Berita tentang informasi Ramadan 2024 terkini dan terlengkap

Sutan Sjahrir di hadapan masa PSI di Lapangan Merdeka, Jakarta, 12 Juni 1955.  (Foto: Perpusnas RI)
Sutan Sjahrir di hadapan masa PSI di Lapangan Merdeka, Jakarta, 12 Juni 1955. (Foto: Perpusnas RI)

Pesan Sjahrir di Hari Raya Idulfitri

Sobih AW Adnan • 25 Juni 2017 10:00
medcom.id, Jakarta: Sutan Sjahrir. Nama ini terdengar lamat-lamat dalam gaung sejarah Indonesia. Entah apa sebabnya, Perdana Menteri pertama RI ini tak setenar Soekarno atau Mohammad Hatta.
 
Meski sama-sama berjuang dalam usaha mempertahankan kemerdekaan RI, Sjahrir dan Soekarno memang beda gaya. Malah, sering berseberangan.
 
Yang paling gamblang, tentu perbedaan prinsip Sjahrir sebagai pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Bung Karno sebagai pentolan Partai Nasional Indonesia (PNI).

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Persimpangan keduanya begitu kentara dalam memaknai garis perjuangan. Ketika Soekarno mengedepankan pentingnya persatuan dan kesatuan, Sjahrir mengkritiknya melalui risalah Perjuangan Kita, sebundel tulisan yang pertama kali terbit pada 10 November 1945.
 
"Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan," tulis Sjarir, sebagaimana dimuat kembali dalam Perjuangan Kita: Edisi Khusus Mengenang 90th Sutan Sjahrir (1999).
 
Nasionalisme ala-Soekarno, di mata Sjahrir, dibangun atas dasar solidaritas yang hirarkis, sekaligus feodalitis.
 
"Sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita," tulis Sjahrir, mengkritik gaya agitasi Bung Karno.
 
Sjahrir yang diplomat, ingin menampilkan Indonesia di mata dunia sebagai masyarakat yang demokratis. Revolusi yang sudah digerakkan Soekarno memang baik. Namun menurut tokoh kelahiran Sumatra Barat, 5 Maret 1909 itu, revolusi mesti segera dikendalikan.
 
Tiga kali, Sjahrir dipercaya Soekarno memimpin kabinet. Tapi, Kabinet Sjahrir I, II, dan III yang dijalankan dari 1945 sampai 1947 itu menuai banyak pertentangan.
 
Hingga pada Pemilu 1955, Sjahrir gagal mengumpulkan suara berarti dalam pesta demokrasi pertama itu. Hubungannya dengan Bung Karno pun kian memburuk. Bahkan, PSI dibubarkan dan Sjahrir ditangkap pada 16 Januari 1962 atas tuduhan persekongkolan untuk menjatuhkan Presiden Soekarno.
 
Yang menarik, sewaktu dipenjara, ia menyampaikan pesan kepada Dr. Soedarsono, mantan Menteri Dalam Negeri dan Sosial dalam kabinet yang dipimpinnya. Di pagi Lebaran itu, ia berkata:
 
"Apa pun kritik kita kepada Soekarno, kita tidak boleh lupa bahwa dialah yang mempersatukan kita sebagai bangsa. Itulah jasanya," ucap Sjahrir, sebagaimana dikutip Rosihan Anwar, dalam Sejarah kecil "Petite Histoire" Indonesia (2004).
 
Rohaniawan Y.B Mangunwijaya, menafsiri sikap Sjahrir sebagai ciri khas berpolitik para pendiri bangsa.
 
"Generasi perintis Republik kita kala itu pada umumnya terdiri dari tokoh-tokoh yang integer, sportif, karena berjiwa budaya. Polemik antara mereka berlaku sangat terang-terangan, tetapi saling menghormati," ucap Romo Mangun, masih dikutip dari buku yang sama.
 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(SBH)
LEAVE A COMMENT
LOADING
social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif