Unjuk rasa menentang kebijakan imigrasi Trump di AS. AFP PHOTO
Unjuk rasa menentang kebijakan imigrasi Trump di AS. AFP PHOTO

FOKUS

Penerimaan Imigran Ala Trump

Coki Lubis • 30 Januari 2017 18:25
medcom.id, Jakarta: Setelah dua tahun bersabar akhirnya Fuad Syarif mendapatkan visanya. Dia dan keluarga akan pindah dari Irak dan menetap di Amerika Serikat. Pekerjaan baru telah menunggu di sana. Rumahnya dijual untuk menjalani kehidupan di negeri yang katanya paling demokratis itu.
 
Bersama istri dan ketiga anaknya, Fuad ke Kairo, Mesir untuk menumpang penerbangan langsung menuju New York, AS. Setibanya di bandara Kairo, Sabtu, 28 Januari 2017, langkah mereka dihentikan petugas. Paspornya disita. Fuad dan keluarga dilarang ke AS.
 
Mimpi itu pupus. Fuad menjadi korban kebijakan presiden baru AS Donald Trump yang dikeluarkan beberapa jam sebelumnya. Trump melarang warga dari tujuh negara masuk ke AS. Salah satunya adalah Irak, negara asal Fuad.
 
Setelah semalaman di bandara Kairo, dengan putus asa, mereka pun dipaksa menumpang pesawat kembali ke kota Erbil, Irak pada Minggu pagi. "Saya merasa sangat bersalah kepada istri dan anak-anak saya. Saya merasa saya lah yang menjadi alasan di balik kekecewaan mereka," kata Fuad kepada Reuters sebagaimana dilansir Antara, Senin (30/1/2017).
 
Departemen Keamanan Dalam Negeri AS mengatakan sekitar 375 orang telah terkena dampak instruksi Trump, 109 di antaranya sedang dalam transit dan ditolak masuk ke AS. Sementara 173 lainnya dihentikan oleh maskapai penerbangan sebelum berangkat. Aturan baru ini membingungkan orang-orang dan keluarga yang menunggu mereka.
 
Baca: Trump Larang Masuk Imigran dari Tujuh Negara Muslim
 
Penerimaan Imigran Ala Trump
 
Ditentang

 
Sabtu malam itu, di Bandara Internasional Los Angeles (LAX), sejumlah keluarga imigran tampak kebingungan. Ratusan masyarakat bergabung, berkerumun, memperlihatkan solidaritas kepada pengungsi dan migran muslim yang ditahan. Kerumunan itu berubah menjadi unjuk rasa.
 
Hal serupa terjadi di bandara lainnya di AS. Para penentang menganggap instruksi Trump itu merupakan perintah "melarang Muslim" (Muslim Ban). Amar itu dianggap bertentangan dengan HAM dan demokrasi yang dianut AS selama berabad-abad. Ini diskriminatif.
 
Hingga Senin, 30 Januari 2017, para penentang masih berunjuk rasa di sejumlah lokasi di AS. Menyeru pembangkangan terhadap instruksi presiden itu. "Trump harus pergi", "Tidak Trump, Tidak KKK, Tidak Ada Fasisme di USA".
 
Baca: Baca: Demonstrasi Menentang Kebijakan Trump Masuki Hari Kedua
 
Di Los Angeles, pemrotes mendapat dukungan Wali Kota Eric Garcetti. Melalui akun resminya di Twitter, Eric bercuit, "Los Angeles akan selalu menjadi tempat buat pengungsi."
 
 
 
Bahkan, sejumlah jaksa agung dari 16 negara bagian Amerika Serikat (AS), termasuk California dan New York turut mengecam, Minggu (29/01) waktu setempat. Mereka menyebut perintah eksekutif itu "tidak konstitusional".
 
"Kami mengecam perintah eksekutif Presiden Trump yang bertentangan dengan konstitusi, hukum dan tidak (mencerminkan nilai-nilai) Amerika," demikian pernyataan para jaksa, seperti dikutip AFP.
 
Baca: Jaksa 16 Negara Bagian AS Kecam Larangan Imigrasi Trump
 
Menghina
 
Trump menegaskan bahwa kebijakan itu bukan aksi penolakan terhadap muslim. Menurutnya, ini penataan kembali program penerimaan pengungsi. Masih satu rangkai dengan langkah kontra terorisme.
 
Tapi, sejumlah kalangan terlanjur menganggap itu adalah penghinaan. Pasalnya, tujuh negara yang dilarang adalah negara berpenduduk mayoritas muslim. Kebijakan itu sama saja menyudutkan Islam sebagai teroris.
 
Bahkan, Presiden Iran Hassan Rouhani berpendapat bahwa kebijakan Trump malah munculkan kebencian terhadap AS. Justru, katanya, berpotensi menumbuhkan ekstremisme. "Pembatasan perjalanan bagi muslim ke Amerika akan dikenal sebagai hadiah besar untuk ekstremis," ujarnya mengecam kebijakan Trump, Sabtu (28/1/2017).
 
Selain itu, instruksi Trump dinilai bertentangan kesepakatan hukum serta konsuler yang ditandatangani antara Teheran dan Washington pada 15 Agustus 1955. Sebagai pembalasan, Sabtu itu Iran langsung mengumumkan larangan bagi warga AS memasuki negara mereka.
 
Baca: Iran Panggil Dubes Swiss terkait Larangan Trump
 
Indonesia juga menyayangkan instruksi presiden Trump. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Arrmanatha Nasir menyebut perintah kontroversial itu bisa menjadi hambatan kerja sama global dalam pemberantasan terorisme.
 
"Satu hal yang salah menghubungkan radikalisme dan terorisme dengan agama tertentu," kata Arrmanatha seperti dikutip dari Media Indonesia, Senin (30/1/2017).
 
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan