Ilustrasi: Medcom.id
Ilustrasi: Medcom.id

Calon Hakim Agung Dicecar Soal Hukuman Mati Hingga Vonis Pinangki

Siti Yona Hukmana • 04 Agustus 2021 14:35

"Atau hanya sebatas mempertahankan hak. Kalau masalah hak, itu masalah murni keperdataan. Tapi, kalau menyangkut pencemaran nama baik itu adalah perbuatan lain, bukan perbuatan yang dalam arti haknya," ungkap Suradi. 
 
Dia mengaku siap melanjutkan ke tahap persidangan jika dakwaan memenuhi unsur pencemaran nama baik. Namun, Suradi mengatakan Prita harus dibebaskan apabila dalam putusan persidangan tidak terbukti melakukan pencemaran nama baik.
 
"Atau perbuatannya memang ada, tapi perbuatan itu bukan pidana mestinya dilanjutkan perdata.  Tujuan utamanya dia mencemarkan nama baik itu dalam arti kesengajaan atau tidak atau hanya semata-mata mempertahankan hak, artinya yang diperkuat hukum perdatanya," jelas Suradi.

3. OTT aparat peradilan


Calon hakim agung Jupriyadi menerima pertanyaan dari panelis terkait banyaknya aparat peradilan terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jupriyadi menilai hal itu terjadi karena kurangnya integritas aparat pengadilan. 

"Para aparat badan peradilan masih mudah tergoda oleh iming-iming dan lain sebagainya sehingga kita kena OTT. Namanya OTT kan memang sudah diselidik sedemikian rupa dan itu jarang yang lepas dari bidikan hukum," ujar Jupriyadi.

4. Diskon vonis Pinangki


Panelis meminta tanggapan calon hakim agung Aviantara terkait penilaian publik soal hakim menjadi juru sunat perkara dalam kasus terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra dan jaksa nonaktif Pinangki Sirna Malasari. Djoko Tjandra mendapatkan pemotongan hukuman 1 tahun penjara, dari 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun. Sementara itu, hukuman Pinangki dipangkas dari 10 menjadi empat tahun penjara. 
 
"Saya lebih condong menekankan pada memberikan pelayanan yang berkeadilan pada pencari keadilan," jawab Aviantara.  
 
Aviantara menyebut terkait kode etik, hakim tidak boleh mengintervensi perkara yang ditangani hakim lain. Dia hanya berpesan dalam menangani perkara, hakim harus berpedoman pada hukum.
 
"Kita tunjukkan, kita yang jadi contoh bahwa kita melakukan suatu pemeriksaan di persidangan itu murni bahwa ini adalah hukum. Tidak ada pengaruh dari pihak-pihak yang lain," ujar Aviantara.

5. Pelanggaran atasi pandemi


Calon hakim agung Artha Theresia Silalahi mendapat pertanyaan soal penanganan pandemi covid-19 di Indonesia. Salah satunya soal bisa tidaknya pemerintah dicap sebagai pelanggar HAM berat jika gagal mengatasi pandemi covid-19 di Tanah Air. 
 
Menurut Artha, pemerintah tidak bisa dicap sebagai pelanggaran HAM berat jika gagal menangani pandemi covid-19. Pasalnya, hak kesehatan yang tidak terpenuhi bukan bentuk kejahatan HAM berat. 
 
"Kejahatan HAM berat itu kalau saya tidak salah ada empat kejahatan, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan terhadap perang, dan agresi," kata Artha. 
 
Pemerintah dianggap sudah berupaya semaksimal mungkin mengurangi angka penyebaran covid-19 di Tanah Air. Dia menilai berlebihan jika pemerintah dianggap melanggar HAM berat. Dia menyebut ada dua kualifikasi pelanggaran HAM berat. 
 
"(Pertama) jika jumlah korban luar biasa dan adanya niat yang disengaja untuk menyebabkan kegagalan itu," jelas dia. 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(OGI)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan