Jakarta: Angka kematian komorbid pada masa pandemi covid-19 cukup memprihatinkan. Bahkan 11,8 persen orang berpenyakit hipertensi meninggal dengan perburukan akibat terinfeksi covid-19, kemudian diabetes diikuti penyakit jantung, penyakit ginjal, paru-paru kronik, dan kanker.
"Tentu kita tidak ingin menambah jumlah orang yang meninggal dengan komorbid pada masa pandemi," kata Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, Cut Putri Arianie dalam webinar Kesehatan Perempuan Indonesia Cerdik, keluarga sehat cegah penyakit tidak menular, Kamis, 10 Desember 2020.
Cut Putri menjelaskan cara menekan angka kematian itu ialah dengan menghindar hal-hal yang memperburuk kondisi penyakit tidak menular di masa pandemi. Apalagi, stres meningkat akibat ketidakstabilan ekonomi di mana banyak orang yang kehilangan pekerjaan sangat berpengaruh pada ketahanan pangan dan ketahanan imunitas.
"Jangan lupa bawa stres itu adalah faktor risiko dari hipertensi," sebutnya.
Dia tak memungkiri terbatasnya akses layanan kesehatan esensial dan obat rutin pada masa pandemi juga berdampak terhadap beberapa proses pengobatan. Fasilitas pelayanan kesehatan hampir di semua daerah fokus pada penanganan covid-19 sehingga pelayanan kesehatan esensial sering kali tidak terlayani.
"Karena penuhnya konsentrasi tenaga kesehatan kepada penanganan covid-19. Kami sangat berharap pemerintah daerah tetap melakukan penyelenggaraan pelayanan kesehatan esensial agar para penyandang PTM (penyakit tidak menular) ini betul-betul dapat terlayani karena mereka butuhkan pengobatan yang rutin dan obat-obat yang rutin," paparnya.
Baca: Covid-19 Ganggu Pencegahan dan Pelayanan Pengobatan Penyakit Tidak Menular
Kemudian, terbatasnya mobilisasi masyarakat membuat perilaku malas gerak meningkat, dan perilaku merokok pindah ke rumah. Padahal, di rumah ada orang-orang yang rentan terhadap asap dan residu rokok, seperti orang tua dan anak-anak.
"Kalau biasanya merokok di luar rumah tapi pada masa pandemi, semua ada di rumah itu mengalami peningkatan rokok di rumah. Ini cukup memprihatinkan kita khawatirkan dengan paparan asap dan residu rokok ini orang-orang kan tadi berpotensi untuk terkena penyakit tidak menular," lanjutnya.
Cut Putri menjelaskan pihaknya memiliki miss cases yang menyebabkan tingginya kematian di Indonesia. Pasalnya, sebanyak tujuh dari 10 orang tidak tahu dirinya mengidap penyakit tidak menular. Kemudian, dari tiga orang yang terdeteksi hanya satu yang patuh berobat.
"Mungkin karena sering tanpa gejala, sering tanpa keluhan kalaupun ada tanda dan gejala tidak mengganggu aktivitas dari individu sehingga semua jadi abai. Tipikal kita orang Indonesia biasanya pengobatan kalau sudah sangat mengganggu aktifitas kesehariannya pada saat itu kita khawatirkan bawa penyakit sudah berada di stadium yang lebih berat untuk diobati," terangnya.
Selanjutnya, perlu ada skrining atau deteksi dini faktor risiko penyakit tidak menular. Sehingga semakin cepat diketahui, semakin mudah penyakit diobati. Apalagi bisa dilakukan secara mandiri dan dilakukan pada layanan kesehatan berbasis masyarakat atau pos binaan terpadu penyakit tidak menular.
