Rapat paripurna DPD RI yang digelar di Gedung Nusantara V Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (3/4/2017) diwarnai kericuhan. Rapat paripurna tersebut membahas tata tertib sidang dalam pemilihan Ketua DPD yang baru. MI/Susanto
Rapat paripurna DPD RI yang digelar di Gedung Nusantara V Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (3/4/2017) diwarnai kericuhan. Rapat paripurna tersebut membahas tata tertib sidang dalam pemilihan Ketua DPD yang baru. MI/Susanto

FOKUS

DPD Oh DPD

Sobih AW Adnan • 04 April 2017 21:46
medcom.id, Jakarta: Filsuf terkemuka asal Prancis, Albert Camus pernah bilang, "Kita tidak pernah punya waktu untuk menjadi diri kita sendiri. Kita hanya punya waktu untuk menjadi bahagia."
 
Kutipan itu kemudian masyhur lantaran terselip dalam novel yang ia tulis pertama kali, La mort heureuse. Tahun lalu, penerjemah Widya Mahardika Putra mengalih-bahasakannya ke dalam judul Mati Bahagia. Isinya, tentang kebahagiaan yang oleh pria kelahiran Aljazair itu ditafsirkan sebagai sesuatu yang tak baku. Beda orang, beda anggapan.
 
Tapi, bukan perkara novel yang hendak diulas. Yang menarik adalah pesan tentang tidak mudahnya bagi anak manusia untuk menyadari tentang dirinya sendiri. Kebahagiaan yang diburu kerap bersifat sesaat. Kebahagiaan itu, lantas bergeser makna setara 'kepentingan'.
 
Jika sudah seperti ini, orang lazim tak sadar betapa pun bahaya tengah mengincar. Atau, ia tak peduli lagi soal betapa semerawutnya alur yang telah dilewati. Tak ada kebaikan, nihil perbaikan.
 
Diidap oleh seseorang, sah-sah saja. Tapi jika sudah menjelma lembaga, lupa terhadap diri sendiri berarti alpa dengan fungsi. Tak ada niat mengevaluasi dan refleksi, yang menjadi raja di depan mata; cuma kepentingan.
 
Kalau boleh menyangka, begitulah sekiranya salah satu lembaga di Indonesia sedang mempertontonkan dirinya. Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kembali mementaskan kegaduhan. Padahal masalah dan pekerjaan rumah (PR) terus menggunung, tapi bekas dan manfaatnya nyaris belum pernah bergaung.
 
Wakil yang ruwet
 

Sejatinya, kehadiran DPD adalah perwujudan aspirasi daerah. Ia menjadi bagian dari formal konstitusional dalam sistem parlemen bikameral yang dianut Republik Indonesia. Nilai lebihnya, keberadaan DPD mengesahkan bahwa pembangunan dan kebijakan negara tak melulu identik dengan sentuhan partai politik (parpol). 
 
Ya, berbeda dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang keanggotaannya dilahirkan dari rahim parpol, elemen DPD terdiri dari perwakilan setiap provinsi yang dipilih secara independen dalam pemilihan umum (Pemilu). Tapi nyatanya, wajah pembeda itu terkesan luntur ketika berkerumun di Senayan. DPD, seolah masih kental dengan kendaraan politik. 
 
DPD Oh DPD
 
Tengok saja, waktu demi waktu, kegaduhan yang disuguhkan tak lepas dari perebutan pengaruh dan kekuasaan.
 
Pertama, pembentukan DPD sebagai pengganti istilah Utusan Daerah sejak 1 Oktober 2004, hingga satu dekade kehadirannya tak ada suara yang dimunculkan selain keluhan kewenangan yang terbatas, atau ketentuan internal yang tak kian jelas.
 
DPD, merasa sebagai anak tiri legislatif. Hak dan kewajibannya tak sebasah kelembagaan DPR. Beberapa kali, bahkan sebagian orang bilang DPD bak sekadar pemandu sorak dalam hiruk pikuk negara demokrasi.
 
Hampir saja masyarakat berempati. Benar juga, DPD memang diimpikan sebagai pengawal keberlangsungan otonomi daerah. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 22D UUD 1945, setidaknya ada empat indikator keberhasilan pembangunan daerah yang secara tak langsung menjadi PR DPD, yakni kemampuan daerah dalam meningkatkan daya saing lokal, mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan menyejahterakan rakyat daerah. Dan hal-hal lain yang memang sedikit luput dari urusan DPR.

