Wakil Ketua MPR-RI sekaligus anggota DPD RI, Oesman Sapta (kiri depan) meninggalkan ruangan setelah acara Sosialisa 4 Pilar di Aula Genur Aceh di Provinsi Serambi Makkah, Senin (14/10)./MI/MOHAMAD IRFAN
Wakil Ketua MPR-RI sekaligus anggota DPD RI, Oesman Sapta (kiri depan) meninggalkan ruangan setelah acara Sosialisa 4 Pilar di Aula Genur Aceh di Provinsi Serambi Makkah, Senin (14/10)./MI/MOHAMAD IRFAN

FOKUS

DPD, Mau ke Mana?

Sobih AW Adnan • 28 Desember 2016 20:13
medcom.id, Jakarta: Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) didasari semangat reformasi struktur parlemen Indonesia. Jika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi cerminan representasi politik, DPD diharapkan bisa menjawab kebutuhan adanya saluran aspirasi daerah di kancah nasional. 
 
Namun belakangan, garis pemisah dua lembaga tinggi negara itu makin kabur. Mendaulat diri aktif di partai politik (Parpol) oleh sejumlah anggota DPD dianggap bukan soal. Lagi pula, tak ada satu pun payung hukum yang mengharamkan.
 
Diawali Osman Sapta Odang (OSO), anggota DPD yang juga menjabat Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) itu tiba-tiba merangkap sebagai Ketua Umum DPP Partai Hanura. Ia dipilih secara aklamasi melalui rapat pleno partai besutan Wiranto itu pada Senin 19 Desember. 

Langkah OSO diikuti anggota DPD, I Gede Pasek Suardika. Bahkan, mantan politikus Partai Demokrat ini berani menyebut bahwa sejumlah senator menyatakan siap turut di belakangnya. Pasek menyebut Aceng Fikri senator Jawa Barat, Novi Chandra senator Sumatera Barat, Adrianus Garu senator asal Nusa Tenggara Timur (NTT), dan beberapa nama lainnya.
 
Kekhawatiran pun muncul. Alih-alih mewakili kepentingan daerah di tingkat pusat, DPD malah getol mengibarkan aspirasi partai dalam mengambil kebijakan. 
 
DPD, Mau ke Mana?
 
Tidak jelas
 
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang mengatakan, banyaknya anggota DPD yang berbondong-bondong masuk ke gerbong partai politik makin menampakkan ketidak-jelasan lembaga yang dibentuk 1 Oktober 2004 itu. Bahkan, hal itu dinilai mengecewakan.
 
"Semakin tidak jelas mau kemana, maunya apa. Ini tentu mengecewakan," kata Sebastian kepada Metrotvnews.com, Rabu (28/12/2016).
 
Anggota DPD, kata Sebastian, tidak bisa membenarkan langkahnya hanya karena tidak adanya larangan tertulis secara tegas. Yang mesti dijadikan patokan adalah bahwa pendirian DPD memang dicita-citakan terbebas dari keterlibatan partai politik. 
 
"Semangat itu bisa dilihat dari syarat pencalonan yang tidak memperbolehkan sedang aktif di salah satu partai politik pada awal dibentuknya DPD," kata dia. 
 
Sayangnya, niat menghadirkan DPD yang steril dari parpol hanya bertahan sebentar. Sebab dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu syarat itu dihilangkan.
 
Menurut Sebastian, ketidakjelasan niat anggota DPD ini menguatkan keyakinan sebagian besar masyarakat bahwa keberadaan DPD hanyalah kepercumaan. DPD yang belakangan tengah berjuang mendapatkan perluasan wewenang itu, kata Sebastian, belum ada satu pun sesuatu darinya yang bisa dipersembahkan dan layak mendapat apresiasi.
 
"Malah desakan pembubaran itu makin masuk akal," kata dia.
 
Baca: Kasus Irman dan Isu Liar Bubarkan DPD 
 
Magnet partai politik
 
Pada pertengahan 2008, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi sejumlah anggota DPD terhadap UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. MK pun menyatakan bahwa keanggotaan DPD yang berasal dari partisan (partai politik) tidak bertentangan dengan UUD 1945.
 
Peneliti bidang politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengatakan hijrah massal anggota DPD ke ranah politik boleh dianggap sebagai babak kebangkitan parpol. Namun, kata dia, istilah itu belum tentu bermakna positif.
 
"Bisa positif jika partai politik bisa menggerakkan reformasi, bermetamorfosis sebagai partai kader, dan mampu melahirkan kader yang benar-benar sesuai dengan kebutuhkan masyarakat. Tapi sayangnya, tidak," kata Zuhro kepada Metrotvnews.com, Rabu (28/12/2016).
 
Zuhro menganggap, fenomena anggota DPD hari ini sama mengecewakannya dengan lemahnya calon perseorangan dalam kontestasi Pilkada 2017. Hampir semua kalangan beranggapan bahwa pemegang kekuatan publik melulu berada di tangan parpol.
 
Terlebih DPD, kata Zuhro, sebagai lembaga tinggi negara ia butuh menunjukkan pengaruhnya di belantika politik negara. Sayangnya, mereka tak kunjung percaya diri dan masih berpikir bahwa kekuatan parlemen bisa ditopang melalui dorongan partai.
 
"DPD masih ompong. Rupanya masih berpikir bahwa senator harus dikuatkan dengan keberadaan parpol," ujar dia.
 
Baca: DPD tak Permasalahkan Penunjukkan Oesman Sapta Sebagai Ketum Hanura 
 
Mau tidak mau, apa yang dilakukan DPD sekarang merupakan pengaburan dari sejarah dan cita-cita para pendiri bangsa. DPD yang merupakan kelanjutan dari Utusan Daerah sudah jauh-jauh hari digagas para pendahulu dengan menimbang kebutuhan masyarakat.
 
"Para pendiri bangsa berpikir volkstraad (DPR) saja tidak cukup. Karena Indonesia memiliki kearifan lokal. Maka perlu pola atau ruang untuk merepresentasikan keberadaan itu. Pendiri bangsa sudah cerdas, sayangnya hari ini seperti ada kemunduran," kata Zuhro.
 
"Badan Kehormatan (DPD) harus tegas. Aturan main juga mesti diperketat. Atau dibubarkan," tambah dia.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan