Jakarta: Pengamat ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) FX Sugiyanto mengatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang dikritik beberapa kalangan masih bisa diperbaiki. RUU itu pun tetap perlu disahkan.
“Kalau menurut saya, saya membacanya ditolak itu bukan berarti tidak harus diundangkan, tetapi memperbaiki kelemahan-kelemahan," kata Sugiyanto dalam keterangan tertulis, Sabtu, 22 Agustus 2020.
Menurut dia, kritik terhadap omnibus law itu bisa menjadi modal perbaikan bagi pemerintah. Pemerintah pun harus membuka telinga lebar-lebar.
"Pemerintah harus mulai tebal kuping tapi sekaligus juga menyerap masukan-masukan itu," ujar dia.
Sugiyanto menilai RUU Cipta Kerja memiliki semangat yang baik untuk mengatasi hambatan-hambatan regulasi. Pasalnya, dalam praktik implementasi perundang-undangan sering kali terjadi ketidaksesuaian antarundang-undang.
“Karena setiap undang-undang itu ternyata bisa saling meniadakan. RUU Cipta Kerja pada dasarnya bagaimana agar terjadi sinkronisasi. Kalau kita lihat spirit dalam undang-undang itu, sebenarnya ingin mengurangi hambatan-hambatan terjadi secara parsial karena berlakunya sebuah undang-undang," jelas dia.
Sugiyanto menyebut praktik implementasi perundang-undangan yang tidak sinkron membuat birokrasi di sulit berjalan. Hal ini, contoh dia, terjadi pada penyerapan anggaran penanganan covid-19 yang masih rendah.
Baca: NasDem Apresiasi 4 Poin Kesepakatan Tim Perumus RUU Ciptaker
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Undip ini setuju apabila RUU Cipta Kerja disahkan menjadi UU. Sisi positif dari RUU itu, lanjut dia, tak boleh dikesampingkan. Pasalnya, hambatan-hambatan yang selama ini muncul bisa mulai dipangkas dengan RUU Cipta Kerja.
“Mestinya nanti setelah UU disahkan, nanti peraturan di bawahnya itu harus lebih intensif lagi. Kolaborasi antarkementerian dan OPD (organisasi perangkat daerah) di tingkat daerah, itu harus dilakukan dan itu tidak mudah tapi memang harus dilakukan. Maka praktik-praktik hambatan dalam kelembagaan aturan, kemudian hubungan antarbirokrasi ini harus bisa diperbaiki. Jadi semakin intensif untuk bekerja sama,” ujar Sugiyanto.
“Karena setiap undang-undang itu ternyata bisa saling meniadakan. RUU Cipta Kerja pada dasarnya bagaimana agar terjadi sinkronisasi. Kalau kita lihat spirit dalam undang-undang itu, sebenarnya ingin mengurangi hambatan-hambatan terjadi secara parsial karena berlakunya sebuah undang-undang," jelas dia.
Sugiyanto menyebut praktik implementasi perundang-undangan yang tidak sinkron membuat birokrasi di sulit berjalan. Hal ini, contoh dia, terjadi pada penyerapan anggaran penanganan covid-19 yang masih rendah.
Baca:
NasDem Apresiasi 4 Poin Kesepakatan Tim Perumus RUU Ciptaker
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Undip ini setuju apabila RUU Cipta Kerja disahkan menjadi UU. Sisi positif dari RUU itu, lanjut dia, tak boleh dikesampingkan. Pasalnya, hambatan-hambatan yang selama ini muncul bisa mulai dipangkas dengan RUU Cipta Kerja.
“Mestinya nanti setelah UU disahkan, nanti peraturan di bawahnya itu harus lebih intensif lagi. Kolaborasi antarkementerian dan OPD (organisasi perangkat daerah) di tingkat daerah, itu harus dilakukan dan itu tidak mudah tapi memang harus dilakukan. Maka praktik-praktik hambatan dalam kelembagaan aturan, kemudian hubungan antarbirokrasi ini harus bisa diperbaiki. Jadi semakin intensif untuk bekerja sama,” ujar Sugiyanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)