medcom.id, Jakarta: Tetap menuruti keinginan orang yang sudah mengingkari perintah, mungkin menunjukkan kelegawaan jiwa. Tapi jika itu ada dalam perkara hukum, jelas salah kaprah.
Entah, pola pikir seperti apa yang diacu Mahkamah Agung (MA) dalam duduk perkara pelantikan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Selasa, 4 April 2017. Ketika DPD tetap melakukan pemilihan berdasarkan peraturan yang sudah dibatalkannya, eh, malah MA sendiri yang akhirnya datang melantik dan menuntun sumpah Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai ketua.
Dalih MA, serupa apapun aturan sidang yang dipakai, ia tak merasa ada hubungan. Tapi perkara melantik, itu memang menjadi tanggung jawab MA secara administratif.
Bila sudah seperti itu, mungkin MA sudah membaiat dirinya sekadar mirip pabrik percetakan. Yang terpenting adalah menerbitkan fatwa dan pertimbangan hukum berupa uji materiil terhadap peraturan yang berposisi di bawah undang-undang. Perkara didengar atau tidak, itu soal lain.
Tapi rasa-rasanya, membatalkan lalu mengesahkan, tak memberi tafsir lebih selain perasaan galau.
Salah ketik
Jika dirunut muasalnya, MA telah membatalkan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2017 yang mengatur perubahan masa jabatan pimpinan DPD dari lima tahun menjadi 2,5 tahun.
Putusan yang diterbitkan pada Rabu 29 Maret 2017 itu dalam rangka mengabulkan permohonan uji materi Peraturan DPD No 1/2016 dan No 1/2017 terkait pemotongan masa jabatan pimpinan DPD dan pemberlakuan surut kepada pimpinan DPD yang menjabat. Putusan No 20P/HUM/2017 menerangkan masa jabatan pimpinan DPD lima tahun sesuai masa jabatan keanggotaan. Pemberlakuan ketentuan itu dianggap bertentangan dengan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Meski begitu, sebagai mana yang bisa ditangkap jelas masyarakat, DPD tetap menggelar rapat paripurna pemilihan pimpinan berdasarkan peraturan yang sudah dibatalkan MA itu. Nahasnya, pemilihan pimpinan pun dilakukan dalam rapat paripurna yang -menurut penentang paripurna- tidak memenuhi kuorum.
Sekilas, memang tak ada masalah. Lantaran sekelompok orang di DPD mengakali pengkhianatan putusan MA itu dengan cara menjadikan Peraturan DPD Nomor 3 Tahun 2017 sebagai landasan pemilihan. Ya, lalu, seperti yang dilihat bersama, tanpa ragu, Wakil Ketua MA Suwardi memandu OSO mengucapkan sumpah jabatan sebagai Ketua DPD periode 2017-2019.
Di balik itu, sebenarnya ada yang lebih konyol. MA merasa ada kesalahan dalam pengetikan dalam surat keputusan yang dijadikan alasan gontok-gontokan antaranggota dalam sidang paripurna DPD sejak 2 April lalu.
Rapat paripurna DPD RI yang digelar di Gedung Nusantara V Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (3/4/2017) diwarnai kericuhan. Rapat paripurna tersebut membahas tata tertib sidang dalam pemilihan Ketua DPD yang baru. MI/Susanto
Kesalahan redaksional tersebut berupa penjelasan putusan yang disertai pernyataan pembatalan. Tepatnya, pada putusan atas uji materi Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2016 yang mengatur masa jabatan pimpinan DPD menjadi 2,5 tahun, serta putusan atas uji materi Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2017 yang mengatur diberlakukannya 2,5 tahun masa jabatan pimpinan DPD pada periode 2014-2019.
Tak cuma itu, ada pula kesalahan pengetikan pada objek putusan yang lazimnya "Tata Tertib Nomor 1 Tahun 2016 dan 2017" yang menetapkan masa jabatan Pimpinan DPD selama 2,5 tahun, tetapi yang tertulis "Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 dan 2017". Belum lagi, kekeliruan penulisan nama lembaga DPD menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
MA pun membantah bahwa kesalahan-kesalahan tulis tersebut berdampak secara substansial. Dan itu, tinggal dilakukan pembetulan.
"Manusia pasti tidak luput dari kesalahan," kata juru bicara MA Suhadi di Gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis 6 April 2017.
Beda lagi dengan penilaian mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie. Menurutnya, kesalahan itu jelas bukan perkara sepele. Kesalahan yang menurut dia kental kaitannya dengan persoalan etika. "Ini termasuk etika dan profesionalitas peradilan," kata Jimly.
Bahkan menurut Komisi Yudisial (KY), alasan salah ketik seperti itu sudah banyak dijadikan modus pelanggaran hukum. Istilahnya, clerical error. Makanya, KY menyatakan tak segan-segan akan menelusuri motif di balik kekeliruan ini.
"Selama ini belum ada pengaduan yang masuk, tapi pada prinsipnya informasi itu akan jadi masukan untuk dilakukan kajian," ujar juru bicara KY Farid Wajdi di Jakarta, Kamis 6 April 2017.
Baca: DPD Oh DPD
Kongkalikong
Salah ketik boleh jadi alasan, tapi menurut KY, pihaknya juga mendengar kabar adanya pertemuan pimpinan MA dan perwakilan DPD sesaat sebelum pelantikan OSO dan pimpinan DPD yang baru.
Pertemuan yang dimaksud adalah perjumpaan Wakil Ketua Mahkamah Agung Suwardi dengan pelaksana tugas (Plt) ketua DPD, sekretaris jenderal, dan seorang senator di gedung MA pada Selasa 4 Maret 2017. KY berjanji akan meminta keterangan pihak-pihak yang terlibat tanpa memandang status dan jabatan.
"Sekecil apa pun informasi yang masuk ke KY akan diproses, tanpa melihat siapa yang akan diperiksa," tegas Farid.
Mencurigai beberapa oknum MA melakukan kongkalikong untuk maksud tertentu memang bukan perkara haram. Sebab sejatinya, lembaga yang semestinya benar-benar 'agung' ini memiliki kredibelitas yang naik turun di sepanjang perjalanan sejarahnya.
Awal tahun lalu misalnya, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor MA demi melacak jejak pelaku dalam kasus suap penerbitan salinan kasasi. Saat itu, adanya keterlibatan hakim agung memiliki kemungkinan yang cukup kuat.
Dugaan ini menguat setelah KPK berhasil menangkap Kepala Subdit Kasasi dan PK Perdata Khusus Direktorat Pranata dan Tatalaksana Perkara Perdata MA, Andri Trisianto Sutrisna. KPK mencurigai, duit yang diterima Andri juga dialirkan ke pihak lain di MA.
MA memang bukan ruangan yang mustahil disusupi suap menyuap. Apalagi, kepentingan-kepentingan bersifat politis, semisal kongkalikong soal peraturan demi memenangkan seseorang dalam hal meraih jabatan.
Kembali ke polemik DPD, MA memang bisa dengan mudah membantah dari mulai kesalahan pengetikan, fakta pertemuan, atau memandu sumpah OSO yang dikatakan cuma tindakan administratif. Tapi berbarengan dengan itu, MA juga harus mampu secara tegas menunjukkan ketidakberpihakan dan nihilnya penyalahgunaan wewenang. Kedua cara itu, memang galib ditempuh MA sebagai langkah memberi kepastian hukum paling akhir di saat terjebak pada situasi-situasi seperti ini.
Atau, ada dua hal lain yang bisa dilakukan MA demi menghapus dugaan-dugaan ketidak-becusan itu. Pertama, membatalkan pelantikan pimpinan DPD melalui pelaksanaan UU Administrasi Pemerintahan, atau sekalian, potong generasi dengan membersihkan diri dari oknum-oknum hakim plinplan, inkonsisten, dan tukang galau.
medcom.id, Jakarta: Tetap menuruti keinginan orang yang sudah mengingkari perintah, mungkin menunjukkan kelegawaan jiwa. Tapi jika itu ada dalam perkara hukum, jelas salah kaprah.
Entah, pola pikir seperti apa yang diacu Mahkamah Agung (MA) dalam duduk perkara pelantikan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Selasa, 4 April 2017. Ketika DPD tetap melakukan pemilihan berdasarkan peraturan yang sudah dibatalkannya, eh, malah MA sendiri yang akhirnya datang melantik dan menuntun sumpah
Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai ketua.
Dalih MA, serupa apapun aturan sidang yang dipakai, ia tak merasa ada hubungan. Tapi perkara melantik, itu memang menjadi tanggung jawab MA secara administratif.
Bila sudah seperti itu, mungkin MA sudah membaiat dirinya sekadar mirip pabrik percetakan. Yang terpenting adalah menerbitkan fatwa dan pertimbangan hukum berupa uji materiil terhadap peraturan yang berposisi di bawah undang-undang. Perkara didengar atau tidak, itu soal lain.
Tapi rasa-rasanya, membatalkan lalu mengesahkan, tak memberi tafsir lebih selain perasaan galau.
Salah ketik
Jika dirunut muasalnya, MA telah membatalkan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2017 yang mengatur perubahan masa jabatan pimpinan DPD dari lima tahun menjadi 2,5 tahun.
Putusan yang diterbitkan pada Rabu 29 Maret 2017 itu dalam rangka mengabulkan permohonan uji materi Peraturan DPD No 1/2016 dan No 1/2017 terkait pemotongan masa jabatan pimpinan DPD dan pemberlakuan surut kepada pimpinan DPD yang menjabat. Putusan No 20P/HUM/2017 menerangkan masa jabatan pimpinan DPD lima tahun sesuai masa jabatan keanggotaan. Pemberlakuan ketentuan itu dianggap bertentangan dengan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Meski begitu, sebagai mana yang bisa ditangkap jelas masyarakat, DPD tetap menggelar rapat paripurna pemilihan pimpinan berdasarkan peraturan yang sudah dibatalkan MA itu. Nahasnya, pemilihan pimpinan pun dilakukan dalam rapat paripurna yang -menurut penentang paripurna- tidak memenuhi kuorum.
Sekilas, memang tak ada masalah. Lantaran sekelompok orang di DPD mengakali pengkhianatan putusan MA itu dengan cara menjadikan Peraturan DPD Nomor 3 Tahun 2017 sebagai landasan pemilihan. Ya, lalu, seperti yang dilihat bersama, tanpa ragu, Wakil Ketua MA Suwardi memandu OSO mengucapkan sumpah jabatan sebagai Ketua DPD periode 2017-2019.
Di balik itu, sebenarnya ada yang lebih konyol. MA merasa ada kesalahan dalam pengetikan dalam surat keputusan yang dijadikan alasan gontok-gontokan antaranggota dalam sidang paripurna DPD sejak 2 April lalu.
Rapat paripurna DPD RI yang digelar di Gedung Nusantara V Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (3/4/2017) diwarnai kericuhan. Rapat paripurna tersebut membahas tata tertib sidang dalam pemilihan Ketua DPD yang baru. MI/Susanto
Kesalahan redaksional tersebut berupa penjelasan putusan yang disertai pernyataan pembatalan. Tepatnya, pada putusan atas uji materi Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2016 yang mengatur masa jabatan pimpinan DPD menjadi 2,5 tahun, serta putusan atas uji materi Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2017 yang mengatur diberlakukannya 2,5 tahun masa jabatan pimpinan DPD pada periode 2014-2019.
Tak cuma itu, ada pula kesalahan pengetikan pada objek putusan yang lazimnya "Tata Tertib Nomor 1 Tahun 2016 dan 2017" yang menetapkan masa jabatan Pimpinan DPD selama 2,5 tahun, tetapi yang tertulis "Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 dan 2017". Belum lagi, kekeliruan penulisan nama lembaga DPD menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
MA pun membantah bahwa kesalahan-kesalahan tulis tersebut berdampak secara substansial. Dan itu, tinggal
dilakukan pembetulan.
"Manusia pasti tidak luput dari kesalahan," kata juru bicara MA Suhadi di Gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis 6 April 2017.
Beda lagi dengan penilaian mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie. Menurutnya, kesalahan itu jelas
bukan perkara sepele. Kesalahan yang menurut dia kental kaitannya dengan persoalan etika. "Ini termasuk etika dan profesionalitas peradilan," kata Jimly.
Bahkan menurut Komisi Yudisial (KY), alasan salah ketik seperti itu sudah banyak dijadikan
modus pelanggaran hukum. Istilahnya,
clerical error. Makanya, KY menyatakan tak segan-segan akan menelusuri motif di balik kekeliruan ini.
"Selama ini belum ada pengaduan yang masuk, tapi pada prinsipnya informasi itu akan jadi masukan untuk dilakukan kajian," ujar juru bicara KY Farid Wajdi di Jakarta, Kamis 6 April 2017.
Baca: DPD Oh DPD
Kongkalikong
Salah ketik boleh jadi alasan, tapi menurut KY, pihaknya juga mendengar kabar adanya pertemuan pimpinan MA dan perwakilan DPD sesaat sebelum pelantikan OSO dan pimpinan DPD yang baru.
Pertemuan yang dimaksud adalah perjumpaan Wakil Ketua Mahkamah Agung Suwardi dengan pelaksana tugas (Plt) ketua DPD, sekretaris jenderal, dan seorang senator di gedung MA pada Selasa 4 Maret 2017. KY berjanji akan meminta keterangan pihak-pihak yang terlibat tanpa memandang status dan jabatan.
"Sekecil apa pun informasi yang masuk ke KY akan diproses, tanpa melihat siapa yang akan diperiksa," tegas Farid.
Mencurigai beberapa oknum MA melakukan kongkalikong untuk maksud tertentu memang bukan perkara haram. Sebab sejatinya, lembaga yang semestinya benar-benar 'agung' ini memiliki kredibelitas yang naik turun di sepanjang perjalanan sejarahnya.
Awal tahun lalu misalnya, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor MA demi melacak jejak pelaku dalam kasus suap penerbitan salinan kasasi. Saat itu, adanya keterlibatan hakim agung memiliki kemungkinan yang cukup kuat.
Dugaan ini menguat setelah KPK berhasil menangkap Kepala Subdit Kasasi dan PK Perdata Khusus Direktorat Pranata dan Tatalaksana Perkara Perdata MA, Andri Trisianto Sutrisna. KPK mencurigai, duit yang diterima Andri juga dialirkan ke pihak lain di MA.
MA memang bukan ruangan yang mustahil disusupi suap menyuap. Apalagi, kepentingan-kepentingan bersifat politis, semisal kongkalikong soal peraturan demi memenangkan seseorang dalam hal meraih jabatan.
Kembali ke polemik DPD, MA memang bisa dengan mudah membantah dari mulai kesalahan pengetikan, fakta pertemuan, atau memandu sumpah OSO yang dikatakan cuma tindakan administratif. Tapi berbarengan dengan itu, MA juga harus mampu secara tegas menunjukkan ketidakberpihakan dan nihilnya penyalahgunaan wewenang. Kedua cara itu, memang galib ditempuh MA sebagai langkah memberi kepastian hukum paling akhir di saat terjebak pada situasi-situasi seperti ini.
Atau, ada dua hal lain yang bisa dilakukan MA demi menghapus dugaan-dugaan ketidak-becusan itu. Pertama, membatalkan pelantikan pimpinan DPD melalui pelaksanaan UU Administrasi Pemerintahan, atau sekalian, potong generasi dengan membersihkan diri dari oknum-oknum hakim plinplan, inkonsisten, dan tukang galau.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)