Aturan Pencairan JHT di Usia 56 Tahun Banyak Ditolak, Ini 5 Alasan Buruh Melabelinya Kejam
Surya Perkasa, Adri Prima • 15 Februari 2022 21:27
Jakarta: Aturan baru Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) terkait pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) yang hanya bisa dilakukan saat pekerja berusia 56 tahun menuai polemik. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
Pasal 3 Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 berbunyi, manfaat JHT baru dapat diberikan saat peserta masuk masa pensiun di usia 56 tahun. Selanjutnya, Pasal 4 menyebutkan manfaat JHT bagi peserta yang mencapai usia pensiun itu juga termasuk peserta yang berhenti bekerja baik mengundurkan diri atau di-PHK.
Namun, aturan baru JHT ini menuai gejolak di publik dan media sosial. Bahkan sudah ada petisi berjudul "Gara-gara aturan baru ini, JHT tidak bisa cair sebelum 56 tahun" di situs change.org. Petisi itu bahkan dengan cepat ditandatangani hampir 400.000 orang.
Berikut beberapa alasan yang memicu aturan baru pencairan JHT di usia 56 tahun banyak ditolak.
1. Hak pekerja di-PHK disunat
Pekerja yang berhenti bekerja karena mengundurkan diri maupun karena terkena PHK, memiliki hak untuk memilih. Mencairkan manfaat Jaminan Hari Tua pada saat berhenti bekerja atau pada saat memasuki usia pensiun.
Permenaker menerangkan ‘peserta’ program JHT adalah setiap orang yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia dan telah membayar iuran. Hal ini membuat pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) disebut tak lagi bisa menikmati manfaat.
Sebab, di aturan terbaru mereka yang sudah tidak bekerja dan berhenti membayar iuran tak memenuhi syarat peserta. Serikat buruh dan pekerja menilai aturan Sehingga seharusnya pekerja dimaksud tetap diberikan hak untuk memilih kapan akan mengambil manfaat JHT.
Namun, Kemenaker membantah pekerja yang terkena PHK jadi korban. Dia menyatakan pekerja yang di-PHK kini sudah dilindungi program lain yang bernama Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
“Sekarang kita punya program baru yaitu JKP, Jaminan Kehilangan Pekerjaan, untuk korban PHK. Dulu JKP gak ada. Maka wajar jika dulu teman2 ter PHK berharap sekali pada pencairan JHT,” ungkap Staf Khusus Menaker Dita Indah Sari dalam ungga akun Twitter @Dita_Sari_.
2. Aturan baru membuat pekerja di-PHK tak bisa klaim
Pandemi covid-19 membuat banyak perusahaan yang terdampak. Bayang-bayang PHK mengancam pekerja.
Tak jarang pekerja terpaksa harus pensiun dini karena kondisi perusahaan yang tidak stabil. Sehingga dana JHT tersebut akan sangat dibutuhkan oleh mereka yang kena PHK atau pensiun dini.
"Dengan aturan baru itu, bagi buruh yang di PHK atau mengundurkan diri, baru bisa mengambil dana Jaminan Hari Tuanya saat usia pensiun. Jadi kalau buruh/pekerja di-PHK saat berumur 30 tahun maka dia baru bisa ambil dana JHT-nya di usia 56 tahun atau 26 tahun setelah di-PHK," argumen pembuat petisi yang diamini ratusan ribu pendukung tersebut.
Argumen tersebut langsung diluruskan Menteri Koordinator Bidang (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto. Dia menyatakan pemerintah tidak mengabaikan perlindungan pekerja/buruh terkena PHK sebelum usia 56 tahun.
Airlangga menyebut program JKP telah berjalan. Jaminan ini yang bakal melindungi pekerja yang di-PHK.
"Klaim JKP efektif per 1 Februari 2022 ini mulai diberlakukan, dan JKP adalah perlindungan jangka pendek bagi pekerja/buruh karena langsung mendapat manfaat seketika saat berhenti bekerja," kata Airlangga dalam video conference, Senin, 14 Februari 2022.
Baca: Ingat! Pekerja Terkena PHK Dijamin Lewat JKP
Penambahan program JKP tidak mengurangi manfaat program jaminan sosial yang sudah ada. Bahkan iuran JKP tidak membebani pekerja dan pemberi kerja, karena besaran iuran 0,46 persen dari upah berasal dari pemerintah pusat.
3. Argumen iuran JHT tak boleh ditahan
Penolak aturan ini menyebut pemerintah sebagai penyelenggara sistem JHT. Namun, uang yang terkumpul tak bisa dinyatakan sebagai uang milik negara.
JHT BPJS Ketenagakerjaan dibayarkan pekerja melalui pemotongan gaji setiap bulannya. Nilai 'simpanan' sebesar 2 persen dari upah sebulan dan 3,7 persen dari upah sebulan dibayarkan pemberi kerja atau perusahaan kepada BPJS selaku pengelola.
Karena alasan itu, penolak aturan menyebut pemerintah tak bisa 'menahan' iuran yanga dibayarkan dengan dengan alasan apapun. Sebab, tidak ada keikutsertaan dana dari pemerintah dalam dana yang terkumpul itu hingga pekerja baru bisa mengambilnya saat berusia 56 tahun.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menjelaskan tidak sepenuhnya benar jika JHT hanya dapat diambil saat berusia 56 tahun. Sebagian manfaatnya dapat diambil sebelum usia itu dengan syarat tertentu.
Salah satunya, telah menjadi peserta program minimal 10 tahun. Besaran manfaat yang dapat diambil lebih cepat yaitu sebesar 30 persen dari manfaat JHT untuk pemilikan rumah atau 10 persen dari manfaat JHT untuk keperluan persiapan masa pensiun.
Baca: Klaim JHT Bisa Cair Sebelum 56 Tahun, Ini Syaratnya
Ida menyatakan JHT dimaksudkan untuk jangka panjang pekerja. Yaitu memberikan perlindungan kepada peserta ketika memasuki hari tua.
"Iuran yang telah dibayarkan pemberi kerja dan pekerja untuk program ini tidak akan hilang dan dapat diklaim seluruhnya setelah peserta memasuki usia 56 tahun atau bila peserta mengalami cacat total sebelum usia atau meninggal dunia," tegas Ida dilansir Antara, Rabu, 16 Februari 2022.
4. Tidak pro rakyat
Aturan pencarian JHT di usia 56 tahun dianggap kebijakan yang tidak pro rakyat. Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 dituding tidak memiliki nilai positif.
Alih-alih memproteksi pekerja di usia tua, kebijakan ini dinilai membuat warga negara yang berhenti bekerja di masa muda tak bisa mencairkan JHT.
"Padahal kita sebagai pekerja sangat membutuhkan dana tersebut untuk modal usaha setelah di PHK. Di aturan sebelumnya pekerja terkena PHK atau mengundurkan diri atau habis masa kontraknya bisa mencairkan JHT setelah 1 bulan resmi tidak bekerja," lanjut petisi di change.org.
Pemerintah lagi-lagi menepis tudingan tak pro rakyat, terutama pekerja yang terpaksa berhenti atau di-PHK. Menko Perekonomian menyebut uang yang diterima peserta dalam program JKP saat terkena PHK juga lebih besar.
Dalam program JKP, manfaat berupa uang tunai yang diterima sebesar 45 persen dari upah tiga bulan pertama dan 25 persen upah bulan ke-4 sampai ke-6.
"Contoh kalau mendapat PHK di tahun ke-2, itu dengan gaji misal Rp5 juta maka akan diberikan 45 persen dari Rp5 juta adalah Rp2,25 juta dikali tiga bulan berarti Rp6,75 juta. Sedangkan bulan ke-4 sampai ke-6 adalah 25 persen dari Rp5 juta atau Rp1,25 juta kali tiga adalah Rp3,75 juta sehingga mendapatkan Rp10,5 juta," ungkap Airlangga.
Baca: Klaim JKP bagi Korban PHK Lebih Besar dari JHT, Begini Perhitungannya
Sementara dengan mekanisme lama, peserta hanya mendapat 5,7 persen dari Rp5 juta yaitu Rp285 ribu dikali 24 bulan, yaitu Rp6,84 juta ditambah lima persen pengembangan dua tahun Rp350 ribu sehingga total keseluruhannya adalah Rp7,19 juta.
5. JKP bukan solusi untuk semua pekerja
Walau menegaskan manfaat di program JHT bakal ditanggung JKP, buruh menilai program jaminan sosial bagi pekerja tersebut bukan solusi untuk sebagian kelompok. Pasalnya, pekerja kontrak masih belum secara gamblang disebut dapat menikmati manfaat JKP.
Karyawan kontrak, outsourcing, atau pekerja yang pensiun dini karena perusahaan tak mampu membayar jadi persoalan tersendiri. JKP saat ini dianggap hanya berlaku untuk mereka yang kena PHK. Sedangkan pekerja yang kontraknya habis, mengundurkan diri, dan pensiun dini tidak mendapat fasilitas tersebut.
Tak hanya buruh, lubang aturan ini juga diakui dewan. Aturan yang dikeluarkan Kemanaker perlu memayungi pekerja yang tidak memiliki kepastian masa kerja. Pekerja outsourcing hanya memiliki masa kontrak enam bulan atau satu tahun.
"Sewaktu-waktu (pekerja) bisa kehilangan pekerjaan. Ketika kehilangan pekerjaan, JHT sangat diperlukan,” kata anggota Komisi IX DPR Putih Sari saat dikonfirmasi, Sabtu, 12 Februari 2022.
Baca: Legislator Sebut Menaker Belum Pernah Beberkan Aturan Pencairan JHT
Pekerja outsourcing atau tidak memiliki jaminan perpanjangan kontrak atau diangkat menjadi pegawai tetap. Putih menekankan pentingnya manfaat JHT, yang kini juga disokong JKP, bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan di masa sulit seperti sekarang.
Jakarta: Aturan baru Kementerian Ketenagakerjaan (
Kemenaker) terkait pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) yang hanya bisa dilakukan saat pekerja berusia 56 tahun menuai polemik. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
Pasal 3 Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 berbunyi, manfaat JHT baru dapat diberikan saat peserta masuk masa pensiun di usia 56 tahun. Selanjutnya, Pasal 4 menyebutkan manfaat JHT bagi peserta yang mencapai usia pensiun itu juga termasuk peserta yang berhenti bekerja baik mengundurkan diri atau di-PHK.
Namun, aturan baru
JHT ini menuai gejolak di publik dan media sosial. Bahkan sudah ada petisi berjudul "Gara-gara aturan baru ini, JHT tidak bisa cair sebelum 56 tahun" di situs change.org. Petisi itu bahkan dengan cepat ditandatangani hampir 400.000 orang.
Berikut beberapa alasan yang memicu aturan baru pencairan JHT di usia 56 tahun banyak ditolak.
1. Hak pekerja di-PHK disunat
Pekerja yang berhenti bekerja karena mengundurkan diri maupun karena terkena PHK, memiliki hak untuk memilih. Mencairkan manfaat Jaminan Hari Tua pada saat berhenti bekerja atau pada saat memasuki usia pensiun.
Permenaker menerangkan ‘peserta’ program JHT adalah setiap orang yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia dan telah membayar iuran. Hal ini membuat pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) disebut tak lagi bisa menikmati manfaat.
Sebab, di aturan terbaru mereka yang sudah tidak bekerja dan berhenti membayar iuran tak memenuhi syarat peserta. Serikat buruh dan pekerja menilai aturan Sehingga seharusnya pekerja dimaksud tetap diberikan hak untuk memilih kapan akan mengambil manfaat JHT.
Namun, Kemenaker membantah pekerja yang terkena PHK jadi korban. Dia menyatakan pekerja yang di-PHK kini sudah dilindungi program lain yang bernama Jaminan Kehilangan Pekerjaan (
JKP).
“Sekarang kita punya program baru yaitu JKP, Jaminan Kehilangan Pekerjaan, untuk korban PHK. Dulu JKP gak ada. Maka wajar jika dulu teman2 ter PHK berharap sekali pada pencairan JHT,” ungkap Staf Khusus Menaker Dita Indah Sari dalam ungga akun Twitter @Dita_Sari_.