Jakarta: Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Freddy Harris mengatakan terkait perdebatan mengenai hak cipta, khususnya soal copyright atau copyleft yang kita anut saat ini adalah rezim ekonomi. Artinya mengakui dan sudah menyusun Undang-Undang tentang Hak Cipta.
"Tapi, apabila kita mau melepas sisi ekonomi dari hak cipta itu atau copyleft, ya dilepaskan silakan, tapi negara melindungi sisi ekonomi," ujar Freedy Harris dalam sarasehan Perhimpunan Penulis Satupena bertema 'HKI: Copyright atau Copyleft' yang digelar secara daring, Minggu, 4 Juli 2021.
Freddy Harris mengatakan dunia saat ini sangat dinamis. Indonesia sudah terikat dengan berbagai perjanjian yang menghargai hak cipta dan menghargai hak intelektual atau seperti Tiongkok di masa lalu yang membajak karya pihak lain.
"Tapi saat ini Tiongkok berubah, sudah menghargai UU Hak Cipta, termasuk UU desain industrinya sudah kuat," kata dia.
Freddy menyebut Indonesia menggunakan rezim hak cipta. "Yang hanya bisa dilakukan atau copyleft adalah hak ekonominya saja, hak ciptanya tidak bisa. Contoh buku karya Ok Madasari sampai kapan pun karya dia, hanya saja penjualan dan lainnya beda. Sampai hari ini copyleft hanya 0,1 persen, jadi kecil dan tidak bisa berkembang," ujarnya.
Freddy menegaskan pemerintah jelas melindungi semua hasil kreativitas. Sedangkan hak moral tidak bisa dihapus. Dia sepakat bahwa Indonesia kuat dan unggul dalam kretivitas.
"Jadi, kita tinggal pilih saja mau copyright atau copyleft. Yang jelas kita ingin melindungi hak moral dengan copyright," kata dia.
Sementara itu, konsultan kreatif dan Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia, Chandra Darusman, menyinggung sejarah lahirnya hak cipta dan polemik copyright dan copyleft. "Saya secara ke masyarakat setuju, kedua hal itu bisa hidup berdampingan hanya saja kubu satu agak genit dan overacting dan membuat ketersinggungan," kata Chandra.
Chandra yang selama ini dikenal juga sebagai musisi mengatakan topik sarasehan Satupena ini sangat relevan karena menyangkut hak intelektual dalam kaitan industri yang berkembang saat ini. Hak Kekayaan Intelektual itu, kata dia, terdiri atas Hak Industraial dan Hak Cipta.
Baca: Hak Kekayaan Intelektual, Merek Dagang Harus Dilindungi
Hak industrial terdiri atas hak paten, merek, indikasi geografis, desain, rahasia dagang (formula). Dia mengatakan hak cipta juga middle way, Indonesia menggunakan istilah hak cipta 1982 untuk menjadi kompromi atas dua mazhab. "Karena copyright bersifat teritorial, maka ada pembajakan di luar negeri kemudian muncul kesepakatan atau Berne Convention 1886 diprakarsai oleh ALAI atau Asosiasi Penulis yang diketuai Vivtor Hugo. Di Berne Convenstion pun tidak disebut copyright," ujar Chandra.
Dia mengatakan Amerika Serikat (AS) mencari keseimbangan antara copyright dan copyleft. Dia mengatakan ada juga yang sangat fanatik, harus dihilangkan dimuka bumi copyright tersebut. Di Swedia ada juga partai yang menginginkan agar copyright dihilangkan.
"Saya agak setuju kadang-kadang copyright atau authors right agak overacting. Seumur hidup plus 50 tahun hak cipta. Bahkan di AS, 100 tahun, itu overacting, karena ada kepentingan ekonomi yang besar di situ," katanya.
Chandra menjelaskan Indonesia pernah leftcopy, bukan copyright atau tidak menghargai hak cipta Pada 1958. Selama 28 tahun Indonesia tidak menghargai hak cipta agar intelektual bisa berkarya tanpa membayar royalti.