"Untuk usaha kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) ini bisa diselenggarakan di populasi di setiap kampung, desa, lurah, juga bisa dilakukan di perkantoran, perusahaan, dan kampus," jelasnya
Oleh karena itu, populasi ini harus diukur tekanan darah, gula darah, indeks masa tubuh atau lingkar perut untuk mencari faktor risiko. Apabila dalam pengukuran tersebut ditemukan nilai yang tidak normal atau yang sudah tinggi, mereka harus dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk diobati.
Sedangkan, orang yang memiliki faktor risiko masih normal tapi sudah mendekati tidak normal, harus mengubah perilakunya dan harus mendapat informasi edukasi konseling untuk bisa tetap hidup sehat. "Inilah kalau di fasiltas pelayanan kesehatan bisa dideteksi sadanis yaitu pemeriksaan kanker payudara atau iva tes untuk kanker leher rahim," tegasnya.
Cut Putri menjelaskan alasan orang dengan penyakit tidak menular rentan terinfeksi di masa pandemi covid-19. Menurut dia, penyakit tidak menular sering kali diidap seseorang secara permanen. Sifat permanen itu akan membuat gangguan pada fungsi organ tubuh, sehingga bermuara pada menurunnya fungsi kekebalan tubuh.
"Sering kali diimbau kepada orang-orang yang memiliki komorbid atau PTM di masa pandemi untuk tetap berada di rumah. Tidak perlu keluar apabila tidak perlu, dan menerapkan kesehatan inilah gambaran mengapa PTM rentan terinfeksi covid-19," ujarnya.
Jakarta: Angka kematian komorbid pada masa pandemi
covid-19 cukup memprihatinkan. Bahkan 11,8 persen orang berpenyakit hipertensi meninggal dengan perburukan akibat terinfeksi covid-19, kemudian diabetes diikuti penyakit jantung, penyakit ginjal, paru-paru kronik, dan kanker.
"Tentu kita tidak ingin menambah jumlah orang yang meninggal dengan komorbid pada masa pandemi," kata Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, Cut Putri Arianie dalam webinar Kesehatan Perempuan Indonesia Cerdik, keluarga sehat cegah penyakit tidak menular, Kamis, 10 Desember 2020.
Cut Putri menjelaskan cara menekan angka kematian itu ialah dengan menghindar hal-hal yang memperburuk kondisi
penyakit tidak menular di masa pandemi. Apalagi, stres meningkat akibat ketidakstabilan ekonomi di mana banyak orang yang kehilangan pekerjaan sangat berpengaruh pada ketahanan pangan dan ketahanan imunitas.
"Jangan lupa bawa stres itu adalah faktor risiko dari hipertensi," sebutnya.
Dia tak memungkiri terbatasnya akses layanan kesehatan esensial dan obat rutin pada masa pandemi juga berdampak terhadap beberapa proses pengobatan. Fasilitas pelayanan kesehatan hampir di semua daerah fokus pada penanganan covid-19 sehingga pelayanan kesehatan esensial sering kali tidak terlayani.
"Karena penuhnya konsentrasi tenaga kesehatan kepada penanganan covid-19. Kami sangat berharap pemerintah daerah tetap melakukan penyelenggaraan pelayanan kesehatan esensial agar para penyandang PTM (penyakit tidak menular) ini betul-betul dapat terlayani karena mereka butuhkan pengobatan yang rutin dan obat-obat yang rutin," paparnya.
Baca: Covid-19 Ganggu Pencegahan dan Pelayanan Pengobatan Penyakit Tidak Menular
Kemudian, terbatasnya mobilisasi masyarakat membuat perilaku malas gerak meningkat, dan perilaku merokok pindah ke rumah. Padahal, di rumah ada orang-orang yang rentan terhadap asap dan residu rokok, seperti orang tua dan anak-anak.
"Kalau biasanya merokok di luar rumah tapi pada masa pandemi, semua ada di rumah itu mengalami peningkatan rokok di rumah. Ini cukup memprihatinkan kita khawatirkan dengan paparan asap dan residu rokok ini orang-orang kan tadi berpotensi untuk terkena penyakit tidak menular," lanjutnya.