medcom.id, Jakarta: Catherine Susan Genovese, perempuan berusia 28 tahun itu harus pasrah di malam nahas. Pada 13 Maret 1964, ia tewas bersimbah darah setelah dikejar dan dianiaya perampok selama setengah jam.
Apartemen yang menjulang tinggi di sekelilingnya, cuma bisa jadi saksi bisu. Penganiayaan, pemerkosaan, perampokan, dan pembunuhan yang terjadi sekaligus itu lantas disebut Kitty Genovese Syndrome (KGS). Kitty, sapaan karib bartender kelahiran 7 Juli 1935 tersebut. Sementara sebutan KGS, semacam peringatan atas peristiwa pilu yang disebabkan sikap apatis penduduk New York, Amerika Serikat (AS).
Dalam laporan panjang The New York Times yang terbit dua pekan setelah kejadian brutal itu disebutkan, sebanyak 37 sampai 38 saksi hanya melongok aksi pembunuhan dari jendela kamar masing-masing. Jangan kan menolong, menghubungi kantor polisi terdekat pun; enggan.
Bahasa umum untuk sikap acuh tak acuh ini, masyhur di sebut the bystander effect. Masyarakat cuma berkenan jadi 'pengamat'.
Lain lubuk, lain belalang. Beda di New York, beda pula di Indonesia. Meski sama perihnya, peristiwa berkebalikan baru-baru ini terjadi di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Seorang pria berinisial MA dibakar hidup-hidup oleh sekelompok warga karena dituduh mencuri amplifier musala di Desa Hurip Jaya, Kecamatan Babelan.
Jika di Negeri Paman Sam tak ada minat terjun langsung dalam pemberantasan tindak kejahatan, di Indonesia, malah terkesan kebablasan.
Serius
Pada dekade 1960-an, masyarakat AS percaya bahwa dengan taat pajak, misalnya, telah mengugurkan kewajiban warga untuk terlibat langsung penegakan hukum. Ketertiban dan keamanan, memang sudah jadi tugas kepolisian.
Imbasnya, yang berkewajiban menolong dalam keadaan mendesak sekalipun, cuma pihak keamanan. Sementara orang-orang yang kebetulan memergoki sebabak kejahatan, sama sekali tidak merasa terikat dengan etika tolong menolong dan saling mengulurkan bantuan.
Di era yang sama, Indonesia memiliki tren yang berseberangan. Muncul istilah sindrom arakan bugil (SAB). Sebutan ini diambil dari kebiasaan orang-orang yang mengarak pelaku kejahatan dengan dikalungi tampah atau nyiru yang ditulisi keterangan pelanggaran hukum yang dilakukan.
Sebutan populer istilah itu di antaranya, vigilantisme, eigenrichting, self-help, alias main hakim sendiri.
Pada akhirnya, vigilantisme menjadi sebuah bentuk kejahatan tersendiri. Alih-alih memberikan efek jera pada pelaku kejahatan, namun tindakan ini malah mengabaikan prosedural hukum yang berlaku.
Dan tampaknya, Indonesia sudah harus menganggap masalah ini sebagai suatu yang serius.
Ambil misal, mengacu data Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), sepanjang Maret 2014 sampai Maret 2015, jumlah konflik kekerasan tercatat sebanyak 7.766 insiden yang berdampak pada 594 tewas, 9.276 cedera dan 1.304 bangunan rusak.
Yang mengejutkan, lebih dari separuhnya atau sebanyak 4.723 insiden merupakan tindakan main hakim sendiri.
Percaya tidak percaya
Tindakan main hakim sendiri disebabkan banyak faktor. Yang paling kerap dijadikan dalih adalah hilangnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap lembaga atau instansi penegak hukum.
"Akibat terjadi krisis kepercayaan terhadap upaya penegakan hukum, masyarakat di kota besar menjadi ringan tangan, main hakim sendiri," kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane, melalui keterangan tertulis kepada Metrotvnews.com, Minggu 6 Agustus 2017.
Dalam hal ini, polisi perlu meyakinkan publik bahwa pihaknya mampu bekerja keras memberantas kejahatan.
"Bagaimana pun menjadi tugas polri untuk menekan dan menghilangkan aksi brutal di masyarakat ini," kata dia.
Alasan itu, bisa iya, boleh juga tidak. Malahan, Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto tak sepakat menyebut vigilantisme sebagai imbas dari ketidakpercayaan terhadap hukum. Tindakan itu, kata dia, lebih tepat merupakan bukti ketidaksabaran terhadap proses yang harus dilalui.
"Masyarakat tidak mau mengikuti proses yang harus dilalui. Proses hukum ini kan perlu waktu, mereka tidak sabar sampai diputus pengadilan," ujar Setyo, dalam Newsline di Metro TV, Senin 7 Agustus 2017.
Baca: Ketidaksabaran pada Proses Hukum Picu Aksi Main Hakim Sendiri
Ya, memang, ketidakpercayaan atau ketidak-sabaran terhadap proses hukum bukan satu-satunya yang menjadi biang kerok aksi main hakim sendiri. Sebab, perilaku spontan juga bisa bersumber dari faktor tekanan sosial. Dari sisi psikologis, persaingan memenuhi kebutuhan hidup yang amat keras bisa saja membuat warga pelaku bertindak di luar kewajaran.
Penyebab lain adalah anonimitas dalam melakukan aksi main hakim sendiri. Dengan mengatasnamakan warga dan sekumpulan massa, biasanya aksi brutal ini kian menjadi karena masing-masing individu tak lagi memiliki pertimbangan dan ketakutan.
"Kerumunan memiliki karakteristik yang unik. Anonimitas itu bisa membuat seseorang merasa bebas melakukan sesuatu di luar kebiasaan diri," kata pengamat sosial Devi Rahmawati dalam dialog Metro Pagi di Metro TV, Minggu, 6 Agustus 2017.
Khusus di Bekasi, Devi mengatakan, hal itu bisa saja terjadi seiring meningkatnya isu keagamaan di tengah masyarakat. Sehingga ketika menganggap telah terjadi kejahatan di tempat suci, emosi masyarakat langsung tergugah.
Namun yang jelas, apapun dalihnya, tindakan main hakim sendiri adalah perbuatan haram untuk dilakukan di negara hukum.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/0k8j17LN" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Catherine Susan Genovese, perempuan berusia 28 tahun itu harus pasrah di malam nahas. Pada 13 Maret 1964, ia tewas bersimbah darah setelah dikejar dan dianiaya perampok selama setengah jam.
Apartemen yang menjulang tinggi di sekelilingnya, cuma bisa jadi saksi bisu. Penganiayaan, pemerkosaan, perampokan, dan pembunuhan yang terjadi sekaligus itu lantas disebut
Kitty Genovese Syndrome (KGS). Kitty, sapaan karib bartender kelahiran 7 Juli 1935 tersebut. Sementara sebutan KGS, semacam peringatan atas peristiwa pilu yang disebabkan sikap apatis penduduk New York, Amerika Serikat (AS).
Dalam laporan panjang
The New York Times yang terbit dua pekan setelah kejadian brutal itu disebutkan, sebanyak 37 sampai 38 saksi hanya melongok aksi pembunuhan dari jendela kamar masing-masing. Jangan kan menolong, menghubungi kantor polisi terdekat pun; enggan.
Bahasa umum untuk sikap acuh tak acuh ini, masyhur di sebut
the bystander effect. Masyarakat cuma berkenan jadi 'pengamat'.
Lain lubuk, lain belalang. Beda di New York, beda pula di Indonesia. Meski sama perihnya, peristiwa berkebalikan baru-baru ini terjadi di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Seorang pria berinisial
MA dibakar hidup-hidup oleh sekelompok warga karena dituduh mencuri
amplifier musala di Desa Hurip Jaya, Kecamatan Babelan.
Jika di Negeri Paman Sam tak ada minat terjun langsung dalam pemberantasan tindak kejahatan, di Indonesia, malah terkesan kebablasan.
Serius
Pada dekade 1960-an, masyarakat AS percaya bahwa dengan taat pajak, misalnya, telah mengugurkan kewajiban warga untuk terlibat langsung penegakan hukum. Ketertiban dan keamanan, memang sudah jadi tugas kepolisian.
Imbasnya, yang berkewajiban menolong dalam keadaan mendesak sekalipun, cuma pihak keamanan. Sementara orang-orang yang kebetulan memergoki sebabak kejahatan, sama sekali tidak merasa terikat dengan etika tolong menolong dan saling mengulurkan bantuan.
Di era yang sama, Indonesia memiliki tren yang berseberangan. Muncul istilah sindrom arakan bugil (SAB). Sebutan ini diambil dari kebiasaan orang-orang yang mengarak pelaku kejahatan dengan dikalungi tampah atau nyiru yang ditulisi keterangan pelanggaran hukum yang dilakukan.
Sebutan populer istilah itu di antaranya, vigilantisme,
eigenrichting, self-help, alias main hakim sendiri.
Pada akhirnya, vigilantisme menjadi sebuah bentuk kejahatan tersendiri. Alih-alih memberikan efek jera pada pelaku kejahatan, namun tindakan ini malah mengabaikan prosedural hukum yang berlaku.
Dan tampaknya, Indonesia sudah harus menganggap masalah ini sebagai suatu yang serius.
Ambil misal, mengacu data Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), sepanjang Maret 2014 sampai Maret 2015, jumlah konflik kekerasan tercatat sebanyak 7.766 insiden yang berdampak pada 594 tewas, 9.276 cedera dan 1.304 bangunan rusak.
Yang mengejutkan, lebih dari separuhnya atau sebanyak 4.723 insiden merupakan tindakan main hakim sendiri.
Percaya tidak percaya
Tindakan main hakim sendiri disebabkan banyak faktor. Yang paling kerap dijadikan dalih adalah hilangnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap lembaga atau instansi penegak hukum.
"Akibat terjadi krisis kepercayaan terhadap upaya penegakan hukum, masyarakat di kota besar menjadi ringan tangan, main hakim sendiri," kata
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane, melalui keterangan tertulis kepada
Metrotvnews.com, Minggu 6 Agustus 2017.
Dalam hal ini, polisi perlu meyakinkan publik bahwa pihaknya mampu bekerja keras memberantas kejahatan.
"Bagaimana pun menjadi tugas polri untuk menekan dan menghilangkan aksi brutal di masyarakat ini," kata dia.
Alasan itu, bisa iya, boleh juga tidak. Malahan, Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto tak sepakat menyebut vigilantisme sebagai imbas dari ketidakpercayaan terhadap hukum. Tindakan itu, kata dia, lebih tepat merupakan bukti ketidaksabaran terhadap proses yang harus dilalui.
"Masyarakat tidak mau mengikuti proses yang harus dilalui. Proses hukum ini kan perlu waktu, mereka tidak sabar sampai diputus pengadilan," ujar Setyo, dalam
Newsline di
Metro TV, Senin 7 Agustus 2017.
Baca: Ketidaksabaran pada Proses Hukum Picu Aksi Main Hakim Sendiri
Ya, memang, ketidakpercayaan atau ketidak-sabaran terhadap proses hukum bukan satu-satunya yang menjadi biang kerok aksi main hakim sendiri. Sebab, perilaku spontan juga bisa bersumber dari faktor tekanan sosial. Dari sisi psikologis, persaingan memenuhi kebutuhan hidup yang amat keras bisa saja membuat warga pelaku bertindak di luar kewajaran.
Penyebab lain adalah anonimitas dalam melakukan aksi main hakim sendiri. Dengan mengatasnamakan warga dan sekumpulan massa, biasanya aksi brutal ini kian menjadi karena masing-masing individu tak lagi memiliki pertimbangan dan ketakutan.
"Kerumunan memiliki karakteristik yang unik. Anonimitas itu bisa membuat seseorang merasa bebas melakukan sesuatu di luar kebiasaan diri," kata pengamat sosial Devi Rahmawati dalam dialog
Metro Pagi di
Metro TV, Minggu, 6 Agustus 2017.
Khusus di Bekasi, Devi mengatakan, hal itu bisa saja terjadi seiring meningkatnya isu keagamaan di tengah masyarakat. Sehingga ketika menganggap telah terjadi kejahatan di tempat suci, emosi masyarakat langsung tergugah.
Namun yang jelas, apapun dalihnya, tindakan main hakim sendiri adalah perbuatan haram untuk dilakukan di negara hukum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)