Tahun 1996, kata dia, Indonesia kembali menghargai hak cipta. Kontribusi industri yang menghargai hak cipta menjadi lokomotif dari pembangunan ekonomi Indonesia, karena pertumbuhannya di atas rata-rata pertumbuhan nasional.
"Kesimpulannya, sampai kapan pun copyright dan copyleft akan sangat eksis dalam dunia yang terus berkembang. Kabar baiknya hak cipta bukan monopoli hak absolut, karena dalam UU Hak Cipta ada pembatasan-pembatasan demi kepentingan umum tanpa merugikan kreator, inilah keseimbangan antara copyright dan authors right.
Kontrol Kreasi di Tangan Kreator
Lain lagi pandangan novelis Okky Madasari. Menurutnya, bicara soal copyright dan copyleft seharusnya menempatkan kontrol sebuah kreasi di tangan kreator.
"Keputusan kreatornya yang menentukan apakah dia akan gunakan cara konvensional (hanya bisa dipublikasi dijual dan sebagainya) atau memilih cara alat copyleft di mana seseorang mendistribusikan dan membaca dengan bebas," kata Okky.
Pada Desember 2019, Oky menerbitkan buku 'Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, Dan Sastra Perlawanan' dan sengaja mempublikasikan karya secara bebas. "Saya sadar dan bahwa keuntungan ekonomi tidak sebatas hanya soal uang, tapi kita ingin dapat benefit lain," kata dia.
Sedangkan wartawan senior Bambang Harimurti menjelaskan kenapa copyright dibuat. Istilah copyleft tidak sepenuhnya benar sebab copyleft sebenarnya bagian dari copyright. Copyleft diciptakan ahli software, Richard Stallman, yang jengkel karena public domain yang diberikan kepada perusahaan symbolic untuk dikembangkan.
"Copyright jadi problem ketika muncul teknologi industri. Pembuat program jika membuat program, akan terkendala karena pekerjaan software kolaboratif bukan individu," katanya.
Jakarta: Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Freddy Harris mengatakan terkait perdebatan mengenai hak cipta, khususnya soal
copyright atau
copyleft yang kita anut saat ini adalah rezim ekonomi. Artinya mengakui dan sudah menyusun Undang-Undang tentang Hak Cipta.
"Tapi, apabila kita mau melepas sisi ekonomi dari hak cipta itu atau
copyleft, ya dilepaskan silakan, tapi negara melindungi sisi ekonomi," ujar Freedy Harris dalam sarasehan Perhimpunan Penulis Satupena bertema 'HKI:
Copyright atau
Copyleft' yang digelar secara daring, Minggu, 4 Juli 2021.
Freddy Harris mengatakan dunia saat ini sangat dinamis. Indonesia sudah terikat dengan berbagai perjanjian yang menghargai hak cipta dan menghargai hak intelektual atau seperti Tiongkok di masa lalu yang membajak karya pihak lain.
"Tapi saat ini Tiongkok berubah, sudah menghargai UU Hak Cipta, termasuk UU desain industrinya sudah kuat," kata dia.
Freddy menyebut Indonesia menggunakan rezim hak cipta. "Yang hanya bisa dilakukan atau
copyleft adalah hak ekonominya saja, hak ciptanya tidak bisa. Contoh buku karya Ok Madasari sampai kapan pun karya dia, hanya saja penjualan dan lainnya beda. Sampai hari ini
copyleft hanya 0,1 persen, jadi kecil dan tidak bisa berkembang," ujarnya.
Freddy menegaskan pemerintah jelas melindungi semua hasil kreativitas. Sedangkan hak moral tidak bisa dihapus. Dia sepakat bahwa Indonesia kuat dan unggul dalam kretivitas.
"Jadi, kita tinggal pilih saja mau
copyright atau
copyleft. Yang jelas kita ingin melindungi hak moral dengan
copyright," kata dia.
Sementara itu, konsultan kreatif dan Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia, Chandra Darusman, menyinggung sejarah lahirnya hak cipta dan polemik
copyright dan
copyleft. "Saya secara ke masyarakat setuju, kedua hal itu bisa hidup berdampingan hanya saja kubu satu agak genit dan
overacting dan membuat ketersinggungan," kata Chandra.
Chandra yang selama ini dikenal juga sebagai musisi mengatakan topik sarasehan Satupena ini sangat relevan karena menyangkut hak intelektual dalam kaitan industri yang berkembang saat ini. Hak Kekayaan Intelektual itu, kata dia, terdiri atas Hak Industraial dan Hak Cipta.
Baca:
Hak Kekayaan Intelektual, Merek Dagang Harus Dilindungi
Hak industrial terdiri atas hak paten, merek, indikasi geografis, desain, rahasia dagang (formula). Dia mengatakan hak cipta juga
middle way, Indonesia menggunakan istilah hak cipta 1982 untuk menjadi kompromi atas dua mazhab. "Karena
copyright bersifat teritorial, maka ada pembajakan di luar negeri kemudian muncul kesepakatan atau Berne Convention 1886 diprakarsai oleh ALAI atau Asosiasi Penulis yang diketuai Vivtor Hugo. Di Berne Convenstion pun tidak disebut
copyright," ujar Chandra.
Dia mengatakan Amerika Serikat (AS) mencari keseimbangan antara
copyright dan
copyleft. Dia mengatakan ada juga yang sangat fanatik, harus dihilangkan dimuka bumi
copyright tersebut. Di Swedia ada juga partai yang menginginkan agar
copyright dihilangkan.
"Saya agak setuju kadang-kadang
copyright atau
authors right agak
overacting. Seumur hidup plus 50 tahun hak cipta. Bahkan di AS, 100 tahun, itu overacting, karena ada kepentingan ekonomi yang besar di situ," katanya.
Chandra menjelaskan Indonesia pernah
leftcopy, bukan
copyright atau tidak menghargai hak cipta Pada 1958. Selama 28 tahun Indonesia tidak menghargai hak cipta agar intelektual bisa berkarya tanpa membayar royalti.
Tahun 1996, kata dia, Indonesia kembali menghargai hak cipta. Kontribusi industri yang menghargai hak cipta menjadi lokomotif dari pembangunan ekonomi Indonesia, karena pertumbuhannya di atas rata-rata pertumbuhan nasional.
"Kesimpulannya, sampai kapan pun
copyright dan
copyleft akan sangat eksis dalam dunia yang terus berkembang. Kabar baiknya hak cipta bukan monopoli hak absolut, karena dalam UU Hak Cipta ada pembatasan-pembatasan demi kepentingan umum tanpa merugikan kreator, inilah keseimbangan antara
copyright dan
authors right.
Kontrol Kreasi di Tangan Kreator
Lain lagi pandangan novelis Okky Madasari. Menurutnya, bicara soal
copyright dan
copyleft seharusnya menempatkan kontrol sebuah kreasi di tangan kreator.
"Keputusan kreatornya yang menentukan apakah dia akan gunakan cara konvensional (hanya bisa dipublikasi dijual dan sebagainya) atau memilih cara alat
copyleft di mana seseorang mendistribusikan dan membaca dengan bebas," kata Okky.
Pada Desember 2019, Oky menerbitkan buku 'Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, Dan Sastra Perlawanan' dan sengaja mempublikasikan karya secara bebas. "Saya sadar dan bahwa keuntungan ekonomi tidak sebatas hanya soal uang, tapi kita ingin dapat benefit lain," kata dia.
Sedangkan wartawan senior Bambang Harimurti menjelaskan kenapa
copyright dibuat. Istilah
copyleft tidak sepenuhnya benar sebab
copyleft sebenarnya bagian dari
copyright.
Copyleft diciptakan ahli
software, Richard Stallman, yang jengkel karena
public domain yang diberikan kepada perusahaan
symbolic untuk dikembangkan.
"
Copyright jadi problem ketika muncul teknologi industri. Pembuat program jika membuat program, akan terkendala karena pekerjaan
software kolaboratif bukan individu," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(JMS)