Jakarta: Tim Jaksa Penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa Kepala Kantor Pertanahan Kota Depok SA terkait kasus dugaan korupsi pembelian bidang tanah yang dilakukan PT Adhi Persada Realti (APR) pada 2012-2013. Pemeriksaan guna membuat terang perkara.
"SA diperiksa untuk menerangkan pemilikan tanah PT Adhi Persada Realti di Limo Depok yang tercatat di Kantor Pertanahan hanya sebesar 1,2 hektare sebagaimana di dalam sertifkat HGB (Hak Guna Bangunan) Nomor 5316 atas nama PT Adhi Persada Realti seluas 12.595 M²," kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangan tertulis, Senin, 4 Juli 2022.
Ketut mengatakan selain objek tanah tersebut, PT Adhi Persada Realti pernah mengajukan dua permohonan untuk memperoleh HGB untuk tanah adat seluas 76.752 M² dan 18.450 M² pada 2012. Permohonan tersebut dikembalikan oleh Kantor Pertanahan Kota Depok.
"Lalu kemudian diterbitkan berita acara pembatalan berkas permohonan karena terdapat tanah yang belum clean and clear akibat adanya surat penolakan dari pihak-pihak lain yang mengaku sebagai pemilik tanah terhadap proses penerbitan SHGB yang diajukan oleh PT Adhi Persada Realti yang diterima Kantor Pertanahan Kota Depok," ungkap Ketut.
Selain SA, Kejagung juga memeriksa LMLBR selaku Direktur Utama PT Megapolitan Development, Tbk. Dia diperiksa untuk menerangkan menyangkut kepemilikan tanah Kelurahan Limo (Blok Kramat) dan mengeklaim bahwa tanah Blok Kramat tersebut adalah milik PT Megapolitan yang dibeli oleh almarhum suaminya (SBR).
"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan," ujar Ketut.
Kasus berawal saat anak usaha PT Adhi Karya (Persero) Tbk membeli tanah seluas 20 hektare di Kelurahan Limo, Kecamatan Limo, dan Kelurahan Cinere, Kecamatan Cinere, Kota Depok dari PT Cahaya Inti Cemerlang pada 2012. Pembelian tanah tersebut untuk membangun perumahan atau apartemen.
Tanah yang dibeli PT APR itu ternyata tidak memiliki akses ke jalan umum dan harus melewati tanah milik PT Megapolitan. Bahkan, berdasarkan data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Depok, masih ada bagian tanah yang tercatat dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama PT Megapolitan yaitu SHM nomor 46 dan 47 atas nama Sujono Barak Rimba.
Dalam perjalanannya, PT APR telah menyetorkan uang pembelian lahan yang masih belum jelas sertifikatnya kepada PT Cahaya Inti Cemerlang. Pembayaran itu dilakukan melalui rekening notaris dan diteruskan ke rekening pribadi Direktur Utama dan Direktur Keuangan PT Cahaya Inti Cemerlang dan dana operasional.
PT APR mendapatkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 5316 atas nama PT APR seluas 1,2 hektare setelah melakukan pembayaran untuk seluruh lahan yang dibeli. Sementara itu, sisanya 18,8 hektare masih dalam penguasaan orang lain.
"Ini namanya bermasalah ini," kata Ketut di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu, 15 Juni 2022.
Ketut menilai sebagai anak usaha perusahaan pelat merah, PT APR tidak perlu membayar seluruh uang yang disepakati sebelum sertifikatnya jelas. Sebab, PT APR memiliki standar operasional prosedur (SOP) pertanggungjawaban dalam setiap pengadaan.
"Ada perjanjian, ada sertifikat hak milik jelas kepemilikannya, nah kalau dia tahu tidak jelas, kenapa dibayar? Kan itu permasalahannya," ujar Ketut.
Kejagung masih menyidik kasus tersebut. Belum ada penetapan tersangka. Kerugian negara juga masih dihitung. Namun, diduga mencapai puluhan miliar rupiah.
Jakarta: Tim Jaksa Penyidik Kejaksaan Agung (
Kejagung) memeriksa Kepala Kantor Pertanahan Kota Depok SA terkait kasus dugaan korupsi pembelian bidang
tanah yang dilakukan PT
Adhi Persada Realti (APR) pada 2012-2013. Pemeriksaan guna membuat terang perkara.
"SA diperiksa untuk menerangkan pemilikan tanah PT Adhi Persada Realti di Limo Depok yang tercatat di Kantor Pertanahan hanya sebesar 1,2 hektare sebagaimana di dalam sertifkat HGB (Hak Guna Bangunan) Nomor 5316 atas nama PT Adhi Persada Realti seluas 12.595 M²," kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangan tertulis, Senin, 4 Juli 2022.
Ketut mengatakan selain objek tanah tersebut, PT Adhi Persada Realti pernah mengajukan dua permohonan untuk memperoleh HGB untuk tanah adat seluas 76.752 M² dan 18.450 M² pada 2012. Permohonan tersebut dikembalikan oleh Kantor Pertanahan Kota Depok.
"Lalu kemudian diterbitkan berita acara pembatalan berkas permohonan karena terdapat tanah yang belum clean and clear akibat adanya surat penolakan dari pihak-pihak lain yang mengaku sebagai pemilik tanah terhadap proses penerbitan SHGB yang diajukan oleh PT Adhi Persada Realti yang diterima Kantor Pertanahan Kota Depok," ungkap Ketut.
Selain SA, Kejagung juga memeriksa LMLBR selaku Direktur Utama PT Megapolitan Development, Tbk. Dia diperiksa untuk menerangkan menyangkut kepemilikan tanah Kelurahan Limo (Blok Kramat) dan mengeklaim bahwa tanah Blok Kramat tersebut adalah milik PT Megapolitan yang dibeli oleh almarhum suaminya (SBR).
"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan," ujar Ketut.
Kasus berawal saat anak usaha PT Adhi Karya (Persero) Tbk membeli tanah seluas 20 hektare di Kelurahan Limo, Kecamatan Limo, dan Kelurahan Cinere, Kecamatan Cinere, Kota Depok dari PT Cahaya Inti Cemerlang pada 2012. Pembelian tanah tersebut untuk membangun perumahan atau apartemen.
Tanah yang dibeli PT APR itu ternyata tidak memiliki akses ke jalan umum dan harus melewati tanah milik PT Megapolitan. Bahkan, berdasarkan data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Depok, masih ada bagian tanah yang tercatat dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama PT Megapolitan yaitu SHM nomor 46 dan 47 atas nama Sujono Barak Rimba.