Jakarta: Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto menemukan ada sejumlah aturan yang dilanggar Polri dalam kasus tewasnya Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat (J). Salah satunya, penggunaan senjata api jenis Glock-17 oleh ajudan Irjen Ferdy Sambo, Bhayangkara Dua (Bharada) E.
"Menurut saya pasti tidak sesuai dengan peraturan dasar kepolisian. Dalam peraturan dasar kepolisian, tamtama penjagaan hanya diperbolehkan membawa senjata api (laras panjang) ditambah sangkur," kata Bambang saat dikonfirmasi, Jumat, 29 Juli 2022.
Bambang mengatakan pemberian rekomendasi penggunaan senjata api harus disesuaikan dengan peran dan fungsi tugasnya. Dia mempertanyakan peran Bharada E selama melekat dengan Kadiv Propam Polri nonaktif Irjen Ferdy Sambo.
"Penjagaan yang ditugaskan menjaga rumah dinas, sopir atau ajudan? Kalau penjaga tentu diperbolehkan membawa senjata api laras panjang plus sangkur atau sesuai ketentuan. Kalau driver buat apa senjata api melekat apalagi jenis otomatis seperti glock," ungkap Bambang.
Dia juga mempertanyakan pangkat seorang ajudan perwira tinggi (pati) Polri, yakni cukup minimal level tamtama. Kemudian, pentingnya ajudan membawa senjata api otomatis seperti Glock-17.
"Petunjuk pelaksanaan terkait ini penting agar tidak terjadi penyalahgunaan," ujar dia.
Namun, Bambang mengaku belum menemukan detail aturan terkait pengggunaan senjata api dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2022. Seperti jenis apa, untuk siapa, dan aturan pengawasannya.
"Makanya ini juga harus menjadi bahan evaluasi agar ke depan tidak muncul lagi insiden-insiden senpi personel yang bisa menimbulkan korban kematian," ucap peneliti dari Institute for Security of Strategic Studies (ISESS) itu.
Prarekonstruksi tak ada dalam SK Kapolri
Bambang melanjutkan Polri juga melanggar aturan terkait pelaksanaan pra rekonstruksi. Menurut dia, istilah pra rekonstruksi tidak ada dalam Surat Keputusan (SK) Kapolri Nomor 1205 Tahun 2000.
"Pra rekonstruksi kemarin saksi dan tersangkanya siapa?" kata Bambang.
Bambang menjelaskan dalam Bab III angka 8.3 di SK Kapolri Nomor1205 Tahun 2000 diatur bahwa metode pemeriksaan dapat menggunakan teknik interview, interogasi, konfrontasi, dan rekonstruksi. "Berdasarkan ketentuan di atas, rekonstruksi merupakan salah satu teknik dalam metode pemeriksaan yang dilaksanakan penyidik dalam proses penyidikan," ungkap dia.
Selain itu, kata Bambang, rekonstruksi juga diatur dalam Pasal 24 ayat (3) Perkap Nomor 6 Tahun 2019. Peraturan itu secara lengkap menyatakan dalam hal menguji persesuaian keterangan para saksi atau tersangka, penyidik/penyidik pembantu dapat melakukan rekonstruksi.
Meski begitu, dia tetap mengapresiasi langkah yang diambil Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam mengungkap kasus tewasnya Brigadir J. Meski, kata dia, agak terlambat dan seolah menunggu desakan publik.
"Ke depan harapannya bukan hanya penonaktifan Kadiv Propam, tetapi juga semua jajaran yang terlibat dalam upaya menutup-nutupi kasus ini hingga tiga hari baru diungkap kepada publik," ucap Bambang.
Menurut dia, kehebohan yang terjadi saat ini asalnya dari langkah-langkah, tindakan dan pernyataan-pernyataan yang disampaikan Polri sendiri. Mulai pengambilan CCTV, olah tempat kejadian perkara (TKP) yang melanggar Perkap Nomor 8 Tahun 2009, menunda pengumuman kepada publik, mengalihkan isu dari penembakan menjadi pelecehan seksual, tidak menghadirkan tersangka penembakan dan kejanggalan-kejanggalan yang tidak diterima nalar publik.
"Yang semua itu bermuara pada ketidakpercayaan pada institusi Polri. Itu beberapa Peraturan Kapolri yang dilanggar," tutur dia.
Jakarta: Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto menemukan ada sejumlah aturan yang dilanggar
Polri dalam kasus tewasnya Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat (J). Salah satunya, penggunaan senjata api jenis Glock-17 oleh ajudan Irjen Ferdy Sambo, Bhayangkara Dua (Bharada) E.
"Menurut saya pasti tidak sesuai dengan peraturan dasar kepolisian. Dalam peraturan dasar kepolisian, tamtama penjagaan hanya diperbolehkan membawa senjata api (laras panjang) ditambah sangkur," kata Bambang saat dikonfirmasi, Jumat, 29 Juli 2022.
Bambang mengatakan pemberian rekomendasi penggunaan senjata api harus disesuaikan dengan peran dan fungsi tugasnya. Dia mempertanyakan peran Bharada E selama melekat dengan Kadiv Propam
Polri nonaktif Irjen Ferdy Sambo.
"Penjagaan yang ditugaskan menjaga rumah dinas, sopir atau ajudan? Kalau penjaga tentu diperbolehkan membawa senjata api laras panjang plus sangkur atau sesuai ketentuan. Kalau
driver buat apa senjata api melekat apalagi jenis otomatis seperti glock," ungkap Bambang.
Dia juga mempertanyakan pangkat seorang ajudan perwira tinggi (pati) Polri, yakni cukup minimal level tamtama. Kemudian, pentingnya ajudan membawa senjata api otomatis seperti Glock-17.
"Petunjuk pelaksanaan terkait ini penting agar tidak terjadi penyalahgunaan," ujar dia.
Namun, Bambang mengaku belum menemukan detail aturan terkait pengggunaan senjata api dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2022. Seperti jenis apa, untuk siapa, dan aturan pengawasannya.
"Makanya ini juga harus menjadi bahan evaluasi agar ke depan tidak muncul lagi insiden-insiden senpi personel yang bisa menimbulkan korban kematian," ucap peneliti dari Institute for Security of Strategic Studies (ISESS) itu.
Prarekonstruksi tak ada dalam SK Kapolri
Bambang melanjutkan Polri juga melanggar aturan terkait pelaksanaan pra rekonstruksi. Menurut dia, istilah pra rekonstruksi tidak ada dalam Surat Keputusan (SK) Kapolri Nomor 1205 Tahun 2000.
"Pra rekonstruksi kemarin saksi dan tersangkanya siapa?" kata Bambang.
Bambang menjelaskan dalam Bab III angka 8.3 di SK Kapolri Nomor1205 Tahun 2000 diatur bahwa metode pemeriksaan dapat menggunakan teknik
interview, interogasi, konfrontasi, dan rekonstruksi. "Berdasarkan ketentuan di atas, rekonstruksi merupakan salah satu teknik dalam metode pemeriksaan yang dilaksanakan penyidik dalam proses penyidikan," ungkap dia.
Selain itu, kata Bambang, rekonstruksi juga diatur dalam Pasal 24 ayat (3) Perkap Nomor 6 Tahun 2019. Peraturan itu secara lengkap menyatakan dalam hal menguji persesuaian keterangan para saksi atau tersangka, penyidik/penyidik pembantu dapat melakukan rekonstruksi.
Meski begitu, dia tetap mengapresiasi langkah yang diambil Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam mengungkap kasus tewasnya Brigadir J. Meski, kata dia, agak terlambat dan seolah menunggu desakan publik.
"Ke depan harapannya bukan hanya penonaktifan Kadiv Propam, tetapi juga semua jajaran yang terlibat dalam upaya menutup-nutupi kasus ini hingga tiga hari baru diungkap kepada publik," ucap Bambang.
Menurut dia, kehebohan yang terjadi saat ini asalnya dari langkah-langkah, tindakan dan pernyataan-pernyataan yang disampaikan Polri sendiri. Mulai pengambilan CCTV, olah tempat kejadian perkara (TKP) yang melanggar Perkap Nomor 8 Tahun 2009, menunda pengumuman kepada publik, mengalihkan isu dari
penembakan menjadi pelecehan seksual, tidak menghadirkan tersangka penembakan dan kejanggalan-kejanggalan yang tidak diterima nalar publik.
"Yang semua itu bermuara pada ketidakpercayaan pada institusi Polri. Itu beberapa Peraturan Kapolri yang dilanggar," tutur dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)