Ilustrasi. Foto: MI/Panca Syurkani
Ilustrasi. Foto: MI/Panca Syurkani

Mayoritas Warga di 10 Negara Paling Bahagia Tak Anggap Agama Penting, Kenapa?

Patrick Pinaria, Muhammad Syahrul Ramadhan • 06 Januari 2021 14:15

Jika dibuat rata-rata, di negara paling bahagia itu, hanya 31,6 persen dari penduduk  menganggap agama penting. Dengan kata lain, mayoritas warga negara yang paling bahagia di dunia ini tak menganggap agama penting dalam hidup mereka sehari-hari.
 
Ia pun melanjutkan dengan negara yang warganya menganggap agama hal yang penting dalam kehidupannya di atas 90 persen. Dan bagaimana peringkat kebahagiaan warganya.
 
Denny mencontohkan pusat agama yang berbeda-beda. Dalam tanda kurung, masing masing nama agama mayoritas. Di sampingnya data berapa persen warga menganggap agama penting di negara itu. Di sampingnya lagi, bagaimana peringkat negara tersebut berdasarkan kebahagian warga negara.

1. India (Hindu, 90 persen; peringkat 144)
2. Philipines (Katolik, 96 persen; 52)
3. Arab Saudi (Islam, 93 persen; 27)
4. Thailand (Budha, 97 persen; 54)
5. Indonesia (Islam, 99 persen; 84)
 
Ternyata, kata Denny, negara yang mayoritas penduduknya menganggap agama penting, di atas 90 persen populasi, baik agama Islam, Katolik, Hindu hingga Budha, kebahagian warga negaranya sedang- sedang saja hingga buruk.
 
Denny pun membeberkan mengapa warga negara yang paling bahagia di ruang publiknya tak lagi menganggap agama penting. Ia menyebut tiga kunci menjadi penentu.
 

Social trust

Social trust itu dapat dipahami sebagai keakraban warga negara. Jika sesama warna negara terbina kehangatan, saling percaya, perkawanan, terlepas apa pun latar belakang identitas warga, itulah ekosistem ruang publik yang membuat nyaman.
 
Social trust akan rusak jika hal sebaliknya terjadi. Semangat kebencian, permusuhan, dinding yang tinggi, menjadi pemisah warga negara,” jelasnya.
 
Alhasil, manusia kemudian tidak dinilai dari karakter dan perilakunya. Tapi, dari agama yang dipeluk, bahkan dari tafsir agamanya. 
 
“Jika ini yang menjadi warna, keakraban warga negara sirna. Ruang publik yang sektarian, yang diwarnai social hostilities, itu buruk untuk menciptakan social trust,” terangnya.
 
Pemilik lembaga riset ini juga memberi catatan, di samping banyak sisi baiknya, perilaku beragama di kalangan yang fanatik, dengan kaca mata kuda, yang memonopoli Tuhan dan surga seolah hanya milik kelompoknya semata, yang mengembangkan spirit permusuhan, kebencian bagi yang berbeda tafsir dan agama, merusak social trust itu.
 
"Fanatisme dan separatisme agama menjadi unsur yang memburukkan social trust. Semakin agama dalam semangat sempit di atas semakin tak berperan, semakin baik social trust itu,” bebernya.
 
 
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan