Calon Hakim Agung Dicecar Soal Hukuman Mati Hingga Vonis Pinangki
Siti Yona Hukmana • 04 Agustus 2021 14:35
Jakarta: Komisi Yudisisal (KY) menyelenggarakan seleksi wawancara terbuka terhadap 24 calon hakim agung yang terbagi dalam kamar pidana dan perdata selama 3-7 Agustus 2021. Sebanyak lima calon hakim agung kamar pidana sudah selesai menjalani seleksi wawancara.
Sebanyak sembilan panelis yang terdiri dari tujuh anggota KY, satu negarawan, dan satu pakar hukum menguji calon hakim agung. Panelis menggali pendapat calon hakim agung soal hukuman pidana mati, diskon vonis jaksa nonaktif Pinangki Sirna Malasari, hingga pelanggaran jika pemerintah gagal mengatasi pandemi covid-19.
1. Hukuman mati
Salah satu calon hakim agung, Suradi, mendapatkan pertanyaan terkait hukuman pidana mati terhadap masyarakat Indonesia. Suradi menilai hukuman pidana mati legal di Indonesia.
"Beberapa perkara, terutama perkara narkotika, juga pernah dijatuhi hukuman pidana mati," kata Suradi dalam seleksi wawancara terbuka.
Dia mengakui hukuman menuai pro dan kontra hampir di seluruh dunia. Bahkan, sejumlah negara sudah menghapuskan hukuman pidana mati dalam perundang-undangannya.
"Namun, menurut hemat saya, pidana mati ini masih diperlukan, begitu juga dalam konsep KUHP memang masih diperlukan," ujar Suradi.
Baca: 24 Calon Hakim Agung 2021 Masuk Seleksi Wawancara
Dia hanya menyarankan hukuman pidana mati diberikan dalam keadaan khusus. Salah satu alasannya, yakni untuk melindungi masyarakat.
"Tanggung jawab negara melindungi masyarakat terhadap hak-hak yang paling mendasar, yaitu hak asasi manusia (HAM). Jangan sampai banyak nyawa yang terbunuh," ungkap Suradi.
2. Kasus Prita Mulyasari
Panelis juga mempertanyakan Suradi soal kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional yang menyeret seorang ibu, Prita Mulyasari, pada 2009. Prita yang mengidap penyakit beguk didiagnosis salah menjadi demam berdarah dengue (DBD). Suradi menilai kasus itu bukan pidana, melainkan perdata.
"Dari aspek keperdataan lebih besar keperdataan," kata Suradi.
Kenyataannya, kasus itu diproses pidana. Suradi mengaku sebagai hakim agung, dia akan menyelidiki terlebih dahulu memenuhi tidaknya unsur pidana.
"Atau hanya sebatas mempertahankan hak. Kalau masalah hak, itu masalah murni keperdataan. Tapi, kalau menyangkut pencemaran nama baik itu adalah perbuatan lain, bukan perbuatan yang dalam arti haknya," ungkap Suradi.
Dia mengaku siap melanjutkan ke tahap persidangan jika dakwaan memenuhi unsur pencemaran nama baik. Namun, Suradi mengatakan Prita harus dibebaskan apabila dalam putusan persidangan tidak terbukti melakukan pencemaran nama baik.
"Atau perbuatannya memang ada, tapi perbuatan itu bukan pidana mestinya dilanjutkan perdata. Tujuan utamanya dia mencemarkan nama baik itu dalam arti kesengajaan atau tidak atau hanya semata-mata mempertahankan hak, artinya yang diperkuat hukum perdatanya," jelas Suradi.
3. OTT aparat peradilan
Calon hakim agung Jupriyadi menerima pertanyaan dari panelis terkait banyaknya aparat peradilan terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jupriyadi menilai hal itu terjadi karena kurangnya integritas aparat pengadilan.
"Para aparat badan peradilan masih mudah tergoda oleh iming-iming dan lain sebagainya sehingga kita kena OTT. Namanya OTT kan memang sudah diselidik sedemikian rupa dan itu jarang yang lepas dari bidikan hukum," ujar Jupriyadi.
4. Diskon vonis Pinangki
Panelis meminta tanggapan calon hakim agung Aviantara terkait penilaian publik soal hakim menjadi juru sunat perkara dalam kasus terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra dan jaksa nonaktif Pinangki Sirna Malasari. Djoko Tjandra mendapatkan pemotongan hukuman 1 tahun penjara, dari 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun. Sementara itu, hukuman Pinangki dipangkas dari 10 menjadi empat tahun penjara.
"Saya lebih condong menekankan pada memberikan pelayanan yang berkeadilan pada pencari keadilan," jawab Aviantara.
Aviantara menyebut terkait kode etik, hakim tidak boleh mengintervensi perkara yang ditangani hakim lain. Dia hanya berpesan dalam menangani perkara, hakim harus berpedoman pada hukum.
"Kita tunjukkan, kita yang jadi contoh bahwa kita melakukan suatu pemeriksaan di persidangan itu murni bahwa ini adalah hukum. Tidak ada pengaruh dari pihak-pihak yang lain," ujar Aviantara.
5. Pelanggaran atasi pandemi
Calon hakim agung Artha Theresia Silalahi mendapat pertanyaan soal penanganan pandemi covid-19 di Indonesia. Salah satunya soal bisa tidaknya pemerintah dicap sebagai pelanggar HAM berat jika gagal mengatasi pandemi covid-19 di Tanah Air.
Menurut Artha, pemerintah tidak bisa dicap sebagai pelanggaran HAM berat jika gagal menangani pandemi covid-19. Pasalnya, hak kesehatan yang tidak terpenuhi bukan bentuk kejahatan HAM berat.
"Kejahatan HAM berat itu kalau saya tidak salah ada empat kejahatan, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan terhadap perang, dan agresi," kata Artha.
Pemerintah dianggap sudah berupaya semaksimal mungkin mengurangi angka penyebaran covid-19 di Tanah Air. Dia menilai berlebihan jika pemerintah dianggap melanggar HAM berat. Dia menyebut ada dua kualifikasi pelanggaran HAM berat.
"(Pertama) jika jumlah korban luar biasa dan adanya niat yang disengaja untuk menyebabkan kegagalan itu," jelas dia.
Jakarta: Komisi Yudisisal (KY) menyelenggarakan seleksi wawancara terbuka terhadap 24 calon
hakim agung yang terbagi dalam kamar pidana dan perdata selama 3-7 Agustus 2021. Sebanyak lima calon hakim agung kamar pidana sudah selesai menjalani seleksi wawancara.
Sebanyak sembilan panelis yang terdiri dari tujuh anggota KY, satu negarawan, dan satu pakar
hukum menguji calon hakim agung. Panelis menggali pendapat calon hakim agung soal hukuman pidana mati, diskon vonis jaksa nonaktif Pinangki Sirna Malasari, hingga pelanggaran jika pemerintah gagal mengatasi pandemi covid-19.
1. Hukuman mati
Salah satu calon hakim agung, Suradi, mendapatkan pertanyaan terkait hukuman pidana mati terhadap masyarakat Indonesia. Suradi menilai hukuman pidana mati legal di Indonesia.
"Beberapa perkara, terutama perkara narkotika, juga pernah dijatuhi hukuman pidana mati," kata Suradi dalam seleksi wawancara terbuka.
Dia mengakui hukuman menuai pro dan kontra hampir di seluruh dunia. Bahkan, sejumlah negara sudah menghapuskan hukuman pidana mati dalam perundang-undangannya.
"Namun, menurut hemat saya, pidana mati ini masih diperlukan, begitu juga dalam konsep KUHP memang masih diperlukan," ujar Suradi.
Baca:
24 Calon Hakim Agung 2021 Masuk Seleksi Wawancara
Dia hanya menyarankan hukuman pidana mati diberikan dalam keadaan khusus. Salah satu alasannya, yakni untuk melindungi masyarakat.
"Tanggung jawab negara melindungi masyarakat terhadap hak-hak yang paling mendasar, yaitu hak asasi manusia (HAM). Jangan sampai banyak nyawa yang terbunuh," ungkap Suradi.
2. Kasus Prita Mulyasari
Panelis juga mempertanyakan Suradi soal kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional yang menyeret seorang ibu, Prita Mulyasari, pada 2009. Prita yang mengidap penyakit beguk didiagnosis salah menjadi demam berdarah dengue (DBD). Suradi menilai kasus itu bukan pidana, melainkan perdata.
"Dari aspek keperdataan lebih besar keperdataan," kata Suradi.
Kenyataannya, kasus itu diproses pidana. Suradi mengaku sebagai hakim agung, dia akan menyelidiki terlebih dahulu memenuhi tidaknya unsur pidana.