Jakarta: Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai latar kepuasan terhadap pemerintahan saat ini tidak akan banyak berperan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Sebab, pesta politik 2024 tidak akan diikuti petahana.
"Saya kira faktor kepuasan dan ketidakpuasan mungkin ada pengaruhnya pada perolehan partai tertentu, tapi menurut saya faktor determinan suara partai bukan soal puas atau tidak pada pemerintahan," kata Arya melalui keterangan tertulis, Jakarta, Selasa, 16 Agustus 2022.
Menurut dia, ada beberapa faktor penentu dalam perolehan suara partai pada Pemilu 2024. Pertama, kandidat yang diusung dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2024. Kekuatan sosok kandidat masih menjadi acuan utama publik untuk menjatuhkan pilihan ke partai tertentu.
"Faktor utama naik-turun suara partai itu adalah, pertama, siapa kandidat yang akan mereka calonkan di DPR RI, DPRD. Tetap faktor kandidat yang diusung," ujarnya.
Selanjutnya, ada faktor narasi program yang ditawarkan partai politik. Terakhir, sosok yang didukung dalam Pilpres 2024. Ketiga faktor itu masih berada pada kategori penentu dalam memotret perolehan suara partai politik.
"Faktor determinannya tiga itu. Faktor kepuasan mungkin iya, tapi ketika incumbent tidak ada maka faktor kepuasan publik menurut saya tidak terlalu besar pengaruhnya," tegasnya.
Menurut Arya, pembentukan koalisi di antara partai yang hendak berlaga di Pemilu 2024 memang sudah mengerucut menjadi beberapa poros. Namun, hal itu masih menyisakan kerentanan. Peta koalisi masih bisa berubah hingga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) resmi terdaftar di KPU.
"Kerentanan itu untuk terbelah, bubar, atau gagal. Mengapa ada kerentanan? Karena pendaftaran capres masih September tahun depan. Sehingga, kemungkinan-kemungkinan untuk partai mengalihkan dukungan masih terbuka," ucap Arya.
Selain itu, kerentanan koalisi itu dipengaruhi tren peluang kandidat capres. Selanjutnya, dipengaruhi negosiasi para king maker politik.
"Jadi untuk koalisi memang sudah mengerucut. Pilihan-pilihannya terbatas tapi di internal dan eksternal ada kerentanan. Perubahan itu bisa terjadi kalau deadlock saat menentukan siapa capres, siapa cawapres," tegas dia.
Nyaman di tengah
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA memetakan dukungan kepada poros koalisi partai politik dalam Pilpres 2024 kemarin. Ada tiga jenis pemilih yang disasar dalam survei tersebut.
Ketiganya, yakni pemilih yang puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kemudian, pemilih yang moderat dan pemilih yang kurang puas terhadap kinerja Jokowi.
Hasilnya, poros PDIP menguasai segmen pemilih puas terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Poros Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) menguasai segmen pemilih moderat. Sedangkan Gerindra-PKB menguasai segmen pemilih yang kurang puas. Pemilih moderat disebut merasa nyaman berada di tengah.
"Ternyata yang menarik yang moderat lebih banyak ke KIB karena Golkar tidak identik kuat dengan Pak Jokowi karena ada PDIP dan tidak identik kuat sebagai oposisi karena masuk di pemerintahan," kata peneliti LSI Ardian Sopa.
Menurut dia, pola ini bisa terus berlanjut pada peta pemilih di Pemilu 2024. Apalagi, ketiga poros yang disebutkan tadi telah memenuhi syarat presidential threshold.
Namun, masih ada tiga partai yang belum menentukan koalisinya, yaitu Partai Demokrat, Partai Keadilan Sosial (PKS), dan Partai NasDem. Langkah mereka begitu krusial untuk merubah peta poros pada Pemilu 2024. Dalam survei itu juga disebutkan jika KIB berhasil menggaet satu parpol lagi maka sudah pasti hanya tiga pasang calon yang berlaga di Pemilu 2024.
"Sehingga, jika KIB berhasil menambah satu (anggota), jadinya akan tidak cukup lagi. Ini perburuan di akhir jangan sampai ada yang ketinggalan kereta," kata Ardian.
Pada survei yang sama, disebutkan sejumlah elite partai seperti Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Puan Maharani masih perlu mengejar elektabilitas. Saat ini, LSI hanya meletakkan figur Airlangga dan Puan pada posisi cawapres.
"Sehingga, jika mereka masih mampu menggerakkan ranting akan bisa mengoptimalkan potensi mereka. Mungkin sekarang masih disebut menjadi cawapres karena angka (elektabilitas) masih kecil, namun ketika katakan pada Juni 2023 mereka sudah menjadi calon yang kuat, tidak menutup kemungkinan mereka jadi capres yang potensial," tegas Ardian.
Survei ini menggunakan 1.200 responden di 34 provinsi. Wawancara dilaksanakan secara tatap muka (face to face interview). Margin of error (Moe) survei ini sebesar +/- 2,9 persen.
Jakarta: Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai latar kepuasan terhadap pemerintahan saat ini tidak akan banyak berperan dalam Pemilihan Presiden
(Pilpres) 2024. Sebab,
pesta politik 2024 tidak akan diikuti petahana.
"Saya kira faktor kepuasan dan ketidakpuasan mungkin ada pengaruhnya pada perolehan partai tertentu, tapi menurut saya faktor determinan suara partai bukan soal puas atau tidak pada pemerintahan," kata Arya melalui keterangan tertulis, Jakarta, Selasa, 16 Agustus 2022.
Menurut dia, ada beberapa faktor penentu dalam perolehan suara partai pada Pemilu 2024. Pertama, kandidat yang diusung dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2024. Kekuatan sosok kandidat masih menjadi acuan utama publik untuk menjatuhkan pilihan ke partai tertentu.
"Faktor utama naik-turun suara partai itu adalah, pertama, siapa kandidat yang akan mereka calonkan di DPR RI, DPRD. Tetap faktor kandidat yang diusung," ujarnya.
Selanjutnya, ada faktor narasi program yang ditawarkan
partai politik. Terakhir, sosok yang didukung dalam Pilpres 2024. Ketiga faktor itu masih berada pada kategori penentu dalam memotret perolehan suara partai politik.
"Faktor determinannya tiga itu. Faktor kepuasan mungkin iya, tapi ketika incumbent tidak ada maka faktor kepuasan publik menurut saya tidak terlalu besar pengaruhnya," tegasnya.
Menurut Arya, pembentukan koalisi di antara partai yang hendak berlaga di Pemilu 2024 memang sudah mengerucut menjadi beberapa poros. Namun, hal itu masih menyisakan kerentanan. Peta koalisi masih bisa berubah hingga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) resmi terdaftar di KPU.
"Kerentanan itu untuk terbelah, bubar, atau gagal. Mengapa ada kerentanan? Karena pendaftaran capres masih September tahun depan. Sehingga, kemungkinan-kemungkinan untuk partai mengalihkan dukungan masih terbuka," ucap Arya.
Selain itu, kerentanan koalisi itu dipengaruhi tren peluang kandidat capres. Selanjutnya, dipengaruhi negosiasi para king maker politik.
"Jadi untuk koalisi memang sudah mengerucut. Pilihan-pilihannya terbatas tapi di internal dan eksternal ada kerentanan. Perubahan itu bisa terjadi kalau
deadlock saat menentukan siapa capres, siapa cawapres," tegas dia.