Jakarta: Pemerintah diminta menyelesaikan konflik di Papua dengan pendekatan yang holistik dan kolaboratif. Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menyebut konflik Papua harus dipahami dalam spektrum yang lebih luas.
"Konflik Papua ini tergolong paling alot, sangat lama dibanding di wilayah lain. Maka perlu kajian mendalam untuk mengidentifikasi akar persoalan konflik," kata Karyono seperti dikutip dari Antara, Jumat, 7 Mei 2021.
Menurut dia, konflik di Papua harus dipahami dalam spektrum lebih luas. Karena, di Papua tak berlaku solusi tunggal karena persoalannya sangat heterogen, multidimensi, dan sangat rumit.
Di sisi lain, anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi pembangunan di Papua sudah terlegislasi dan diregulasikan dengan baik. Contohnya, dengan adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Kemudian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2008 yang mengamanatkan agar Papua mewujudkan keadilan; penegakan supremasi hukum; penghormatan HAM; percepatan pembangun ekonomi; dan peningkatan kesejahteraan dalam rangka kesetaraan.
Baca: Anggaran Otsus Papua Harus Dibarengi Peningkatan Literasi
"Bicara konflik Papua, perlu dilihat, apakah masalah ada pada regulasi, perda, ataukah secara taktis implementasinya. Sebab dengan dana otsus yang ratusan triliun pasti indeks manusianya meningkat," kata Bobby.
Dia mencontohkan ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggenjot pembangunan infrastruktur jalan lintas, BBM satu harga, dan program lainnya. Ternyata, masih ada kendala di lapangan berupa pertentangan antara yang mendukung dan melawan kebijakan itu.
"Pembangunan jalan ruas Papua, masih banyak diganggu. BBM satu harga ternyata masih ada biaya tambahan. Maka secara taktis harus dilihat. Mana yang mendukung program pemerintah dan mana yang menolak dan menghambat kemajuan," kata Bobby.
Staf Khusus Presiden Billy Mambrasar menilai pembangunan Papua sebenarnya sudah berjalan baik. Khususnya, dengan basis sumber daya manusia dan sejak berlakunya Otsus Papua tahun 2001.
"Saya menerima beasiswa Otsus dan saya hanya satu cerita dari ribuan cerita lainnya. Kami ikut dalam human centered development process," tutur Billy.
Ia menilai konsep membangun bersama masyarakat Papua telah membuka peluang kemajuan yang sangat potensial. Jika dulu pemerintah pusat membangun ke Papua, maka sekarang waktunya mengkapitalisasi SDM anak Papua yang sudah siap ikut membangun daerahnya.
Billy juga menyebut pembangunan di Papua harus berbasis potensi lokal. Mengembangkan potensi itu tentunya bersifat terstruktur melibatkan masyarakat asli Papua.
"Orang asli Papua adalah mitra pembangunan pemerintah," katanya.
Sementara itu, Mantan mantan Menteri Riset dan Teknologi era Gus Dur, AS Hikam, menilai konflik di Papua mestinya dilihat dengan cara pandang humanis dan kebudayaan. Karena, masalah Papua bisa diselesaikan dengan pendekatan yang khas masyarakat sipil.
"Jadi bagaimana masyarakat sipil bisa terlibat secara sukarela dalam menyelesaikan masalah. Ini kedengarannya sederhana tapi tidak mudah. Apalagi jika mereka masih ada trauma," jelas Hikam.
Jakarta: Pemerintah diminta menyelesaikan konflik di Papua dengan pendekatan yang holistik dan kolaboratif. Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menyebut konflik Papua harus dipahami dalam spektrum yang lebih luas.
"Konflik Papua ini tergolong paling alot, sangat lama dibanding di wilayah lain. Maka perlu kajian mendalam untuk mengidentifikasi akar persoalan konflik," kata Karyono seperti dikutip dari
Antara, Jumat, 7 Mei 2021.
Menurut dia, konflik di
Papua harus dipahami dalam spektrum lebih luas. Karena, di Papua tak berlaku solusi tunggal karena persoalannya sangat heterogen, multidimensi, dan sangat rumit.
Di sisi lain, anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi pembangunan di Papua sudah terlegislasi dan diregulasikan dengan baik. Contohnya, dengan adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Papua.
Kemudian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2008 yang mengamanatkan agar Papua mewujudkan keadilan; penegakan supremasi hukum; penghormatan HAM; percepatan pembangun ekonomi; dan peningkatan kesejahteraan dalam rangka kesetaraan.
Baca:
Anggaran Otsus Papua Harus Dibarengi Peningkatan Literasi
"Bicara konflik Papua, perlu dilihat, apakah masalah ada pada regulasi, perda, ataukah secara taktis implementasinya. Sebab dengan dana otsus yang ratusan triliun pasti indeks manusianya meningkat," kata Bobby.
Dia mencontohkan ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggenjot pembangunan infrastruktur jalan lintas, BBM satu harga, dan program lainnya. Ternyata, masih ada kendala di lapangan berupa pertentangan antara yang mendukung dan melawan kebijakan itu.
"Pembangunan jalan ruas Papua, masih banyak diganggu. BBM satu harga ternyata masih ada biaya tambahan. Maka secara taktis harus dilihat. Mana yang mendukung program pemerintah dan mana yang menolak dan menghambat kemajuan," kata Bobby.
Staf Khusus Presiden Billy Mambrasar menilai pembangunan Papua sebenarnya sudah berjalan baik. Khususnya, dengan basis sumber daya manusia dan sejak berlakunya Otsus Papua tahun 2001.
"Saya menerima beasiswa Otsus dan saya hanya satu cerita dari ribuan cerita lainnya. Kami ikut dalam human centered development process," tutur Billy.
Ia menilai konsep membangun bersama masyarakat Papua telah membuka peluang kemajuan yang sangat potensial. Jika dulu pemerintah pusat membangun ke Papua, maka sekarang waktunya mengkapitalisasi SDM anak Papua yang sudah siap ikut membangun daerahnya.
Billy juga menyebut pembangunan di Papua harus berbasis potensi lokal. Mengembangkan potensi itu tentunya bersifat terstruktur melibatkan masyarakat asli Papua.
"Orang asli Papua adalah mitra pembangunan pemerintah," katanya.
Sementara itu, Mantan mantan Menteri Riset dan Teknologi era Gus Dur, AS Hikam, menilai konflik di Papua mestinya dilihat dengan cara pandang humanis dan kebudayaan. Karena, masalah Papua bisa diselesaikan dengan pendekatan yang khas masyarakat sipil.
"Jadi bagaimana masyarakat sipil bisa terlibat secara sukarela dalam menyelesaikan masalah. Ini kedengarannya sederhana tapi tidak mudah. Apalagi jika mereka masih ada trauma," jelas Hikam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)