medcom.id, Jakarta: Keramahan tidak pergi dari diri Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, meski dia disibukkan dengan seabrek pekerjaan. Energi dan emosinya tetap terjaga walau tak jarang dirinya harus berkantor dari pagi hingga jelang tengah malam.
Gambaran di atas nyata ketika Siti meladeni wawancara jurnalis Metrotvnews.com (MTVN) Wandi Yusuf, Dheri Agriesta serta videografer Arie Bachdar dan Dimas Prasetyaning dalam dua kesempatan. Pada perjumpaan pertama, Selasa pekan kemarin, ketika perbincangan baru berjalan sekitar 10 menit, dia terpaksa menyetop obrolan karena Presiden Joko Widodo memintanya untuk segera ke Istana Negara.
"Sudah makan belum?" Siti menyapa Metrotvnews.com pada pertemuan kedua keesokan hari di kantornya di lantai 4 gedung Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat.
Berbalut tema Kerja Bersama, 72 Tahun Kemerdekaan Indonesia, Siti berbicara banyak hal, mulai dari pengelolaan hutan, kebakaran hutan dan lahan gambut, reklamasi, persoalan asap, sampai isu reshuffle jilid tiga. Tak sedikit pernyataan Siti bersifat off the record.
Bagaimana Kementerian LHK menerjemahkan moto Indonesia Kerja Bersama?
Sektor lingkungan hidup dan kehutanan justru realitasnya seperti itu (kerja bersama). Karena, yang namanya subjek lingkungan, berurusan dengan publik yang sangat luas. Elemen-elemen yang terlibat sangat banyak. Ada masyarakat, masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, akademisi, dan peneliti-peneliti.
Setiap elemen punya keinginan sendiri. Swasta, misalnya, ingin lingkungan tetap asri namun ekonomi produksi tak terganggu. Kalau akademisi beda lagi. Di sinilah diperlukan sebuah kerja bersama. Kita di kementerian sebagai pengambil keputusan harus melihat pada tingkat optimalnya.
Di tataran masyarakat, kerja bersama juga menjadi rumus untuk menjaga lingkungan. Apalagi jika sudah berbicara soal perhutanan sosial. Seluruh elemen harus bekerja berkelompok. Pemerintah harus memfasilitasi, swasta juga harus terlibat. Jadi, moto ‘Kerja Bersama’ ini paling relevan di Kementerian LHK.
Kerja bersama dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan?
Di tahun ke-71 Indonesia merdeka, termasuk yang ke-72 ini, untuk pertama kalinya kita tak heboh soal kebakaran. Itu hasil dari gotong royong Satgas Terpadu. Mulai dari Manggala Agni (petugas Kementerian LHK), petugas BNPB di daerah, hingga Satpol PP. Yang elemen terpenting adalah masyarakat, yakni Masyarakat Peduli Api. Serta dimotori TNI dan Polri.
Kerja bersama yang lain adalah antara pemerintah pusat dan daerah yang tak pernah berhenti mengikuti perkembangan hotspot (titik panas). Jadi ada tiga tahapan dari kerja bersama di kementerian ini, yakni saat mengambil keputusan, saat memantau, dan saat bekerja di lapangan.
Apa usaha Kementerian LHK sehingga bisa menekan jumlah kebakaran hutan?
Kita bekerja berdasarkan sistem pengelolaan penanganan kebakaran. Sistem ini harus terus didorong dan disempurnakan. Saat ini muncul sejumlah hotspot di daerah baru. Namun, daerah operasional Manggala Agni belum ada di seluruh Indonesia. Ini kita siasati dengan menurunkan petugas terdekat di area hotspot. Kalau ada hotspot di Sumatera Utara, Sumatera Barat, atau Aceh, kita menurunkan Manggala Agni di Riau. Kalau untuk Nusa Tenggara Timur, kita turunkan petugas dari Sulawasi.
Pesawat terbang (pemadam) pun harus stand by. Paling tidak satu pesawat untuk keadaan darurat. Kita menempatkan pesawat di Kalimantan Selatan agar mobilitasnya lebih gampang dan cepet. Terkadang kita simpan di Kalimantan Barat atau Sumatera Selatan. Paling sering di Riau. Pesawat juga stand by di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, karena tahun lalu di Jawa juga banyak yang kena.
Kebakaran lahan pada September 2015 di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Foto: AntaraHerry Murdy Hermawan
Upaya Kementerian LHK mengantisipasi kebakaran agar tak berulang?
Penyebab utama kebakaran hutan dan lahan itu adalah manusia. Kebakaran rata-rata terjadi karena ada lahan atau hutan yang sengaja dibakar. Pada bagian ini pemerintah sedang menyiapkan upaya pencegahan. Misalnya, mengendalikan pembukaan lahan dengan cara membakar dan menemukan jalan keluar saat masyarakat tetap harus membakar hutan karena untuk mencari makan.
Upaya lain adalah tata kelola gambut. Gambut justru paling sensitif. Kebakaran besar pada 2015 karena kebakaran di lahan gambut di Riau, Kalimantan Barat, Timur, Tengah, dan Kalimantan Selatan, serta Jambi hingga Sumatera Selatan. Ketika itu, Presiden langsung mencanangkan Badan Restorasi Gambut (BRG). Ini sudah dua tahun berjalan, mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang dahsyat.
Bagaimana mengurangi hotspot?
Keberadaan hotspot tak bisa dihindari. Itu kejadian alam. Firespot yang harus dihindari. Harus dikontrol. Kunci menghilangkan firespot ada di tata kelola gambut. Presiden sudah memerintahkan BRG, TNI, dan Polri mengatasinya. Swasta juga. Salah satu yang sudah dilakukan adalah membangun sekitar 21 ribu sekat kanal agar gambut tetap basah.
Di daerah yang memiliki cekungan, kita buat embung untuk persediaan air. Embung juga berguna untuk mengantisipasi jika terjadi kebakaran. Jadi, kita gampang mengambil air. Kemudian kita buat sumur-sumur bor untuk penyediaan air. (Sekarang) ada hampir 12 ribu sumur bor.
Jadi, mulai dari sekarang kita terus menata kelola untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan. Nah, yang dibutuhkan selanjutnya bagaimana pekerjaan yang telah dilakukan itu diketahui dan dikoreksi masyarakat. Kita ingin menciptakan fit government. Aspek penegakan hukum juga harus berjalan dan tak melulu pidana. Bisa perdata, bisa juga sanksi sosial.
Selama 2015-2016 kita sudah mengeluarkan banyak sanksi. Hampir 47 kasus. Belasan sudah masuk pengadilan. Yang saat ini diawasi sekitar 115 kasus. Jadi, yang penting tak boleh berhenti dan tak boleh capek. Kita mesti sabar dan terus membenahi sistemnya. Sekarang kita terus memperkuat sistem mencegah hotspot. Jadi kalau ada hotspot, di mana tempatnya, tim langsung bergerak. Sebetulnya sih sekarang juga sedang memulai, tapi belum se-Indonesia diterapkan. Di beberapa tempat penanganannya sudah cepat, seperti di Riau.
Riau tahun ini termasuk yang terkendali dibanding daerah lain. Mereka belajar dari 2015. Riau juga sudah 17 tahun punya masalah itu. Jadi, begitu dapat sistemnya, dia pegang teguh. Saya dapat laporan, dua tahun ini selama Agustus tak ada asap. Kalau bisa seluruh Indonesia meniru sistem siaga di Riau. Sumsel sekarang mulai siaga, tapi dia belum semapan Riau. Jambi lumayan. Kalbar juga seperti Jambi.
Sistem apa yang diterapkan di Riau?
Inovasi sistem bekerja. Pengorganisasiannya baik, masyarakat dan LSM-nya keras, polisi dan TNI-nya kuat. Seluruhnya bekerja. Inovasi terpentingnya adalah bagaimana sistem deteksi dini dan cara mereka mengatur gambut. Jadi, di situ mainnya.
Sumsel juga jago. Korem-nya bahkan punya inovasi mikrobiologi. Jadi, di gambutnya itu ada material mikrobiologi yang bisa menutup pori gambut agar tak gampang terbakar atau malah kebal api. Polda-nya juga punya inovasi dalam hal deteksi dini. Mereka memanfaatkan teknologi saat melaporkan adanya hotspot.
Singapura cerewet soal kebakaran hutan di Indonesia, tanggapan Anda?
Kita semua tahu, dia (Singapura-Red.) cerewet dan kadang-kadang ngomong seenaknya. Saya tak mengerti apakah mereka memahami bahwa Indonesia begitu luas, sedangkan Singapura begitu kecil. Cara dia melihat Indonesia itu, menurut saya, kurang adil karena seperti ingin memaksakan pola-pola yang menurut mereka baik.
Lebih tak adil lagi ketika di arena-arena internasional, Singapura menyudutkan Indonesia. Mereka sering katakan, "Ini asap lintas batas. Ini mengganggu. Perusahaan perusaknya dari Indonesia. Harus kita selidiki bersama-sama, harus diadili di Singapura." Itu kan menurut UU di Singapura. Sementara Indonesia dan Singapura belum punya kerja sama dalam hal penegakan hukum. Singapura menghendaki perusahaan-perusahaan kita diadili di Singapura. Menurut saya itu tak bisa dilakukan. Di dalam perjanjian ASEAN, kerja sama itu dalam yurisdiksi negara masing-masing dan dalam prinsip saling menghormati. Saya masih bertahan untuk itu.
Baca: JK Ajak Malaysia & Singapura Selesaikan Masalah Kabut Asap
Singapura juga selalu mengatakan mereka selalu membantu Indonesia. Tetapi, statement dan tekanan ke Indonesia tidak imbang dengan apa yang dia bantu. Misalnya, kita kerja dengan 31 pesawat selama berbulan-bulan. Water bombing sudah mulai dari Februari loh, sekarang sudah Agustus. Artinya kita kerja terus-terusan, bukan kerja seminggu, dua minggu, atau sebulan. Singapura hanya sanggup bertahan membantu kita paling sebulan. Dalam record yang saya baca, tak ada dia bantu berbulan-bulan. Sebagai teman begitu. Tetapi selalu introduksi di forum-forum internasional agak menyudutkan Indonesia. Saya tidak happy untuk itu.
Singapura juga sangat sedikit mau mengakui kebijakan-kebijakan yang baik di Indonesia. Kita sih tak perlu pengakuan Singapura, tapi di dalam arena internasional ketika men-judge atau menganalisis tentang Indonesia, harusnya objektif. Semuanya harus diungkapkan. Kadang-kadang di dalam forum internasional, dia justru mengajak negara lain, "Look! Lihat ada yang seperti ini loh di dunia. Ada yang kaya Indonesia." Begitu kira-kira. Kita dengernya, kok jadi begini? Seperti bukan teman.
Kabut asap dari Indonesia yang mencapai Singapura pada 2015. Foto: AFP
Baca: Kejengkelan Singapura pada Asap Indonesia
Saat ini, saya mengikuti saja apa yang baik kita lakukan. Diplomasi dengan Singapura saya serahkan penuh ke Kementerian Luar Negeri. Buat saya yang penting pak Dubes Singapura kita update soal situasi terakhir. Kebijakan kita begini, Bu Menlu juga selalu saya beri informasi terakhir, begini situasinya. Saya kira kita memang kerja itu bukan untuk orang lain kok. Indonesia ini bekerja dalam hal lingkungan dan hutan untuk rakyatnya sendiri. Sesuai perintah UUD.
Jadi, kalau pun kita berkomitmen terhadap konvensi internasional, itu karena sejalan dengan UUD. Dan saya menganggapnya itu sebuah instrumen yang bisa mendorong kita untuk memenuhi perintah UUD. Apalagi sudah banyak negara mendukung kita, seperti Norwegia, Jerman, Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris. Banyak yang membantu kita, Jepang, Belanda, Denmark, banyak deh.
Prinsipnya, instrumen yang baik dan dukungan yang baik semata-mata sebagai cermin kita bekerja memenuhi mandat konstitusi, yakni untuk rakyat Indonesia. Saya kira itu prinsipnya.
Bagaimana Anda menyikapi sindiran Presiden soal peraturan menteri yang justru menghambat investasi?
Nggak itu. Bapak (Presiden) tak pernah menyebut secara spesifik peraturan menteri yang mana. Saya kira itu harus diketahui publik. Pesan Presiden itu sebetulnya tak spesifik terhadap peraturan yang mana, tetapi memang bisa saja bahwa dunia usaha menganggap dia terganggu dan ada kesulitan dengan beberapa aturan. Misalnya, tentang legalitas kayu, itu sudah saya koreksi. Kemudian tentang gambut.
Kalau tentang gambut, jelas bahwa gambut itu barang publik yang taruhannya adalah asap yang bisa membunuh rakyat. Kita tak bisa mempertaruhkan barang publik itu ke swasta. Oleh karena itu kita mengaturnya sangat ketat. Artinya, bahwa gambut-gambut yang dalam, yang punya fungsi lindung, itu tak boleh ditanam (jenis lain). Bahwa setelah gambut terbakar dan membahayakan rakyat dengan asapnya, berarti tak boleh ada izin baru di tanah gambut.
Bisa saja swasta berpendapat bahwa, lho kalau begitu saya terganggu. Ok, kalau terganggu. Yang mana yang terganggu? Lokasinya di mana? Mari kita lihat. Tahu gak apa yang terjadi, izin HTI (hutan tanaman industri) dan kebun itu yang lahannya gambut mencapai 6 juta hektare. Kebayang gak kalau yang 6 juta hektare itu terbakar. Itu yang gak bisa dipertaruhkan atau kita biarkan seperti yang sudah-sudah.
Tapi, kita juga menyiapkan solusinya. Perusahaan bisa pindah ke tanah yang bukan gambut. Dan itu bisa diberikan pemerintah. Dan izinnya juga tak lama. Presiden kan sudah bilang kalau sekarang izin gak boleh lama-lama.
Progres perhutanan sosial?
Sudah berjalan. Kebijakan perhutanan sosial ditetapkan Presiden pada September 2016. Prinsipnya, pemberdayaan masyarakat dikaitkan dengan hutan itu kan sudah ada sebelumnya. Tapi, saat itu hanya pemberdayaan. Saya menyebutnya konsep linier. Biasa-biasa dan tak menghasilkan apa-apa. Masyarakat tak merasa sejahtera untuk itu. Karena itu Presiden merancang dan memikirkan bagaimana agar hutan menjadi produktif.
Perhutanan sosial ini adalah upaya Presiden memberi akses masyarakat untuk memanfaatkan resources sekaligus dibimbing para ahli, baik akademisi maupun LSM. Dan itu difasilitasi negara. Pemerintah memberikan akses ke perbankan, memberi bibit, memberi akses untuk bekerja sama dengan swasta yang memasarkan produk masyarakat.
Sekarang, saya menerima 5-8 surat permohonan perhutanan sosial. Realisasi perhutanan sosial kita sampai sekarang sekitar 500 ribu hektare sejak September tahun lalu. Kalau kita hitung dengan pemberdayaan sebelumnya, sudah 900 ribuan hektare.
Ada contoh perhutanan sosial yang berhasil?
Banyak. Di Sungai Buluh, Sumatera Barat, misalnya. Di Yogyakarta dan Serang, Banten, juga bisa menjadi contoh. Saya sudah lihat di lebih dari 50-60 tempat di Indonesia. Bahkan madu di hutan Kalimantan kali ini sudah bisa diekspor. Kita memang harus terus membantu dalam hal pemasaran dan modernisasi manejemennya.
Setelah 71 tahun Indonesia merdeka, baru pertama kali hutan adat diakui secara resmi oleh Bapak Presiden di Istana Negara. Itu juga sesuatu loh. Saya kira banyak hal yang baru yang polanya dipikirkan sendiri oleh Bapak Presiden. Biasanya dia kalau di lapangan sambil melihat sambil berpikir, "nih bagaimana kalo kaya gini?" Kebanyakan petunjuk Beliau kepada saya itu pada saat di lapangan.
Bagaimana menyelesaikan kriminalisasi petani?
Itu sudah lama kita tinggalkan setelah putusan MK Nomor 35 yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara. Saat pertama kali masuk (menjadi menteri), aspek itu yang saya lihat. Saya minta kepada semua petugas lapangan jangan mudah menangkap orang. Harus dilakukan pendekatan persuasif dan berikan understanding kepada mereka. Perhutanan sosial yang akan menolong kasus-kasus seperti ini. Tapi, jika memang ada yang terbukti nyolong pohon, ya harus ditindak dengan keras.
Implementasi Ratifikasi Paris Agreement sudah sampai mana?
Paris Agreement itu merupakan komitmen banyak negara. Sekarang sudah fase implementasi. Ukurannya adalah komitmen setiap negara untuk menurunkan emisi. Kita punya janji menurunkan emisi selama membangun itu (dari) 29% menjadi 4%. Kementerian LHK penyumbang emisi terbanyak, 17 persen. Kemudian (Kementerian) Energi, 11 persen. Presiden menugaskan agar kementerian hati-hati terkait dengan emisi, gas rumah kaca, karbon, dan lain lain. Itu menjadi mainstreaming di pembangunan. Artinya, setiap kali kita melangkah membangun, kita harus ingat bahwa kita akan menurunkan emisi. Itu gunanya untuk melindungi atmosfer dari kenaikan suhu bumi.
Baca: Kalla Tegaskan Komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris
Indonesia, menurut saya, sih tidak ketinggalan. Kita beruntung, sebelum Paris Agreement kita sudah punya Bali Road Map pada Februari 2007. Kemudian ada Badan Pengelola Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (BP REDD+), itu yang dari Norwegia. Jadi, kita exercise-nya sudah dari awal. Oleh karena itu, Indonesia, kalau bicara soal perubahan iklim, termasuk yang diharapkan oleh dunia karena termasuk nomor 9 atau 10 negara penyumbang emisi terbesar. Paling besar tetap ya, Amerika Serikat, Inggris, China, kita tapi deket-deket dengan mereka. Kita relatif oke dengan perubahan iklim.
Dulu, Norwegia sempat mengeluhkan pemerintah lambat mencairkan sehingga dana yang disediakan tak bisa dimanfaatkan maksimal. Sekarang seperti apa?
Itu kan dulu, sekarang sudah dirapihin. Sekarang semua disatukan. Namanya, National Vocal Point. Kita menyimpannya di Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, jadi BP REDD+ ada di situ, Dewan Nasional Perubahan Iklim ada di situ. Itu sebabnya Direktorat Jenderal ini didampingi oleh Dewan Nasional Pertimbangan dan Pengarah yang diketuai pak Sarwono. Dewan isinya multistakeholder juga, ada kementerian, akademisi, anggota LSM, dan komunitas. Jadi polanya sekarang sudah disatukan, makanya instrumennya sekarang bisa bekerja.
Siti Nurbaya menandatangani dokumen Paris Agreement pada 23 April 2016. Foto: Metro TV
Selain Norwegia, ada negara lain?
Banyak. Uni Eropa ada Jerman, Inggris, dan Denmark. Jepang juga terlibat. Cuma sekarang mereka minta dana dari REDD+ enggak masuk APBN karena kan berarti dibahas di DPR, diperiksa-periksa kali ya sama BPK dan lain lain. Jadi luar negeri mintanya semacam dana trust fund, semacam dana non-APBN, tapi tetap harus terkendali oleh pemerintah dan dikelola secara transparan. Oleh karena itu sebenarnya terus mendorong untuk didirikan Badan Layanan Umum (BLU) di Kementerian Keuangan yang isinya menampung semua dana seperti itu. Dana seperti itu nanti untuk grant kepada LSM, komunitas, peningkatan sosialisasi di media, rakyat, dan untuk masyarakat adat. Itu namanya grant, small grant.
Ada juga untuk investasi, investasi perusahaan apa, bikin installment untuk menata gambut, misalnya. Atau untuk capacity building-nya aparat, untuk personel apa. Itu sedang disiapkan instrumennya dalam bentuk PP, saya sudah naikin dan belakangan rapat di Kemenko Perekonomian dan sudah final. Sekarang masih berproses di Kemenko Perekonomian dan Setkab. Mudah-mudahan ya, kalau saya sih yang penting sistem itu di-established, di-set supaya ke depan siapa pun menterinya sudah ada cara kerja birokrasinya.
SOAL LINGKUNGAN HIDUP
Produksi sampah Indonesia terbilang tinggi, menyentuh jutaan ton per tahun?
Setting nasional tentang persampahan ada perubahan. Di kementerian zaman Presiden Jokowi, (persoalan lingkungan) disatukan dengan kehutanan. Jadi, yang sekarang dilakukan oleh kementerian adalah memberikan kebijakan, memberikan standar dan pembinaann di lapangan, percontohannya, kemudian dikerjakan bersama-sama.
Jadi, kita memberikan kampanye dengan Adipura, dengan contoh menangani dan membersihkan sampah di laut, di Bunaken. Juga menangani limbah dan lain-lain. (Tapi), belum semua pemerintah daerah concern karena sampah belum menjadi sesuatu yang produktif. Masih jadi beban daerah. Nah, sekarang pemerintah tengah mendorong pemda untuk mengolah sampah menjadi sumber energi, menjadi listrik. Dukungan masyarakat juga sangat luas dan seharusnya ini jadi momentum untuk membangun gerakan secara nasional.
Apa artinya gerakan secara nasional?
Artinya potensi perhatian dari komunitas sekarang sudah puluhan ribu. Itu kelihatan dalam acara Hari Sampah pada Februari (2017). Dukungan masyarakat tinggi banget. Kita sedang susun gerakan komunitas ini menjadi sistematis. Kita tahu di mana saja mereka, bagaimana mereka menangani sampah. Bank sampah juga sudah menjamur di mana-mana. Jumlahnya sekarang sudah lebih dari 4 ribu dan perkiraan saya eskalasinya tinggi, itu juga sesuatu.
Bahkan sekarang ada yang lebih baik lagi, sampah menjadi sirkular ekonomi. Plastik jadi kursi. Plastik jadi kaos. Kalau soal persampahan, sebetulnya yang paling penting dari pemerintah adalah dukungan dan dorongan kepada komunitas. Standar-standarnya disiapkan. Peraturan menteri sedang disiapkan. Pelan-pelan pemerintah mulai memberikan sosialisasi kepada masyarakat bahwa sampah bukan beban, tapi sumber daya.
Daerah mana yang jadi percontohan dan sukses mengelola sampah?
Banyak. Surabaya dan Malang (Jawa Timur), termasuk yang paling keren (dalam mengelola sampah). Juga Balikpapan. Martapura, meskipun kecil, oke juga.
Reklamasi Teluk Jakarta sempat menjadi perdebatan. Dilihat dari perspektif lingkungan hidup bagaimana?
Gini loh, di dunia ini, di berbagai negara itu enggak ada dan enggak pernah terdengar bahwa reklamasi pantai itu jadi masalah. Di Belanda, bahkan ada provinsi baru dari hasil reklamasi. Jadi, pada dasarnya reklamasi seharusnya bukan masalah. (Lantas) mengapa kemarin Kementerian LHK sampai harus turun tangan, karena reklamasi pantai utara Jakarta melahirkan keresahan sosial. Perintah UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, apabila ada kerusakan, pencemaran, dan keresahan sosial, menterinya mesti turun, beresin. Itu sebabnya saya terlibat.
Setelah saya masuk memang kelihatan ada beberapa persoalan di pulau-pulau itu. Satu per satu kita pelajari. Waktu itu yang didalami adalah pulau C, D, E, dan G. Kesimpulannya, pulau E tak boleh diteruskan karena memang belum dibangun. Pulau C dan D ada masalah di dalam muara sungai dan masalah jarak. Masalah di pulau C dan D rata-rata enam sampai 11 item, sehingga kita kenakan sanksi tak boleh dilanjutkan sampai sanksi diselesaikan.
Terakhir, pengembang pulau C dan D sudah menyelesaikan semua persyaratan, kecuali tentang AMDAL. Persoalan ini beberapa kali disengketakan sampai ke pengadilan. Keputusannya, AMDAL kedua pulau itu harus diubah. Mengapa? AMDAL menurut analisis tim KLHK harus mengikuti kajian lingkungan hidup strategisnya (KLHS) Pemerintah DKI.
Pekerjaan ibu terganggu dengan kabar perombakan kabinet?
Enggak. Saya sudah 34 tahun jadi birokrat. Dan, kalau kita lihat Presiden sebagai pemegang saham suara rakyat, kan dia pegang mandat rakyat, itu namanya principal. Kemudian presiden punya agent-agent untuk melaksanakan pembangunan dengan gayanya prinsipal, hubungan prinsipal agent itu ya terjadi. Kalau agentnya dinilai tidak baik oleh prinsipal, ya diganti saja. Kan memang seperti itu hubungannya secara struktural profesional, tataran fungsional. Kalau buat saya enggak ada pengaruhnya isu itu. Saya dari dulu birokrat, tugasnya birokrat itu mempermudah atasannya, kalau dianggap sudah tidak mempermudah atasannya berarti tidak bisa dipercayakan lagi. Kalau kita di birokrasi, jabatan itu ya kepercayaan. Itu pegangannya. Tugasnya mempermudah atasan. Clear banget. Makanya saya enggak pernah worry, biar aja.
Sudah 34 tahun jadi birokrat, sekarang jadi menteri, ada perbedaan?
Ada, saya 12 tahun loh jadi sekretaris jenderal, ada perbedaannya. Lebih susah jadi menteri lah daripada jadi sekjen. Kalau sekjen itu sudah ada aturan dan sebagainya. Jadi menteri itu harus lebih responsif, sensitif, lihat rakyatnya, dan harus lihat ke risiko politiknya, jadi banyak aspeknya. Enggak masalah buat saya.
LHK baru digabung pada era Jokowi, membawahkan dirjen yang dulunya terbagi menjadi dua kementerian sulit enggak?
Ada 18 eselon 1. Enggak lah, masih managable kok karena saling terkait. Mereka kalau ngobrol soal satu konteks masih saling terkait. Kalau terkait kerja bersama, itu kuat. Kementerian ini sih pilihannya sudah tidak ada yang lain selain kerja bersama. Saya cuma perlu waktu untuk melihat laporan dari eselon 1, kemudian enggak cuma baca tapi juga mikir, sambil baca saya juga mikir ini apa efeknya, hubungannya ke mana, ini risikonya apa. Enggak masalah.
Kira-kira dalam 2 tahun ke depan target apa yang harus dicapai?
Hutan sosial dan agraria. Juga menyelesaikan tata kelola hutan, dalam arti membereskan perizinannya. Cukup berat itu, tapi sudah banyak yang selesai. Lalu menata sawit. Targetnya enggak sampai dua tahun. Kemudian sampah, terutama sampah di pantai. Sudah ada target (kapan sistemnya terbangun).
Siapa pun bisa menyesuaikan diri?
Siapa pun, mau ganti menteri beberapa kali juga, mau enggak ada menterinya, prosedur itu tetap sudah bisa jalan. Karena saya birokrat, saya ngerti itu. Di Belanda itu, saya pernah tahu 7 bulan enggak ada menterinya enggak apa-apa tuh, enggak ada kabinet loh tujuh bulan, jalan. Jadi, ini memang sebenarnya sih sistem birokrasinya yang musti bekerja, sistem pelayanan publiknya yang mesti jalan.
Dua tahun yakin rampung?
Bisa, dan saya beruntung karena banyak yang bantu. LSM-nya juga kritis, tapi konstruktif, masukannya banyak membangun, dan saya pakai. Dari media juga sangat banyak menolong, sekarang banyak media yang punya rubrik lingkungan kan. Wah itu saya langsung catat, saya tiap hari ya ngumpulin loh kliping lingkungan dari tiap media. Kan kita punya grup WhatsApp eselon 1, itu tiap pagi keluar instruksi saya. Setiap pagi dan tengah malam.
Jadi mereka tahu apa yang harus dikerjakan hari itu?
Ya mereka jadi tahu, mana yang harus direspons cepat. Sistemnya harus dibangun, karena kalau ada yang terjadi itu recordingnya bagaimana, karena ciri birokrasi itu filing dan writing, itu sistem itu yang sedang saya bangun. Tapi, ini oke sih saya lihat, semua eselon 1 bekerja keras. Sekjennya (juga) kerja keras.
medcom.id, Jakarta: Keramahan tidak pergi dari diri Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, meski dia disibukkan dengan seabrek pekerjaan. Energi dan emosinya tetap terjaga walau tak jarang dirinya harus berkantor dari pagi hingga jelang tengah malam.
Gambaran di atas nyata ketika Siti meladeni wawancara jurnalis
Metrotvnews.com (MTVN)
Wandi Yusuf,
Dheri Agriesta serta videografer
Arie Bachdar dan
Dimas Prasetyaning dalam dua kesempatan. Pada perjumpaan pertama, Selasa pekan kemarin, ketika perbincangan baru berjalan sekitar 10 menit, dia terpaksa menyetop obrolan karena Presiden Joko Widodo memintanya untuk segera ke Istana Negara.
"Sudah makan belum?" Siti menyapa
Metrotvnews.com pada pertemuan kedua keesokan hari di kantornya di lantai 4 gedung Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat.
Berbalut tema Kerja Bersama, 72 Tahun Kemerdekaan Indonesia, Siti berbicara banyak hal, mulai dari pengelolaan hutan, kebakaran hutan dan lahan gambut, reklamasi, persoalan asap, sampai isu
reshuffle jilid tiga. Tak sedikit pernyataan Siti bersifat
off the record.
Bagaimana Kementerian LHK menerjemahkan moto Indonesia Kerja Bersama?
Sektor lingkungan hidup dan kehutanan justru realitasnya seperti itu (kerja bersama). Karena, yang namanya subjek lingkungan, berurusan dengan publik yang sangat luas. Elemen-elemen yang terlibat sangat banyak. Ada masyarakat, masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, akademisi, dan peneliti-peneliti.
Setiap elemen punya keinginan sendiri. Swasta, misalnya, ingin lingkungan tetap asri namun ekonomi produksi tak terganggu. Kalau akademisi beda lagi. Di sinilah diperlukan sebuah kerja bersama. Kita di kementerian sebagai pengambil keputusan harus melihat pada tingkat optimalnya.
Di tataran masyarakat, kerja bersama juga menjadi rumus untuk menjaga lingkungan. Apalagi jika sudah berbicara soal perhutanan sosial. Seluruh elemen harus bekerja berkelompok. Pemerintah harus memfasilitasi, swasta juga harus terlibat. Jadi, moto ‘Kerja Bersama’ ini paling relevan di Kementerian LHK.
Kerja bersama dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan?
Di tahun ke-71 Indonesia merdeka, termasuk yang ke-72 ini, untuk pertama kalinya kita tak heboh soal kebakaran. Itu hasil dari gotong royong Satgas Terpadu. Mulai dari Manggala Agni (petugas Kementerian LHK), petugas BNPB di daerah, hingga Satpol PP. Yang elemen terpenting adalah masyarakat, yakni Masyarakat Peduli Api. Serta dimotori TNI dan Polri.
Kerja bersama yang lain adalah antara pemerintah pusat dan daerah yang tak pernah berhenti mengikuti perkembangan
hotspot (titik panas). Jadi ada tiga tahapan dari kerja bersama di kementerian ini, yakni saat mengambil keputusan, saat memantau, dan saat bekerja di lapangan.
Apa usaha Kementerian LHK sehingga bisa menekan jumlah kebakaran hutan?
Kita bekerja berdasarkan sistem pengelolaan penanganan kebakaran. Sistem ini harus terus didorong dan disempurnakan. Saat ini muncul sejumlah
hotspot di daerah baru. Namun, daerah operasional Manggala Agni belum ada di seluruh Indonesia. Ini kita siasati dengan menurunkan petugas terdekat di area
hotspot. Kalau ada
hotspot di Sumatera Utara, Sumatera Barat, atau Aceh, kita menurunkan Manggala Agni di Riau. Kalau untuk Nusa Tenggara Timur, kita turunkan petugas dari Sulawasi.
Pesawat terbang (pemadam) pun harus
stand by. Paling tidak satu pesawat untuk keadaan darurat. Kita menempatkan pesawat di Kalimantan Selatan agar mobilitasnya lebih gampang dan cepet. Terkadang kita simpan di Kalimantan Barat atau Sumatera Selatan. Paling sering di Riau. Pesawat juga stand by di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, karena tahun lalu di Jawa juga banyak yang kena.
Kebakaran lahan pada September 2015 di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Foto: AntaraHerry Murdy Hermawan
Upaya Kementerian LHK mengantisipasi kebakaran agar tak berulang?
Penyebab utama kebakaran hutan dan lahan itu adalah manusia. Kebakaran rata-rata terjadi karena ada lahan atau hutan yang sengaja dibakar. Pada bagian ini pemerintah sedang menyiapkan upaya pencegahan. Misalnya, mengendalikan pembukaan lahan dengan cara membakar dan menemukan jalan keluar saat masyarakat tetap harus membakar hutan karena untuk mencari makan.
Upaya lain adalah tata kelola gambut. Gambut justru paling sensitif. Kebakaran besar pada 2015 karena kebakaran di lahan gambut di Riau, Kalimantan Barat, Timur, Tengah, dan Kalimantan Selatan, serta Jambi hingga Sumatera Selatan. Ketika itu, Presiden langsung mencanangkan Badan Restorasi Gambut (BRG). Ini sudah dua tahun berjalan, mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang dahsyat.
Bagaimana mengurangi hotspot?
Keberadaan
hotspot tak bisa dihindari. Itu kejadian alam.
Firespot yang harus dihindari. Harus dikontrol. Kunci menghilangkan
firespot ada di tata kelola gambut. Presiden sudah memerintahkan BRG, TNI, dan Polri mengatasinya. Swasta juga. Salah satu yang sudah dilakukan adalah membangun sekitar 21 ribu sekat kanal agar gambut tetap basah.
Di daerah yang memiliki cekungan, kita buat embung untuk persediaan air. Embung juga berguna untuk mengantisipasi jika terjadi kebakaran. Jadi, kita gampang mengambil air. Kemudian kita buat sumur-sumur bor untuk penyediaan air. (Sekarang) ada hampir 12 ribu sumur bor.
Jadi, mulai dari sekarang kita terus menata kelola untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan. Nah, yang dibutuhkan selanjutnya bagaimana pekerjaan yang telah dilakukan itu diketahui dan dikoreksi masyarakat. Kita ingin menciptakan
fit government. Aspek penegakan hukum juga harus berjalan dan tak melulu pidana. Bisa perdata, bisa juga sanksi sosial.
.jpeg)
Selama 2015-2016 kita sudah mengeluarkan banyak sanksi. Hampir 47 kasus. Belasan sudah masuk pengadilan. Yang saat ini diawasi sekitar 115 kasus. Jadi, yang penting tak boleh berhenti dan tak boleh capek. Kita mesti sabar dan terus membenahi sistemnya. Sekarang kita terus memperkuat sistem mencegah
hotspot. Jadi kalau ada
hotspot, di mana tempatnya, tim langsung bergerak. Sebetulnya sih sekarang juga sedang memulai, tapi belum se-Indonesia diterapkan. Di beberapa tempat penanganannya sudah cepat, seperti di Riau.
Riau tahun ini termasuk yang terkendali dibanding daerah lain. Mereka belajar dari 2015. Riau juga sudah 17 tahun punya masalah itu. Jadi, begitu dapat sistemnya, dia pegang teguh. Saya dapat laporan, dua tahun ini selama Agustus tak ada asap. Kalau bisa seluruh Indonesia meniru sistem siaga di Riau. Sumsel sekarang mulai siaga, tapi dia belum semapan Riau. Jambi lumayan. Kalbar juga seperti Jambi.
Sistem apa yang diterapkan di Riau?
Inovasi sistem bekerja. Pengorganisasiannya baik, masyarakat dan LSM-nya keras, polisi dan TNI-nya kuat. Seluruhnya bekerja. Inovasi terpentingnya adalah bagaimana sistem deteksi dini dan cara mereka mengatur gambut. Jadi, di situ mainnya.
Sumsel juga jago. Korem-nya bahkan punya inovasi mikrobiologi. Jadi, di gambutnya itu ada material mikrobiologi yang bisa menutup pori gambut agar tak gampang terbakar atau malah kebal api. Polda-nya juga punya inovasi dalam hal deteksi dini. Mereka memanfaatkan teknologi saat melaporkan adanya
hotspot.
Singapura cerewet soal kebakaran hutan di Indonesia, tanggapan Anda?
Kita semua tahu, dia (Singapura-Red.) cerewet dan kadang-kadang ngomong seenaknya. Saya tak mengerti apakah mereka memahami bahwa Indonesia begitu luas, sedangkan Singapura begitu kecil. Cara dia melihat Indonesia itu, menurut saya, kurang adil karena seperti ingin memaksakan pola-pola yang menurut mereka baik.
Lebih tak adil lagi ketika di arena-arena internasional, Singapura menyudutkan Indonesia. Mereka sering katakan, "Ini asap lintas batas. Ini mengganggu. Perusahaan perusaknya dari Indonesia. Harus kita selidiki bersama-sama, harus diadili di Singapura." Itu kan menurut UU di Singapura. Sementara Indonesia dan Singapura belum punya kerja sama dalam hal penegakan hukum. Singapura menghendaki perusahaan-perusahaan kita diadili di Singapura. Menurut saya itu tak bisa dilakukan. Di dalam perjanjian ASEAN, kerja sama itu dalam yurisdiksi negara masing-masing dan dalam prinsip saling menghormati. Saya masih bertahan untuk itu.
Baca: JK Ajak Malaysia & Singapura Selesaikan Masalah Kabut Asap
Singapura juga selalu mengatakan mereka selalu membantu Indonesia. Tetapi,
statement dan tekanan ke Indonesia tidak imbang dengan apa yang dia bantu. Misalnya, kita kerja dengan 31 pesawat selama berbulan-bulan.
Water bombing sudah mulai dari Februari loh, sekarang sudah Agustus. Artinya kita kerja terus-terusan, bukan kerja seminggu, dua minggu, atau sebulan. Singapura hanya sanggup bertahan membantu kita paling sebulan. Dalam record yang saya baca, tak ada dia bantu berbulan-bulan. Sebagai teman begitu. Tetapi selalu introduksi di forum-forum internasional agak menyudutkan Indonesia. Saya tidak
happy untuk itu.
Singapura juga sangat sedikit mau mengakui kebijakan-kebijakan yang baik di Indonesia. Kita sih tak perlu pengakuan Singapura, tapi di dalam arena internasional ketika men-judge atau menganalisis tentang Indonesia, harusnya objektif. Semuanya harus diungkapkan. Kadang-kadang di dalam forum internasional, dia justru mengajak negara lain, "
Look! Lihat ada yang seperti ini
loh di dunia. Ada yang kaya Indonesia." Begitu kira-kira. Kita
dengernya, kok jadi begini? Seperti bukan teman.
Kabut asap dari Indonesia yang mencapai Singapura pada 2015. Foto: AFP
Baca: Kejengkelan Singapura pada Asap Indonesia
Saat ini, saya mengikuti saja apa yang baik kita lakukan. Diplomasi dengan Singapura saya serahkan penuh ke Kementerian Luar Negeri. Buat saya yang penting pak Dubes Singapura kita update soal situasi terakhir. Kebijakan kita begini, Bu Menlu juga selalu saya beri informasi terakhir, begini situasinya. Saya kira kita memang kerja itu bukan untuk orang lain kok. Indonesia ini bekerja dalam hal lingkungan dan hutan untuk rakyatnya sendiri. Sesuai perintah UUD.
Jadi, kalau pun kita berkomitmen terhadap konvensi internasional, itu karena sejalan dengan UUD. Dan saya menganggapnya itu sebuah instrumen yang bisa mendorong kita untuk memenuhi perintah UUD. Apalagi sudah banyak negara mendukung kita, seperti Norwegia, Jerman, Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris. Banyak yang membantu kita, Jepang, Belanda, Denmark, banyak deh.
Prinsipnya, instrumen yang baik dan dukungan yang baik semata-mata sebagai cermin kita bekerja memenuhi mandat konstitusi, yakni untuk rakyat Indonesia. Saya kira itu prinsipnya.
Bagaimana Anda menyikapi sindiran Presiden soal peraturan menteri yang justru menghambat investasi?
Nggak itu. Bapak (Presiden) tak pernah menyebut secara spesifik peraturan menteri yang mana. Saya kira itu harus diketahui publik. Pesan Presiden itu sebetulnya tak spesifik terhadap peraturan yang mana, tetapi memang bisa saja bahwa dunia usaha menganggap dia terganggu dan ada kesulitan dengan beberapa aturan. Misalnya, tentang legalitas kayu, itu sudah saya koreksi. Kemudian tentang gambut.
Kalau tentang gambut, jelas bahwa gambut itu barang publik yang taruhannya adalah asap yang bisa membunuh rakyat. Kita tak bisa mempertaruhkan barang publik itu ke swasta. Oleh karena itu kita mengaturnya sangat ketat. Artinya, bahwa gambut-gambut yang dalam, yang punya fungsi lindung, itu tak boleh ditanam (jenis lain). Bahwa setelah gambut terbakar dan membahayakan rakyat dengan asapnya, berarti tak boleh ada izin baru di tanah gambut.
Bisa saja swasta berpendapat bahwa, lho kalau begitu saya terganggu. Ok, kalau terganggu. Yang mana yang terganggu? Lokasinya di mana? Mari kita lihat. Tahu gak apa yang terjadi, izin HTI (hutan tanaman industri) dan kebun itu yang lahannya gambut mencapai 6 juta hektare. Kebayang gak kalau yang 6 juta hektare itu terbakar. Itu yang
gak bisa dipertaruhkan atau kita biarkan seperti yang sudah-sudah.
Tapi, kita juga menyiapkan solusinya. Perusahaan bisa pindah ke tanah yang bukan gambut. Dan itu bisa diberikan pemerintah. Dan izinnya juga tak lama. Presiden kan sudah bilang kalau sekarang izin gak boleh lama-lama.
Progres perhutanan sosial?
Sudah berjalan. Kebijakan perhutanan sosial ditetapkan Presiden pada September 2016. Prinsipnya, pemberdayaan masyarakat dikaitkan dengan hutan itu kan sudah ada sebelumnya. Tapi, saat itu hanya pemberdayaan. Saya menyebutnya konsep linier. Biasa-biasa dan tak menghasilkan apa-apa. Masyarakat tak merasa sejahtera untuk itu. Karena itu Presiden merancang dan memikirkan bagaimana agar hutan menjadi produktif.
Perhutanan sosial ini adalah upaya Presiden memberi akses masyarakat untuk memanfaatkan resources sekaligus dibimbing para ahli, baik akademisi maupun LSM. Dan itu difasilitasi negara. Pemerintah memberikan akses ke perbankan, memberi bibit, memberi akses untuk bekerja sama dengan swasta yang memasarkan produk masyarakat.
Sekarang, saya menerima 5-8 surat permohonan perhutanan sosial. Realisasi perhutanan sosial kita sampai sekarang sekitar 500 ribu hektare sejak September tahun lalu. Kalau kita hitung dengan pemberdayaan sebelumnya, sudah 900 ribuan hektare.
Ada contoh perhutanan sosial yang berhasil?
Banyak. Di Sungai Buluh, Sumatera Barat, misalnya. Di Yogyakarta dan Serang, Banten, juga bisa menjadi contoh. Saya sudah lihat di lebih dari 50-60 tempat di Indonesia. Bahkan madu di hutan Kalimantan kali ini sudah bisa diekspor. Kita memang harus terus membantu dalam hal pemasaran dan modernisasi manejemennya.
Setelah 71 tahun Indonesia merdeka, baru pertama kali hutan adat diakui secara resmi oleh Bapak Presiden di Istana Negara. Itu juga sesuatu loh. Saya kira banyak hal yang baru yang polanya dipikirkan sendiri oleh Bapak Presiden. Biasanya dia kalau di lapangan sambil melihat sambil berpikir, "nih bagaimana
kalo kaya gini?" Kebanyakan petunjuk Beliau kepada saya itu pada saat di lapangan.
Bagaimana menyelesaikan kriminalisasi petani?
Itu sudah lama kita tinggalkan setelah
putusan MK Nomor 35 yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara. Saat pertama kali masuk (menjadi menteri), aspek itu yang saya lihat. Saya minta kepada semua petugas lapangan jangan mudah menangkap orang. Harus dilakukan pendekatan persuasif dan berikan
understanding kepada mereka. Perhutanan sosial yang akan menolong kasus-kasus seperti ini. Tapi, jika memang ada yang terbukti nyolong pohon, ya harus ditindak dengan keras.
Implementasi Ratifikasi Paris Agreement sudah sampai mana?
Paris Agreement itu merupakan komitmen banyak negara. Sekarang sudah fase implementasi. Ukurannya adalah komitmen setiap negara untuk menurunkan emisi. Kita punya janji menurunkan emisi selama membangun itu (dari) 29% menjadi 4%. Kementerian LHK penyumbang emisi terbanyak, 17 persen. Kemudian (Kementerian) Energi, 11 persen. Presiden menugaskan agar kementerian hati-hati terkait dengan emisi, gas rumah kaca, karbon, dan lain lain. Itu menjadi mainstreaming di pembangunan. Artinya, setiap kali kita melangkah membangun, kita harus ingat bahwa kita akan menurunkan emisi. Itu gunanya untuk melindungi atmosfer dari kenaikan suhu bumi.
Baca: Kalla Tegaskan Komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris
Indonesia, menurut saya, sih tidak ketinggalan. Kita beruntung, sebelum Paris Agreement kita sudah punya Bali Road Map pada Februari 2007. Kemudian ada Badan Pengelola Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (BP REDD+), itu yang dari Norwegia. Jadi, kita exercise-nya sudah dari awal. Oleh karena itu, Indonesia, kalau bicara soal perubahan iklim, termasuk yang diharapkan oleh dunia karena termasuk nomor 9 atau 10 negara penyumbang emisi terbesar. Paling besar tetap ya, Amerika Serikat, Inggris, China, kita tapi
deket-deket dengan mereka. Kita relatif oke dengan perubahan iklim.
Dulu, Norwegia sempat mengeluhkan pemerintah lambat mencairkan sehingga dana yang disediakan tak bisa dimanfaatkan maksimal. Sekarang seperti apa?
Itu kan dulu, sekarang sudah dirapihin. Sekarang semua disatukan. Namanya, National Vocal Point. Kita menyimpannya di Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, jadi BP REDD+ ada di situ, Dewan Nasional Perubahan Iklim ada di situ. Itu sebabnya Direktorat Jenderal ini didampingi oleh Dewan Nasional Pertimbangan dan Pengarah yang diketuai pak Sarwono. Dewan isinya multistakeholder juga, ada kementerian, akademisi, anggota LSM, dan komunitas. Jadi polanya sekarang sudah disatukan, makanya instrumennya sekarang bisa bekerja.
Siti Nurbaya menandatangani dokumen Paris Agreement pada 23 April 2016. Foto: Metro TV
Selain Norwegia, ada negara lain?
Banyak. Uni Eropa ada Jerman, Inggris, dan Denmark. Jepang juga terlibat. Cuma sekarang mereka minta dana dari REDD+ enggak masuk APBN karena kan berarti dibahas di DPR, diperiksa-periksa kali ya sama BPK dan lain lain. Jadi luar negeri mintanya semacam dana trust fund, semacam dana non-APBN, tapi tetap harus terkendali oleh pemerintah dan dikelola secara transparan. Oleh karena itu sebenarnya terus mendorong untuk didirikan Badan Layanan Umum (BLU) di Kementerian Keuangan yang isinya menampung semua dana seperti itu. Dana seperti itu nanti untuk grant kepada LSM, komunitas, peningkatan sosialisasi di media, rakyat, dan untuk masyarakat adat. Itu namanya
grant,
small grant.
Ada juga untuk investasi, investasi perusahaan apa, bikin
installment untuk menata gambut, misalnya. Atau untuk
capacity building-nya aparat, untuk personel apa. Itu sedang disiapkan instrumennya dalam bentuk PP, saya sudah naikin dan belakangan rapat di Kemenko Perekonomian dan sudah final. Sekarang masih berproses di Kemenko Perekonomian dan Setkab. Mudah-mudahan ya, kalau saya sih yang penting sistem itu di-
established, di-
set supaya ke depan siapa pun menterinya sudah ada cara kerja birokrasinya.
SOAL LINGKUNGAN HIDUP
Produksi sampah Indonesia terbilang tinggi, menyentuh jutaan ton per tahun?
Setting nasional tentang persampahan ada perubahan. Di kementerian zaman Presiden Jokowi, (persoalan lingkungan) disatukan dengan kehutanan. Jadi, yang sekarang dilakukan oleh kementerian adalah memberikan kebijakan, memberikan standar dan pembinaann di lapangan, percontohannya, kemudian dikerjakan bersama-sama.
Jadi, kita memberikan kampanye dengan Adipura, dengan contoh menangani dan membersihkan sampah di laut, di Bunaken. Juga menangani limbah dan lain-lain. (Tapi), belum semua pemerintah daerah
concern karena sampah belum menjadi sesuatu yang produktif. Masih jadi beban daerah. Nah, sekarang pemerintah tengah mendorong pemda untuk mengolah sampah menjadi sumber energi, menjadi listrik. Dukungan masyarakat juga sangat luas dan seharusnya ini jadi momentum untuk membangun gerakan secara nasional.
Apa artinya gerakan secara nasional?
Artinya potensi perhatian dari komunitas sekarang sudah puluhan ribu. Itu kelihatan dalam acara Hari Sampah pada Februari (2017). Dukungan masyarakat tinggi banget. Kita sedang susun gerakan komunitas ini menjadi sistematis. Kita tahu di mana saja mereka, bagaimana mereka menangani sampah. Bank sampah juga sudah menjamur di mana-mana. Jumlahnya sekarang sudah lebih dari 4 ribu dan perkiraan saya eskalasinya tinggi, itu juga sesuatu.
Bahkan sekarang ada yang lebih baik lagi, sampah menjadi sirkular ekonomi. Plastik jadi kursi. Plastik jadi kaos. Kalau soal persampahan, sebetulnya yang paling penting dari pemerintah adalah dukungan dan dorongan kepada komunitas. Standar-standarnya disiapkan. Peraturan menteri sedang disiapkan. Pelan-pelan pemerintah mulai memberikan sosialisasi kepada masyarakat bahwa sampah bukan beban, tapi sumber daya.
Daerah mana yang jadi percontohan dan sukses mengelola sampah?
Banyak. Surabaya dan Malang (Jawa Timur), termasuk yang paling keren (dalam mengelola sampah). Juga Balikpapan. Martapura, meskipun kecil, oke juga.
Reklamasi Teluk Jakarta sempat menjadi perdebatan. Dilihat dari perspektif lingkungan hidup bagaimana?
Gini loh, di dunia ini, di berbagai negara itu enggak ada dan enggak pernah terdengar bahwa reklamasi pantai itu jadi masalah. Di Belanda, bahkan ada provinsi baru dari hasil reklamasi. Jadi, pada dasarnya reklamasi seharusnya bukan masalah. (Lantas) mengapa kemarin Kementerian LHK sampai harus turun tangan, karena reklamasi pantai utara Jakarta melahirkan keresahan sosial. Perintah UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, apabila ada kerusakan, pencemaran, dan keresahan sosial, menterinya mesti turun, beresin. Itu sebabnya saya terlibat.
Setelah saya masuk memang kelihatan ada beberapa persoalan di pulau-pulau itu. Satu per satu kita pelajari. Waktu itu yang didalami adalah pulau C, D, E, dan G. Kesimpulannya, pulau E tak boleh diteruskan karena memang belum dibangun. Pulau C dan D ada masalah di dalam muara sungai dan masalah jarak. Masalah di pulau C dan D rata-rata enam sampai 11 item, sehingga kita kenakan sanksi tak boleh dilanjutkan sampai sanksi diselesaikan.
Terakhir, pengembang pulau C dan D sudah menyelesaikan semua persyaratan, kecuali tentang AMDAL. Persoalan ini beberapa kali disengketakan sampai ke pengadilan. Keputusannya, AMDAL kedua pulau itu harus diubah. Mengapa? AMDAL menurut analisis tim KLHK harus mengikuti kajian lingkungan hidup strategisnya (KLHS) Pemerintah DKI.
Pekerjaan ibu terganggu dengan kabar perombakan kabinet?
Enggak. Saya sudah 34 tahun jadi birokrat. Dan, kalau kita lihat Presiden sebagai pemegang saham suara rakyat, kan dia pegang mandat rakyat, itu namanya principal. Kemudian presiden punya agent-agent untuk melaksanakan pembangunan dengan gayanya prinsipal, hubungan prinsipal agent itu ya terjadi. Kalau agentnya dinilai tidak baik oleh prinsipal, ya diganti saja. Kan memang seperti itu hubungannya secara struktural profesional, tataran fungsional. Kalau buat saya enggak ada pengaruhnya isu itu. Saya dari dulu birokrat, tugasnya birokrat itu mempermudah atasannya, kalau dianggap sudah tidak mempermudah atasannya berarti tidak bisa dipercayakan lagi. Kalau kita di birokrasi, jabatan itu ya kepercayaan. Itu pegangannya. Tugasnya mempermudah atasan.
Clear banget. Makanya saya enggak pernah
worry, biar aja.
Sudah 34 tahun jadi birokrat, sekarang jadi menteri, ada perbedaan?
Ada, saya 12 tahun loh jadi sekretaris jenderal, ada perbedaannya. Lebih susah jadi menteri lah daripada jadi sekjen. Kalau sekjen itu sudah ada aturan dan sebagainya. Jadi menteri itu harus lebih responsif, sensitif, lihat rakyatnya, dan harus lihat ke risiko politiknya, jadi banyak aspeknya. Enggak masalah buat saya.
LHK baru digabung pada era Jokowi, membawahkan dirjen yang dulunya terbagi menjadi dua kementerian sulit enggak?
Ada 18 eselon 1. Enggak lah, masih managable kok karena saling terkait. Mereka kalau ngobrol soal satu konteks masih saling terkait. Kalau terkait kerja bersama, itu kuat. Kementerian ini sih pilihannya sudah tidak ada yang lain selain kerja bersama. Saya cuma perlu waktu untuk melihat laporan dari eselon 1, kemudian enggak cuma baca tapi juga mikir, sambil baca saya juga mikir ini apa efeknya, hubungannya ke mana, ini risikonya apa. Enggak masalah.
Kira-kira dalam 2 tahun ke depan target apa yang harus dicapai?
Hutan sosial dan agraria. Juga menyelesaikan tata kelola hutan, dalam arti membereskan perizinannya. Cukup berat itu, tapi sudah banyak yang selesai. Lalu menata sawit. Targetnya enggak sampai dua tahun. Kemudian sampah, terutama sampah di pantai. Sudah ada target (kapan sistemnya terbangun).
Siapa pun bisa menyesuaikan diri?
Siapa pun, mau ganti menteri beberapa kali juga, mau enggak ada menterinya, prosedur itu tetap sudah bisa jalan. Karena saya birokrat, saya ngerti itu. Di Belanda itu, saya pernah tahu 7 bulan enggak ada menterinya enggak apa-apa tuh, enggak ada kabinet loh tujuh bulan, jalan. Jadi, ini memang sebenarnya sih sistem birokrasinya yang musti bekerja, sistem pelayanan publiknya yang mesti jalan.
Dua tahun yakin rampung?
Bisa, dan saya beruntung karena banyak yang bantu. LSM-nya juga kritis, tapi konstruktif, masukannya banyak membangun, dan saya pakai. Dari media juga sangat banyak menolong, sekarang banyak media yang punya rubrik lingkungan kan. Wah itu saya langsung catat, saya tiap hari ya ngumpulin loh kliping lingkungan dari tiap media. Kan kita punya grup WhatsApp eselon 1, itu tiap pagi keluar instruksi saya. Setiap pagi dan tengah malam.
Jadi mereka tahu apa yang harus dikerjakan hari itu?
Ya mereka jadi tahu, mana yang harus direspons cepat. Sistemnya harus dibangun, karena kalau ada yang terjadi itu recordingnya bagaimana, karena ciri birokrasi itu filing dan writing, itu sistem itu yang sedang saya bangun. Tapi, ini oke sih saya lihat, semua eselon 1 bekerja keras. Sekjennya (juga) kerja keras.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ICH)