medcom.id, Jakarta: Mulanya, 1 Mei hanyalah siang bolong yang sepi. Sampai ketika ratusan pegawai dari Serikat Buruh Kung Tang Hwee Koan, Shanghai berkumpul di Surabaya pada 1 Mei 1918, nyaris tak ada seorang pun pekerja pribumi yang turut hadir. Padahal, acara yang disebut-sebut sebagai peringatan pertama Hari Buruh Internasional di Hindia Belanda itu, sudah dipublikasikan bakal gegap gempita.
Peringatan pertama Hari Buruh cenderung lekat dengan gerakan kelompok kiri. Ada dua nama penting yang hadir dalam perayaan itu, sepasang karib dari golongan komunis Belanda, Henk Sneevliet dan Adolf Baars. Kedua pembesar Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) ini bahkan sempat mengungkapkan kekecewaannya dalam sebuah tulisan berjudul 'Peringatan 1 Mei Pertama Kita'.
Barulah pada 1921, peringatan Hari Buruh Sedunia di Indonesia kian semarak dan rutin. Bukan itu saja, dalam pelaksanaannya, penyampaian aspirasi kelas bawah ini juga diisi dari banyak kelompok. Termasuk dari golongan Islam yang diwakili HOS Tjokroaminoto. Kelak, gerakan ini akan melambungkan nama Soekarno.
Soal tuntutan yang dimunculkan, sejatinya hampir sama dengan tuntutan yang diperdengarkan massa hari ini. Kala itu pun, isu-isu yang diusung tak lain adalah masa kerja 8 jam, penundaan penghapusan bonus sampai janji kenaikan gaji dipenuhi, penanganan perselisihan ditangani oleh satu badan arbitrase independen, serta pelarangan pemutusan hubungan (PHK) tanpa alasan.
Pun siang tadi, setidaknya ada tiga tuntutan yang digaungkan ratusan ribu orang yang tergabung dalam Peringatan Hari Buruh Sedunia di Jakarta. Yakni, tuntutan dihapusnya sistem tenaga kontrak (outsourcing), jaminan sosial, dan tolak upah murah.
Tiga petisi itu hampir selalu ada dari tahun ke tahun. Sementara gerakan buruh, makin terseret dalam posisi pro-kontra. Banyak yang mendukung, tak sedikit pula yang mencibir. Faktornya, banyak. Dari soal rasionalisasi tuntutan, sampai dugaan adanya muatan politik dan kepentingan.
Buruh dan politik
Jika ketenaran nama Soekarno dimulai dari panggung Peringatan Hari Buruh 1921 bersama HOS Tjokroaminoto, atau pula banyak menjadikan isu-isu buruh sebagai alat perjuangan hingga masa revolusi, maka di tangan Soeharto, buruh justru menjadi sasaran target pemberangusan pluralisme politik.
Organisasi buruh dan serikat pekerja yang dianggap berseberangan dengan kebijakan Orde Baru (Orba) disingkirkan. Pada 1973, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) didirikan sebagai satu-satunya perkumpulan yang dianggap halal. Alih-alih menjadi keterwakilan buruh dalam menggawangi hak-haknya, SPSI malah menjelma sebagai corong kuasa untuk mengontrol gerakan-gerakan yang dicap nakal.
Pasca Soeharto lengser, kembalinya semangat buruh untuk mengorganisir diri tak lagi terbendung. Mau tidak mau, pemerintah pun balik menjaga jarak sebagaimana fungsinya; semacam perantara aspirasi pekerja dan kepentingan pengusaha. Bahasa halusnya, penengah dalam hubungan industrial.
Yang jadi soal, persepsi kesejahteraan di mata pekerja dan pemerintah (pengusaha?) kian berseberangan. Contoh paling dekat ketika buruh mengkritisi kebijakan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang termaktub dalam PP 78/2015 tentang Pengupahan. Pemerintah menganggap formula hitungan upah sudah paling pas. Sementara buruh menganggap hitungan UMP versi pemerintah tak sesuai dengan kebutuhan hidup layak.
Dus, isu asupan dapur inilah yang selalu dibawa turun ke jalan untuk mengkritik pemerintah. Dan, sudah barang tentu, menjelma tumpangan empuk bagi lawan-lawan politik yang berkepentingan.
Maka, tak perlu heran, kalau organisasi buruh sekelas Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) terlihat seksi di mata politisi. Khususnya jelang pesta demokrasi. Sang pimpinan, Said Iqbal tak sekali dua mendeklarasikan dukungan ke salah satu calon. Dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, begitu pula dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
"Selama kepemimpinan gubernur yang sekarang ini, Pak Ahok, upah DKI selalu di bawah Bekasi dan Karawang, enggak masuk akal," kata Said. Barangkali, itu alasan Said untuk mendukung salah satu kontestan.
Said pun makin getol mengkritisi kebijakan penguasa. Saking kritisnya, ia menjuluki Gubernur Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama sebagai Bapak Upah Murah.
Hari ini, kegembiraan Said membuncah. Buruh anggota KSPI tak sabar mendapat Gubernur Jakarta yang baru demi naiknya upah. Anies-Sandi menang dalam Pilkada DKI.
Dalam euforia kemenangan, kegembiraan sering beralamat lepas. Karangan bunga untuk Ahok di depan Balaikota DKI jadi sasaran. Said Iqbal dan buruh KSPI mengklaim ingin membersihkan jalanan. Bakar-bakar kembang ungkapan terima kasih itu pun; terjadilah.
Apakah perjuangan buruh hanya akan kerap bermuara pada aksi demonstrasi, atau menjadikan jalanan sebagai panggung politik? Jelas tidak. Buruh, bisa memanggungkan perjuangan politik di pabrik, di gedung parlemen, di depan Istana Negara, atau bahkan di ruang-ruang publik yang beragam.
Mungkin, ada baiknya kaum buruh Indonesia, dalam perjuangannya yang keras, merenungkan kembali ucapan Bung Karno. Bangsa Indonesia tidak boleh menjadi natie van koeli, tidak boleh menjadi nation of coolie, and coolie among nations.
Tidak boleh menjadi bangsa kuli, dan kuli di antara bangsa-bangsa di dunia.
Menjadi buruh dengan semangat merdeka. Barangkali itulah jenis sosok buruh yang dimaksudkan Pendiri Bangsa.
Selamat hari buruh, dan tetap merdeka!
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/RkjPyW3N" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Mulanya, 1 Mei hanyalah siang bolong yang sepi. Sampai ketika ratusan pegawai dari Serikat Buruh Kung Tang Hwee Koan, Shanghai berkumpul di Surabaya pada 1 Mei 1918, nyaris tak ada seorang pun pekerja pribumi yang turut hadir. Padahal, acara yang disebut-sebut sebagai peringatan pertama Hari Buruh Internasional di Hindia Belanda itu, sudah dipublikasikan bakal gegap gempita.
Peringatan pertama Hari Buruh cenderung lekat dengan gerakan kelompok kiri. Ada dua nama penting yang hadir dalam perayaan itu, sepasang karib dari golongan komunis Belanda, Henk Sneevliet dan Adolf Baars. Kedua pembesar Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) ini bahkan sempat mengungkapkan kekecewaannya dalam sebuah tulisan berjudul
'Peringatan 1 Mei Pertama Kita'.
Barulah pada 1921, peringatan Hari Buruh Sedunia di Indonesia kian semarak dan rutin. Bukan itu saja, dalam pelaksanaannya, penyampaian aspirasi kelas bawah ini juga diisi dari banyak kelompok. Termasuk dari golongan Islam yang diwakili HOS Tjokroaminoto. Kelak, gerakan ini akan melambungkan nama Soekarno.
Soal tuntutan yang dimunculkan, sejatinya hampir sama dengan tuntutan yang diperdengarkan massa hari ini. Kala itu pun, isu-isu yang diusung tak lain adalah masa kerja 8 jam, penundaan penghapusan bonus sampai janji kenaikan gaji dipenuhi, penanganan perselisihan ditangani oleh satu badan arbitrase independen, serta pelarangan pemutusan hubungan (PHK) tanpa alasan.
Pun siang tadi, setidaknya ada
tiga tuntutan yang digaungkan ratusan ribu orang yang tergabung dalam Peringatan Hari Buruh Sedunia di Jakarta. Yakni, tuntutan dihapusnya sistem tenaga kontrak
(outsourcing), jaminan sosial, dan tolak upah murah.
Tiga petisi itu hampir selalu ada dari tahun ke tahun. Sementara gerakan buruh, makin terseret dalam posisi pro-kontra. Banyak yang mendukung, tak sedikit pula yang mencibir. Faktornya, banyak. Dari soal rasionalisasi tuntutan, sampai dugaan adanya muatan politik dan kepentingan.
Buruh dan politik
Jika ketenaran nama Soekarno dimulai dari panggung Peringatan Hari Buruh 1921 bersama HOS Tjokroaminoto, atau pula banyak menjadikan isu-isu buruh sebagai alat perjuangan hingga masa revolusi, maka di tangan Soeharto, buruh justru menjadi sasaran target pemberangusan pluralisme politik.
Organisasi buruh dan serikat pekerja yang dianggap berseberangan dengan kebijakan Orde Baru (Orba) disingkirkan. Pada 1973, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) didirikan sebagai satu-satunya perkumpulan yang dianggap halal. Alih-alih menjadi keterwakilan buruh dalam menggawangi hak-haknya, SPSI malah menjelma sebagai corong kuasa untuk mengontrol gerakan-gerakan yang dicap nakal.
Pasca Soeharto lengser, kembalinya semangat buruh untuk mengorganisir diri tak lagi terbendung. Mau tidak mau, pemerintah pun balik menjaga jarak sebagaimana fungsinya; semacam perantara aspirasi pekerja dan kepentingan pengusaha. Bahasa halusnya, penengah dalam hubungan industrial.
Yang jadi soal, persepsi kesejahteraan di mata pekerja dan pemerintah (pengusaha?) kian berseberangan. Contoh paling dekat ketika buruh mengkritisi kebijakan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang termaktub dalam
PP 78/2015 tentang Pengupahan. Pemerintah menganggap formula hitungan upah sudah paling pas. Sementara buruh menganggap hitungan UMP versi pemerintah tak sesuai dengan kebutuhan hidup layak.
Dus, isu asupan dapur inilah yang selalu dibawa turun ke jalan untuk mengkritik pemerintah. Dan, sudah barang tentu, menjelma tumpangan empuk bagi lawan-lawan politik yang berkepentingan.
Maka, tak perlu heran, kalau organisasi buruh sekelas Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) terlihat seksi di mata politisi. Khususnya jelang pesta demokrasi. Sang pimpinan, Said Iqbal tak sekali dua mendeklarasikan dukungan ke salah satu calon. Dalam
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, begitu pula dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
"Selama kepemimpinan gubernur yang sekarang ini, Pak Ahok, upah DKI selalu di bawah
Bekasi dan Karawang, enggak masuk akal," kata Said. Barangkali, itu alasan Said untuk mendukung salah satu kontestan.
Said pun makin getol mengkritisi kebijakan penguasa. Saking kritisnya, ia menjuluki Gubernur Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama sebagai
Bapak Upah Murah.
Hari ini, kegembiraan Said membuncah. Buruh anggota KSPI tak sabar mendapat Gubernur Jakarta yang baru demi naiknya upah. Anies-Sandi menang dalam Pilkada DKI.
Dalam euforia kemenangan, kegembiraan sering beralamat lepas.
Karangan bunga untuk Ahok di depan Balaikota DKI jadi sasaran. Said Iqbal dan buruh KSPI mengklaim ingin membersihkan jalanan. Bakar-bakar kembang ungkapan terima kasih itu pun; terjadilah.
Apakah perjuangan buruh hanya akan kerap bermuara pada aksi demonstrasi, atau menjadikan jalanan sebagai panggung politik? Jelas tidak. Buruh, bisa memanggungkan perjuangan politik di pabrik, di gedung parlemen, di depan Istana Negara, atau bahkan di ruang-ruang publik yang beragam.
Mungkin, ada baiknya kaum buruh Indonesia, dalam perjuangannya yang keras, merenungkan kembali ucapan Bung Karno. Bangsa Indonesia tidak boleh menjadi
natie van koeli, tidak boleh menjadi
nation of coolie,
and coolie among nations.
Tidak boleh menjadi bangsa kuli, dan kuli di antara bangsa-bangsa di dunia.
Menjadi buruh dengan semangat merdeka. Barangkali itulah jenis sosok buruh yang dimaksudkan Pendiri Bangsa.
Selamat hari buruh, dan tetap merdeka!
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)