Jakarta: Detasemen Khusus Densus (88) Antiteror Polri diminta tidak sembrono menangkap terduga teroris. Penangkapan tiga mubalig beberapa waktu lalu dianggap sebagai kriminalisasi terhadap ulama.
"Catatan saya adalah penindakan oleh Densus 88 yang sembrono bisa kontraproduktif. Saat ini Densus 88 dianggap anti-Islam, mengkriminalisasi ulama, dan sebagainya. Ini patut disayangkan," kata pengamat teroris Zaki Mubarak saat dikonfirmasi, Senin, 22 November 2021.
Zaki menyebut Densus 88 sembrono menangkap tiga mubalig karena bergerak sendiri. Seharusnya, penegakan hukum terhadap ulama harus berkoordinasi dengan lembaga keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Jadi, jangan bergerak sendirian," ujarnya.
Menurut dia, nama Densus 88 akan tercemar ketika dicap sebagai anti-Islam. Zaki membeberkan banyak masyarakat muslim yang menuntut Densus 88 bertindak keras terhadap teroris kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua.
Densus 88 diminta terlibat aktif menumpas KKB yang telah ditetapkan pemerintah sebagai kelompok separatis teroris (KST). Penangkapan hanya terhadap teroris kelompok Islam dipertanyakan.
Baca: Penyebab Kelompok Teroris Mudah Menyusup ke Berbagai Lembaga Negara
"Itu yang menimbulkan persepsi Densus 88 tidak adil, diskriminatif, dan hanya menyasar aktivis Islam. Tuntutan pembubaran Densus 88 dilatarbelakangi oleh kekecewaan-kekecewaan seperti itu," ungkap Zaki.
Maka itu, kata Zaki, perlu adanya koordinasi dan komunikasi yang lebih baik dari Densus 88 terhadap lembaga lain. Dia melihat koordinasi itu masih minim. Akibatnya, banyak terjadi kesalahpahaman di masyarakat dan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap Densus 88.
"Tantangan bagi Densus 88 saat ini adalah perlunya dukungan dan simpati publik yang lebih besar, terutama umat Islam. Jika itu tidak ada, maka apapun yang dilakukan Densus akan dianggap salah," bebernya.
Densus 88 menangkap tiga ulama terkait kasus terorisme di kediaman masing-masing Kecamatan Pondok Melati, Bekasi, Jawa Barat pada Selasa dini hari, 16 November 2021. Ketiganya ialah Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI) Ustaz Farid Okbah, anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ahmad Zain An-Najah, dan Anung Al Hamat.
Ketiga diduga kuat terlibat dengan kelompok teroris jaringan Jamaah Islamiyah (JI). Ahmad Zain dan Farid Okbah disebut Ketua dan Anggota Dewan Syariah Lembaga Amil Zakat Baitul Mal Abdurrahman bin Auf (LAZ BM ABA).
Sedangkan, Anung merupakan pendiri Perisai Nusantara Esa. Badan yang dibuat untuk perbantuan hukum terhadap anggota JI yang tertangkap.
Para tersangka dijerat Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2003 tentang Pendanaan Terorisme. Dengan ancaman 15 tahun penjara.
Jakarta: Detasemen Khusus
Densus (88) Antiteror Polri diminta tidak sembrono menangkap terduga
teroris. Penangkapan tiga mubalig beberapa waktu lalu dianggap sebagai kriminalisasi terhadap ulama.
"Catatan saya adalah penindakan oleh Densus 88 yang sembrono bisa kontraproduktif. Saat ini Densus 88 dianggap anti-Islam, mengkriminalisasi ulama, dan sebagainya. Ini patut disayangkan," kata pengamat teroris Zaki Mubarak saat dikonfirmasi, Senin, 22 November 2021.
Zaki menyebut Densus 88 sembrono menangkap tiga mubalig karena bergerak sendiri. Seharusnya, penegakan hukum terhadap ulama harus berkoordinasi dengan lembaga keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia
(MUI).
"Jadi, jangan bergerak sendirian," ujarnya.
Menurut dia, nama Densus 88 akan tercemar ketika dicap sebagai anti-Islam. Zaki membeberkan banyak masyarakat muslim yang menuntut Densus 88 bertindak keras terhadap teroris kelompok kriminal bersenjata
(KKB) di Papua.
Densus 88 diminta terlibat aktif menumpas KKB yang telah ditetapkan pemerintah sebagai kelompok separatis teroris (KST). Penangkapan hanya terhadap teroris kelompok Islam dipertanyakan.
Baca:
Penyebab Kelompok Teroris Mudah Menyusup ke Berbagai Lembaga Negara
"Itu yang menimbulkan persepsi Densus 88 tidak adil, diskriminatif, dan hanya menyasar aktivis Islam. Tuntutan pembubaran Densus 88 dilatarbelakangi oleh kekecewaan-kekecewaan seperti itu," ungkap Zaki.
Maka itu, kata Zaki, perlu adanya koordinasi dan komunikasi yang lebih baik dari Densus 88 terhadap lembaga lain. Dia melihat koordinasi itu masih minim. Akibatnya, banyak terjadi kesalahpahaman di masyarakat dan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap Densus 88.