Jakarta: Indonesia memperingati Hari Pahlawan setiap 10 November. Peringatan untuk mengenang pertempuran di Surabaya pada 10 November 1945 itu disebut sebagai ikon perjuangan pemuda.
“Watak khas kalangan anak-anak muda dalam revolusi terlihat dalam peristiwa 10 November,” kata Editor Pelaksana Jurnal Sejarah yang diterbitkan Masyarakat Sejarawan Indonesia, Andi Achdian, kepada Medcom.id, Jumat, 6 November 2020.
Peristiwa di Surabaya ialah salah satu dari sekian banyak peperangan yang terjadi setelah Presiden Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun, pihak Jepang enggan pergi dari Indonesia bahkan tidak mau menyerahkan senjata pada Indonesia.
Lantas pada 15 September 1945, tentara Inggris yang tergabung dalam Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) mendarat di Surabaya. Mereka mengaku hendak membawa tentara Jepang yang sudah kalah serta membebaskan tawanan perang.
Inggris ternyata memiliki tujuan lain yakni memasukkan Indonesia sebagai jajahan Hindia Belanda melalui proses administrasi dengan Belanda. Netherlands Indies Civil Administration (NICA) menumpang kedatangan Inggris untuk mewujudkan rencana itu. Hal tersebut membuat rakyat Indonesia marah dan membakar semangat perlawanan di berbagai tempat, termasuk Surabaya.
Salah satu peristiwa ikonik di Surabaya ialah perobekan bendera Belanda berwarna merah, putih, biru, di Hotel Yamato pada 19 September 1945. Awalnya, dua pemuda, yakni Sidik dan Hariyono berunding dengan perwakilan Belanda bernama Ploegman untuk menurunkan bendera Belanda.
Ploegman menolak bahkan mengeluarkan pistol untuk mengancam Sidik dan Hariyono. Sidik berkelahi dengan Ploegman, sedangkan Hariyono pergi dari ruangan. Ploegman tewas dicekik Sidik meski akhirnya Sidik sekarat karena diserang tentara Belanda.
Hariyono langsung naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Ternyata pemuda lainnya, Koesno Wibowo turut berada di sana. Hariyono menginisiasi penyobekan bendera namun kepalanya terkena peluru meski akhirnya selamat. Koesno pun mengambil alih penyobekan bendera Belanda.
“Saat itu peristiwa di Surabaya berada di luar kontrol pimpinan revolusi, seperti Soekarno dan Amir (Syarifuddin, Menteri Penerangan),” papar Andi.
(Baca: 6 Tokoh Bakal Menerima Gelar Pahlawan Nasional)
Puncak konflik di Surabaya terjadi pada 30 Oktober 1945. Pimpinan Inggris di Jawa Timur, Brigadir Jenderal Mallaby, hendak melewati Jembatan Merah. Namun rombongan Mallaby berpapasan dengan kelompok milisi Indonesia.
Pertemuan itu menimbulkan kesalahpahaman dan terjadi aksi tembak-menembak. Mallaby tewas terkena peluru sehingga pihak Inggris marah dan mengeluarkan ultimatum oleh pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh pada rakyat Surabaya. Batas maksimalnya sampai 10 November 1945 pukul 06.00 WIB.
“Tuntutannya (Inggris) jelas. Kasih siapa yang tanggung jawab (atas kematian Mallaby) dan minta senjata dikembalikan. Dua hal ini tidak bisa dipenuhi dan para pemuda tidak mau,” terang Andi.
Semangat rakyat Surabaya melawan Inggris meluap setelah seorang pemuda bernama Sutomo atau yang lebih dikenal dengan Bung Tomo berpidato. Semangat perjuangan pemuda Surabaya terdengar sampai wilayah lain. Pemuda dari wilayah lain, seperti Tulungagung dan Kediri turut mendukung bahkan terlibat peperangan.
“Keberanian mereka luar biasa. Perlawanannya betul-betul sangat kuat,” tutur dia.
Saking kuatnya, kata Andi, pihak Inggris mengaku ngeri melihat dampak peperangan. Bahkan kalangan sekutu menulis komentar mereka di koran-koran.
“Kota Surabaya luluh lantak dengan api menyala di mana-mana. Orang Eropa menyaksikan dan ngeri melihat dampaknya dari perlawanan yang begitu kuat," ujar dia.
(Baca: Pemerintah Jangan Lupakan Veteran Perang)
Perang yang berlangsung selama tiga minggu ini membuat ribuan rakyat Surabaya gugur. Pemerhati sejarah, Abdul Waid, dalam bukunya berjudul Bung Tomo: Hidup dan Mati Pengobar Semangat Tempur 10 November, mencatat sedikitnya enam ribu rakyat Surabaya gugur.
Peristiwa itu kini dikenang sebagai Hari Pahlawan. Hal itu sesuai Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-Hari Nasional.
“Jadi bisa dibilang pada satu titik semangat kaum muda terlihat untuk mempertahankan revolusi,” ujar Andi.
Jakarta: Indonesia memperingati
Hari Pahlawan setiap 10 November. Peringatan untuk mengenang pertempuran di Surabaya pada 10 November 1945 itu disebut sebagai ikon perjuangan pemuda.
“Watak khas kalangan anak-anak muda dalam revolusi terlihat dalam peristiwa 10 November,” kata Editor Pelaksana Jurnal Sejarah yang diterbitkan Masyarakat Sejarawan Indonesia, Andi Achdian, kepada
Medcom.id, Jumat, 6 November 2020.
Peristiwa di Surabaya ialah salah satu dari sekian banyak peperangan yang terjadi setelah Presiden
Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun, pihak Jepang enggan pergi dari Indonesia bahkan tidak mau menyerahkan senjata pada Indonesia.
Lantas pada 15 September 1945, tentara Inggris yang tergabung dalam Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) mendarat di Surabaya. Mereka mengaku hendak membawa tentara Jepang yang sudah kalah serta membebaskan tawanan perang.
Inggris ternyata memiliki tujuan lain yakni memasukkan Indonesia sebagai jajahan Hindia Belanda melalui proses administrasi dengan Belanda. Netherlands Indies Civil Administration (NICA) menumpang kedatangan Inggris untuk mewujudkan rencana itu. Hal tersebut membuat rakyat Indonesia marah dan membakar semangat perlawanan di berbagai tempat, termasuk Surabaya.
Salah satu peristiwa ikonik di Surabaya ialah perobekan bendera Belanda berwarna merah, putih, biru, di Hotel Yamato pada 19 September 1945. Awalnya, dua pemuda, yakni Sidik dan Hariyono berunding dengan perwakilan Belanda bernama Ploegman untuk menurunkan bendera Belanda.