Ilustrasi utilitas semrawut. Foto: Medcom.id/Arga Sumantri
Ilustrasi utilitas semrawut. Foto: Medcom.id/Arga Sumantri

Ombudsman Sebut Sewa Sarana Utilitas DKI Berpotensi Malaadministrasi

Putri Anisa Yuliani • 09 Desember 2019 14:18
Jakarta: Ombudsman perwakilan Jakarta Raya mengingatkan Pemprov DKI terkait rencana pemungutan sewa bagi yang menggunakan sarana terpadu utilitas. Rencana revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Jaringan Utilitas buat memuluskan rencana itu bisa melanggar aturan. 
 
Ketua Ombudsman perwakilan Jakarta Raya, Teguh P. Nugroho, menjelaskan Pasal 8 Perda 8 Tahun 1999 jelas menyebut pemakaian ruang tanah dan penempatan jaringan utilitas sementara dan pemakaian sarana jaringan utilitas terpadu milik pemda dikenakan retribusi daerah.
 
"Bukan sewa. Tidak boleh B2B (business to business). Ini sudah ada dugaan malaadministrasi yang dilakukan Pemda DKI dan BUMD. Karena Pergub (Pergub 106 Tahun 2019) tersebut tidak mengacu kepada Perda 8 Tahun 1999,” kata Teguh, Senin, 9 Desember 2019. 

Teguh menilai rencana DKI merevisi Perda 8 Tahun 1999 agar Pergub 106 Tahun 2019 tentang pengenaan tarif sewa kepada pengguna sarana terpadu utilitas dapat dijalankan terlalu dipaksakan. Dia menegaskan, Pergub mestinya mengacu Perda bukan sebaliknya. 
 
"Ini seperti ingin mengubah undang-undang dengan peraturan pemerintah. Harusnya peraturan yang lebih rendah merujuk pada perundang-undangan yang lebih tinggi,” ujar Teguh.
 
Ombudsman khawatir bila Pemprov DKI ngotot memaksakan kehendak mengenakan tarif sewa, pelayanan publik akan tergangu. Pemprov mestinya menerapkan retribusi. 
 
Teguh khawatir tarif sewa mahal. Sehingga, memengaruhi harga dan layanan publik. 
 
"Harusnya penyediaan layanan publik tidak boleh diserahkan sepenuhnya oleh pihak swasta. Termasuk perusahaan milik daerah,” kata dia. 
 
Teguh melanjutkan, bila Pemprov DKI menunjuk JakPro dan Sarana Jaya melakukan pembangunan sarana utilitas tak masalah. Sebab, tidak melanggar Perda 8 Tahun 1999. Penunjukan BUMD juga bisa dilakukan lantaran keterbatasan anggaran yang dimiliki Pemda DKI.
 
“Namun tetap saja biaya yang dipungut dari pelaku usaha penyedia jaringan utilitas tersebut berupa tarif retribusi. Seperti tarif retribusi iklan di ruang publik. Bukan tarif sewa dengan mekanisme B2B (Business to Business),” tegas Teguh.
 
Teguh menjelaskan retribusi ialah pembayaran oleh masyarakat atau badan usaha kepada pemerintah atas layanan yang diberikan. Penarikan retribusi sesuai standar dan dibakukan dalam aturan perundang-undangan yang berlaku dan masuk ke kas daerah. 
 
Dia menuturkan, sarana terpadu utilitas merupakan fasilitas yang diberikan Pemprov DKI dalam penyediaan sarana. Ini bentuk pelayanan publik yang seharusnya tak dikenakan tarif mahal. 
 
“Penyediaan sarana terpadu utilitas bukan untuk bisnis, tetapi untuk kepentingan publik dan masyarakat DKI,” kata dia. 
 
Ombudsman DKI segera memanggil Pemprov DKI dan BUMD buat memeriksa kegaduhan yang muncul. Teguh mengaku pemanggilan dilakukan lantaran Ombudsman menerima banyak keluhan masyarakat akibat Pergub itu. 
 
“Tolong biro hukum dan TUGPP (Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan) membantu kinerja Gubernur Anies Baswedan bukan malah menjerumuskan dan mengadu domba beliau dengan masyarakat DKI. Tolong biro hukum dan TUGPP bekerja dengan baik,” tegas Teguh. 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan