Kaleidoskop 2021: Moeldoko Kudeta AHY Hingga Dorongan Presidential Threshold 0%
Achmad Zulfikar Fazli • 26 Desember 2021 15:38
Jakarta: Pertikaian antarkader partai politik mewarnai perpolitikan Tanah Air sepanjang 2021. Mereka saling sikut untuk memegang kendali partai yang dinaunginya.
Pada Februari 2021, gejolak mulai muncul di internal Partai Demokrat. Kepengurusan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) direcoki beberapa kader Demokrat.
Tak tanggung-tanggung, mereka berusaha menggulingkan AHY. Salah satu alasannya pelengseran itu ialah DPP Demokrat di bawah kepemimpinan AHY kerap manarik iuran ke DPD dan DPC.
DPP Demokrat mengedus pemufakatan jahat itu. Pada Jumat, 26 Februari, mereka yang memberontak langsung dipecat.
Berikut kader Partai Demokrat yang dipecat:
Marzuki Alie
Darmizal
Yus Sudarso
Tri Yulianto
Jhoni Allen Marbun
Syofwatillah Mohzaib
Ahmad Yahya.
KLB Demokrat
Pemecatan itu tak membuat mereka patah arang. Mereka terus memberi pelawanan ke DPP Demokrat.
Upaya pelengseran AHY terus berjalan lewat Kongres Luar Biasa (KLB). Mereka menggalang massa dari tingkat DPC dan DPD untuk memuluskan pelaksanaan KLB.
Pada awal Maret 2021, KLB digelar di Deli Serdang, Sumatra Utara. Agenda utama KLB ialah menetapkan pengganti AHY.
Di tengah hiruk pikuk pelaksanaan KLB, nama Kepala Staf Presiden Jenderal (Purn) Moeldoko mencuat sebagai calon pengganti AHY. Hal tersebut disampaikan politikus senior Partai Demokrat, Darmizal MS.
"Suara yang diberikan (untuk Moeldoko), kemungkinan menjadi suara mayoritas kader," kata Darmizal, Kamis, 4 Maret 2021.
KLB yang diklaim dihadiri 387 perwakilan dewan pimpinan cabang (DPC) tersebut pun berjalan cepat.
Moeldoko Jadi Ketum Demokrat
Jumat, 5 Maret 2021, agenda terpenting dalam KLB Demokrat digelar. Peserta KLB menetapkan calon ketua umum yang baru untuk menggantikan AHY.
Bukan kejutan lagi, Moeldoko akhirnya terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Moeldoko terpilih secara aklamasi.
"Menimbang dan seterusnya, memperhatikan dan seterusnya, menetapkan Jenderal (Purn) Dr Moeldoko sebagai Ketua Umum DPP Demokrat hasil kongres luar biasa periode 2021-2025," kata pimpinan sidang Jhonny Allen saat membacakan hasil KLB yang disiarkan melalui Metro TV, Jumat, 5 Maret 2021.
Baca: Moeldoko Kembali Keok, PTUN Tolak Gugatan Pengajuan Pengesahan KLB
KLB juga menetapkan Marzuki Alie sebagai Ketua Dewan Pembina Demokrat 2021-20215. Kemudian, memutuskan kepengurusan AHY tidak berlaku.
Hasil KLB membuat keributan di internal Demokrat makin keras. Bahkan, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono sampai turun gunung.
SBY Buka Pintu Perang
SBY kecewa dan malu dengan kekisruhan di Demokrat. Apalagi, Moeldoko, orang yang dia bantu kariernya di militer, ikut terlibat dalam kekisruhan di partainya.
SBY adalah yang mengangkat Moeldoko sebagai panglima TNI pada 30 Agustus 2013. Ibarat peribahasa, air susu dibalas air tuba, Moeldoko yang diangkat menjadi panglima TNI, justru mengacak-acak partai politik yang ia bangun dengan banyak pengorbanan.
"Rasa malu dan bersalah saya yang dulu beberapa kali memberikan kepercayaan dan jabatan kepadanya. Saya memohon ampun kehadirat Allah SWT, Tuhan yang maha kuasa atas kesalahan saya itu," kata SBY.
SBY menyebut perbuatan Moeldoko jauh dari sikap ksatria dan nilai-nilai moral. Dia mengajak segenap kader sah Demokrat untuk sama-sama berjuang demi tegaknya keadilan. Bahkan, mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu secara terang-terangan menggunakan narasi 'perang' demi mempertahankan kedaulatan Demokrat.
"Perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan dan kemandirian partai adalah perjuangan yang suci dan mulia. Ibarat peperangan, perang yang kita lakukan adalah perang yang dibenarkan. Sebuah perang war of mases setting sebuah just war, perang untuk mendapatkan keadilan. Semoga Allah SWT, Tuhan yang maha kuasa menuntun langkah kita, serta memberikan pertolongan kepada kita semua," tegas dia.
KLB Ilegal
DPP Demokrat juga merespons sinis KLB yang mengukuhkan Moeldoko sebagai ketua umum. Mereka menyebut KLB itu ilegal karena tidak sesuai dengan aturan di Demokrat.
AHY menyebut ada syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk menggelar KLB. Syarat itu diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Demokrat.
Berikut syarat menggelar KLB versi AHY:
Pelaksanaan KLB harus didukung dan dihadiri 2/3 dari jumlah DPD dan setengah dari jumlah DPC Demokrat
Pelaksanaan KLB harus sepertujuan dari Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.
Kubu Moeldoko tak memenuhi kedua syarat utama itu untuk menggelar KLB. Namun, kubu Moeldoko tak menghiraukan sikap DPP Demokrat.
Mereka pun diam-diam mendaftarkan kepengurusan hasil KLB ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Langkah kubu Moeldoko itu dilawan oleh DPP Demokrat.
Di pimpin AHY, DPP Demokrat mendatangi Gedung Kemenkumham, Jakarta. Mereka menyerahkan boks yang berisikan bukti-bukti bahwa pelaksanaan KLB 'cacat' hukum.
Kepengurusan Moeldoko Ditolak
Pada Rabu, 31 Maret 2021, DPP Demokrat di bawah kepemimpinan AHY bisa bernapas lega. Kemenkumham menolak kepengurusan Moeldoko.
Alasannya, kubu Moeldoko tak bisa menyertakan kelengkapan dokumen struktural di daerah. Padahal, mereka sudah diberikan waktu melengkapinya.
"Dengan demikian pemerintah memutuskan pengajuan ditolak," ujar Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly dalam konferensi pers virtual, Rabu, 31 Maret 2021.
Baca: Demokrat Meyakini Moeldoko Tak Akan Menyerah
Salah satu yang tidak dipenuhi kubu Moeldoko, yaitu kelengkapan dokumen struktur Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC). Lalu, tidak disertai mandat ketua DPD dan DPC.
DPP Demokrat beranggapan penolakan Kemenkumham atas kepengurusan kubu Moeldoko menjadi akhir dari dualisme Demokrat. AHY pun makin menegaskan sebagai ketua umum Demokrat yang sah.
Bertarung di Pengadilan
Namun, kubu Moeldoko tetap ngotot ingin menjadi kepengurusan yang sah. Mereka kembali mengambil langkah hukum untuk menggulingkan kepengurusan AHY.
Mereka menggugat keabsahan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Hasil Kongres Partai Demokrat Tahun 2020. Kubu Moeldoko menilai AD/ART Demokrat melanggar aturan formal dan materiel. Gugatan ini pun akhirnya kandas.
Kubu Moeldoko juga menggugat putusan Menkumham yang menolak pengesahan KLB Deli Serdang. Gugatan disampaikan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
"Gugatan ini kami ajukan selain untuk kepentingan hukum klien, kami persembahkan untuk rakyat Indonesia dan dunia demi tegaknya hukum, keadilan, hak asasi manusia, dan demokrasi," kata kuasa hukum DPP Demokrat hasil KLB Deli Serdang, Rusdiansyah, dalam keterangan tertulis, Jumat, 25 Juni 2021.
Berikut dalih hukum kubu Moeldoko menggugat putusan Menkumham:
KLB konstitusional karena diikuti pemilik suara sah, yaitu pengurus Demokrat kabupaten/kota dan provinsi.
KLB dilakukan secara demokratis dan konstitusional sesuai dengan ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, serta AD/ART Partai Demokrat Tahun 2015.
KLB merupakan hasil desakan dari pendiri, senior, dan pengurus Demokrat di daerah-daerah
Setali tiga uang, gugatan kubu Moeldoko kembali kandas. PTUN menolak gugatan soal KLB Demokrat.
"Mengadili, dalam pokok perkara, menyatakan gugatan penggugat tidak diterima," demikian bunyi putusan PTUN Jakarta, dikutip dari salinan putusan yang diunduh dari situs PTUN Jakarta, Selasa, 23 November 2021.
Revisi UU Pemilu
Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) masih terus isu yang didorong beberapa pihak. Upaya ini dilakukan dengan mendorong penurunan presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden).
Padahal, DPR dan pemerintah sudah sepakat menunda revisi UU Pemilu. Artinya, perombakan beleid tersebut tak akan dilakukan dalam waktu dekat.
Pemerintah beranggapan UU Pemilu sudah berjalan dengan baik. Sehingga, belum perlu direvisi.
"Prinsipnya jangan sedikit-sedikit itu undang-undang diubah, yang sudah baik ya tetap dijalankan," kata Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno di Gedung Utama Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa, 16 Februari 2021.
Baca: Revisi UU Pemilu Berpotensi Ganggu Tahapan Pemilu 2024
Presidential Threshold 0 Persen
Namun, di tengah kesepakatan antara pemerintah dan DPR itu, muncul suara-suara agar ada perubahan presidential threshold. Partai Demokrat mengusulkan presidential threshold 0 persen.
Pakar hukum tata negara Refly Harun juga ikut-ikutan bersuara soal presidential threshold. Menurut Refly, presidential threshold merusak kontestasi pemilihan presiden (pilpres).
"Kita harus selamatkan Indonesia dengan menolak presidential threshold atau jadikan presidential threshold 0," kata Refly melalui siaran video yang ditayangkan dalam diskusi Aliansi Kekuatan Rakyat Berdaulat (AKRAB), dikutip Kamis, 2 Desember 2021.
Bahkan, isu presidential threshold turut dibahas Ketua DPD La Nyalla Mahmud Mattalitti saat bertemu dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri. La Nyalla meminta presidential threshold menjadi 0 persen.
Dia beranggapan presidential threshold sebesar 20 persen hanya akan menciptakan presiden boneka. Apalagi, sudah ada tujuh partai politik berkoalisi, yang jumlahnya menguasai 82 persen kursi di DPR. Atas dalih itu, La Nyalla menilai tidak mungkin ada calon presiden, selain dari kubu tersebut.
Baca: Hanya PAN dan Demokrat Pendukung Presidential Threshold 0%
Namun, keinginan sejumlah pihak menghapus presidential threshold tampaknya sulit terwujud. DPR bersikeras tetap pada kesepakatan awal dengan pemerintah. Menunda revisi UU Pemilu.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan UU Pemilu masih relevan dengan kondisi politik saat ini. Selain itu, jika revisi dilakukan saat ini, akan berbenturan dengan agenda Pemilu 2024.
"Tahapan pemilu yang sudah jalan ini kemudian mungkin akan terganggu kalau kita membuat lagi revisi-revisi yang waktunya juga enggak akan cukup," ujar Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 20 Desember 2021.
Menurut dia, DPR tetap menampung aspirasi masyarakat ihwal desakan merevisi payung hukum penyelenggaran pesta demokrasi nasional itu. Salah satu isu yang kerap disinggung, yakni ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold 20 persen.
"Proses revisi UU Pemilu itu mungkin dilakukan, tetapi nanti," jelas politikus Partai Gerindra itu.
SBY Buka Pintu Perang
SBY kecewa dan malu dengan kekisruhan di Demokrat. Apalagi, Moeldoko, orang yang dia bantu kariernya di militer, ikut terlibat dalam kekisruhan di partainya.
SBY adalah yang mengangkat Moeldoko sebagai panglima TNI pada 30 Agustus 2013. Ibarat peribahasa, air susu dibalas air tuba, Moeldoko yang diangkat menjadi panglima TNI, justru mengacak-acak partai politik yang ia bangun dengan banyak pengorbanan.
"Rasa malu dan bersalah saya yang dulu beberapa kali memberikan kepercayaan dan jabatan kepadanya. Saya memohon ampun kehadirat Allah SWT, Tuhan yang maha kuasa atas kesalahan saya itu," kata SBY.
SBY menyebut perbuatan Moeldoko jauh dari sikap ksatria dan nilai-nilai moral. Dia mengajak segenap kader sah Demokrat untuk sama-sama berjuang demi tegaknya keadilan. Bahkan, mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu secara terang-terangan menggunakan narasi 'perang' demi mempertahankan kedaulatan Demokrat.
"Perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan dan kemandirian partai adalah perjuangan yang suci dan mulia. Ibarat peperangan, perang yang kita lakukan adalah perang yang dibenarkan. Sebuah perang
war of mases setting sebuah
just war, perang untuk mendapatkan keadilan. Semoga Allah SWT, Tuhan yang maha kuasa menuntun langkah kita, serta memberikan pertolongan kepada kita semua," tegas dia.
KLB Ilegal
DPP Demokrat juga merespons sinis KLB yang mengukuhkan Moeldoko sebagai ketua umum. Mereka menyebut KLB itu ilegal karena tidak sesuai dengan aturan di Demokrat.
AHY menyebut ada syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk menggelar KLB. Syarat itu diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Demokrat.
Berikut syarat menggelar KLB versi AHY:
- Pelaksanaan KLB harus didukung dan dihadiri 2/3 dari jumlah DPD dan setengah dari jumlah DPC Demokrat
- Pelaksanaan KLB harus sepertujuan dari Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.
Kubu Moeldoko tak memenuhi kedua syarat utama itu untuk menggelar KLB. Namun, kubu Moeldoko tak menghiraukan sikap DPP Demokrat.
Mereka pun diam-diam mendaftarkan kepengurusan hasil KLB ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Langkah kubu Moeldoko itu dilawan oleh DPP Demokrat.
Di pimpin AHY, DPP Demokrat mendatangi Gedung Kemenkumham, Jakarta. Mereka menyerahkan boks yang berisikan bukti-bukti bahwa pelaksanaan KLB 'cacat' hukum.