Sayangnya, pembenaran itu langsung runtuh. Tepatnya ketika Ketua DPD Irman Gusman terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 16 September 2016. Irman terseret kasus dugaan penyuapan proyek gula impor. Tapi bisa-bisanya DPD, seperti yang diungkap sang Wakil Ketua, Farouq Muhammad, yang menuding suap-menyuap itu terjadi lantaran tugas dan kewenangan DPD yang tak lekas jelas.
 
DPD Oh DPD
Ketua DPD RI Irman Gusman berjalan keluar dari Gedung KPK di Jakarta, Sabtu (17/9). KPK menetapkan Ketua DPD RI Irman Gusman sebagai tersangka terkait kasus dugaan suap pengurusan kuota gula impor. MI/ARYA MANGGALA
 

"Justru menurut saya di situlah pentingnya, harus ada aturan main yang jelas dari ketatanegaraan kita supaya tidak disalahgunakan," kata Faoruq di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Sabtu, 17 September 2016.
 
Oke lah. Lagi pula, seiring maraknya pemberitaan saat itu, ramai juga bantahan dari ruang parlemen, bahwa tingkah Irman tak ada hubungannya dengan kelembagaan DPD, apalagi DPR.
 
Belum lama kasus Irman merebak, muncul pula kabar DPD yang mungkin membuat sebagian dahi masyarakat mengernyit. Tepatnya pada 19 Desember 2016, di saat seorang anggota DPD, Osman Sapta Odang (OSO) tiba-tiba didapuk menjabat Ketua Umum DPP Partai Hanura. Ia dipilih secara aklamasi melalui rapat pleno partai besutan Wiranto itu.
 
Bahkan, bukan cuma OSO. Langkah itu diikuti diikuti pula oleh anggota DPD, I Gede Pasek Suardika. Pasek juga menyebut Aceng Fikri senator Jawa Barat, Novi Chandra senator Sumatera Barat, Adrianus Garu senator asal Nusa Tenggara Timur (NTT), dan beberapa nama lainnya memiliki kemungkinan dan niat serupa.
 
Kekhawatiran pun muncul. Alih-alih mewakili kepentingan daerah di tingkat pusat, DPD malah getol mengibarkan aspirasi parpol dalam mengambil kebijakan. 
 
Belum surut rasa keheranan, eh, kemarin hari sidang paripurna DPD yang diiringi kabar gaduh gontok-gontokan itu akhirnya secara aklamasi memutuskan OSO sebagai Ketua DPD. Rasanya, DPD sekarang tak ubahnya semacam fraksi parpol raksasa yang tak pernah diramalkan negara.
 
DPD Oh DPD
Nawardi merebut tempat pimpinan sidang/MI/Susanto
 
Entitas politik yang tak tuntas
 
Mungkin baik menengok sejarah. Mumpung berita orang DPD jotos-jotosan masih hangat. Dengan menjejaki masa lalu DPD, bisa saja ada pengetahuan baru. Misalnya, mengapa lembaga negara ini seperti gamang memandang dirinya sendiri.
 
Utusan Daerah sebagai “wujud politik” (political entity) sudah muncul sejak negara ini lahir. Wujud politik itu dicantumkan dalam UUD 1945, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS), juga UUDS 1950.
 
Frase 'utusan daerah' pertama kali muncul dalam UUD 1945. Pasal 2 UUD 1945 menyatakan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.”
 
UUD Republik Indoneia Serikat (RIS) juga memberi basis konstitusional bagi DPD. Konstitusi RIS menegaskan bahwa DPR RIS bekerja bersama Senat RIS. Senat RIS mewakili negara-negara bagian. Kepentingan daerah diperjuangkan melalui Senat RIS, yang anggota-anggotanya merupakan para utusan daerah.
 
Selanjutnya, pada Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, eksistensi Utusan Daerah juga tidak hilang. Bedanya, UUDS 1950 menggantikan UUD RIS dan meninggalkan konsep Republik Indonesia Serikat. UUDS 1950 berlangsung selama masa transisi dari federalisme menuju NKRI.
 
Berdasarkan UUDS 1950, selama masa transisi, Senat RIS masih dipertahankan, dan akan berakhir keberadaannya setelah digelar pemilu. Tujuan digelarnya pemilu adalah membentuk DPR baru. Juga membentuk Dewan Konstituante yang akan membuat UUD definitif.
 
Setelah Presiden Soekarno memberlakukan kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Utusan Daerah tetap ada. DPRS bersama Utusan Daerah dan Golongan Karya menjadi anggota MPR Sementara (MPRS). Tapi setelah itu kekuasaan MPRS 'dipreteli' dan tidak bisa membuat atau bahkan mengubah UUD 1945. Politik macam ini dilanjutkan oleh penguasa Orde Baru. MPR bersidang hanya lima tahun sekali.
 
Singkat saja, DPD yang berakar dari sejarah Golongan Utusan Daerah memang mirip entitas politik yang tidak tuntas. Ada tapi seperti tiada. Di masa RIS utusan daerah malah kerap dianggap mewakili sisa-sisa BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg). BFO merupakan permusyawaratan federal yang anggotanya berasal dari negara-negara bagian ciptaan Dr H.J van Mook, saat Belanda berkuasa kembali di negara ini setelah Perang Dunia II usai.  
 
Setelah Orba berkuasa, Utusan Daerah sebagai wujud politik tetap ada tapi tak berkutik. Maraknya tuntutan otonomi daerah di era Orba dibungkam. Lalu Orba runtuh pada 1998, dan wujud politik bernama Utusan Daerah bangkit lagi. Kali ini namanya DPD. Tapi DPD sebagai 'wujud politik' tetap tidak tuntas. Tampaknya, sejarah kelam negara-negara bagian dan konflik pusat-daerah yang mewujud dalam tuntutan otonomi daerah, masih membayangi lembaga negara ini.
 
Jadi, setengah hati-kah DPD dibentuk?
 
Masa depan DPD
 
Bukan cuma non-prestasi. Kini, lengkaplah sudah DPD mengecewakan masyarakat Indonesia yang demokratis. Belum lagi soal intrik kekuasaan yang begitu kentara sepanjang paripurna, keadaan ini, menjadikan masa depan DPD kian suram.
 
Kericuhan dimulai ketika ada senator yang menyoal penundaan agenda pemilihan ulang pimpinan DPD. Rapat yang sudah molor pun kembali tertunda hingga 45 menit. Anggota DPD asal Jawa Timur Ahmad Nawardi menolak legalitas pimpinan DPD yang membuka rapat.
 
"Tatib DPD yang mengatur kepemimpinan mereka selama 2,5 tahun berakhir Sabtu (1 April). Pimpinan sementara harus ditetapkan untuk memimpin rapat paripurna," usul Nawardi dengan suara lantang.
 
Kegaduhan dimulai. Pernyataan Nawardi menuai protes senator lain sehingga memantik perang kata-kata. Tak lama, aksi dorong mendorong pun sebagai mana bisa disaksikan di layar kaca.
 
Meminjam ucapan Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi, kondisi DPD sudah tercabik-cabik. DPD kian jauh dari muruahnya. DPD tak sadar, bahwa PR penting memperkuat lembaga tengah diancam kepentingan sesat soal masa jabatan pimpinan.
 
Paripurna kemarin, seluruh anggota DPD mestinya kompak menerima keputusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Peraturan DPD Nomor 1/2016 dan Nomor 1/2017 tentang tata tertib yang mengatur masa jabatan pimpinan DPD selama 2,5 tahun. Namun kepentingan politik segelintir orang menjadikan amanat itu terganti cekcok dan kegaduhan.
 
Putusan MA yang diterbitkan Rabu 29 Maret 2017 MA itu dalam rangka mengabulkan permohonan uji materi Peraturan DPD No 1/2016 dan No 1/2017 terkait dengan pemotongan masa jabatan pimpinan DPD dan pemberlakuan surut kepada pimpinan DPD yang menjabat.
 
Melalui putusan No 20P/HUM/2017 itu, MA memutuskan masa jabatan pimpinan DPD lima tahun sesuai masa jabatan keanggotaan. Pemberlakuan surut terhadap ketentuan itu bertentangan dengan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
 
Memang, akhirnya ketua baru pun terbentuk. Tapi kemunculan ketua umum partai politik sebagai Ketua DPD ini menjadikan masa depan DPD kian tak jelas. 
 
DPD harus ingat, usulan keras pembubaran DPD belum lama menggaung. Jika tak lekas introspeksi dan tetap mengutamakan kepentingan sesaat, tinggal pilih, selayaknya dua bagian dalam novel Albert Camus tadi, mati wajar atau mati sadar?
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan