Berita tentang informasi Ramadan 2024 terkini dan terlengkap

Presiden Soekarno, Wapres Moh Hatta (kanan), dan Menlu Achmad Soebardjo (kiri) di Pengangsaan Timur 56, 4 September 1945 (FOTO ANTARA-IPPHOS)
Presiden Soekarno, Wapres Moh Hatta (kanan), dan Menlu Achmad Soebardjo (kiri) di Pengangsaan Timur 56, 4 September 1945 (FOTO ANTARA-IPPHOS)

Salam Soekarno untuk Hatta di Hari Lebaran

Sobih AW Adnan • 25 Juni 2017 05:00
medcom.id, Jakarta: Hari Lebaran adalah hari perdamaian. Begitu, cara Soekarno mengawali tulisannya.
 
Di sebuah pagi pada 17 Januari 1933, kaum terpelajar Bumiputera amat terlong-longo dengan artikel di surat kabar Fikiran Ra'jat. Perkaranya, koran 'merah' itu memuat penuh permintaan maaf Bung Besar kepada sahabatnya yang tengah berseberang pendapat, Mohammad Hatta.
 
Bung Karno, menuliskan tanggapan atas kritik yang dilemparkan Hatta sebelumnya, ke dalam sebuah judul 'Jawab Saya Pada Saudara Mohammad Hatta'.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


"Maka itu bukanlah sekali-kali karena saya 'berdebat-debatan', bukanlah buat 'bertengkaran', bukanlah karena saya gemar akan 'pertengkaran' itu," tulis Soekarno.
 
Soekarno-Hatta di era itu memang tak bertitik temu soal strategi politik. Siasat perjuangan non-cooperation, diartikan berbeda oleh keduanya.
 
Baca: [Telusur] Kenegarawanan Bung Hatta
 
Mulanya, Hatta mengkritik Soekarno yang menolak untuk memanfaatkan peluang Bumiputera untuk duduk di Tweed kamer, sebuah majelis rendah parlemen Pemerintah Belanda di Den Haag. Hatta menganggap, Bung Karno terlalu gebuk rata dalam menafsiri istilah kompromi terhadap penjajah.
 
"Paham ini aneh sekali! Bukan sikap dan cara berjuang lagi menjadi ukuran orang radikal atau tidak, non atau co, melainkan memboikot atau duduk di dalam parlemen,” tulis Hatta dalam Untukmu Negeriku (2): Berjuang dan Dibuang (2011).
 
Sementara bagi Bung Karno, tidak. Yang namanya kompromi, tetap kompromi. Rawan tipu muslihat. Semua yang datang dari Belanda, tak lebih dari sekadar bujuk rayu.
 
"Perkara non-kooperasi bukan perkara (taktik) perjuangan saya, perkara non-kooperasi adalah juga perkara azas perjuangan," tulis Soekarno dalam esai tersebut.
 
Soekarno rupanya kecewa. Ia menuduh Hatta yang sebelumnya se-ya sekata, kini menjelma seorang komparator. Sedangkan Hatta, berbeda. Ketidak-luwesan Bung Karno diduga justru menghambat cita-cita kemerdekaan.
 
Yang patut dicontoh, keduanya saling-kritik tanpa menggunakan bahasa-bahasa menjatuhkan.
 
"Sudah barang tentu, saudara Hatta di Den Haag tidak akan foya-foya saja. Saudara Hatta di Den Haag akan berjuang, akan membanting tulang, akan mengeluarkan tenaga, akan memandi keringat beranggar dengan kaum imperialis dan kapitalist...." tulis Soekarno.
 
Tetapi sekali lagi saya ingatkan, lanjut Bung Karno. "Mereka memang bukan kaum nationalist-non-cooperator, mereka memang tak pernah menamakan diri nationalist-non-cooperator, mereka memang tidak berazas-azasnya nationalist-non-cooperator,—mereka malahan memang anti azas nationalist-non-cooperator! Lagi pula: kalau hanya buat berjuang saja, di Volksraad-pun orang bisa berjuang!"
 
Dalam opini yang terdiri dari 2.577 kata atau 17.199 karakter tanpa spasi itu, Bung Besar menjelaskan panjang lebar tentang musabab ketaksetujuannya terhadap sikap Hatta. Namun di akhir paragraf, Soekarno membubuhkan salam persaudaraan yang begitu manis.
 
"Karena itu sekali lagi: seterusnya tolaklah kursi di Den Haag, dan buat ini hari terimalah saya punya silaturahmi!" tutup Bung Karno.
 
Dalam suasana Idulfitri 1351 H itu, pembaca jadi paham. Soekarno-Hatta beda strategi, namun satu tujuan; Kemerdekaan.
 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(SBH)
LEAVE A COMMENT
LOADING
social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif