekadar ide poros Islam. "Ide ini menurut saya hanya akan memperdalam pembelahan yang sedang terjadi di masyarakat," kata dia.