Pakar tindak pidana pencucian uang (TPPU) Yenti Garnasih. Foto: MI/M Irfan
Pakar tindak pidana pencucian uang (TPPU) Yenti Garnasih. Foto: MI/M Irfan

Pakar TPPU: Hati-hati Bekukan SRE WanaArtha

Antara • 28 Oktober 2020 23:08
Jakarta: Pakar tindak pidana pencucian uang (TPPU) Yenti Garnasih meminta penyidik Kejaksaan Agung berhati-hati membekukan sub-rekening efek (SRE) perusahaan asuransi jiwa WanaArtha Life. Pembekuan dilakukan karena rekening Wanaartha diduga terkait dengan terdakwa kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Benny Tjokrosaputro.
 
"Apalagi penyitaan di perusahaan, seharusnya penyidik hati-hati. Kalau semuanya, bisa jadi kolaps, bisa ada pemutusan hubungan kerja. Memang, kalau TPPU harus lebih hati-hati dibanding kasus korupsi. Ada transaksi tanggal sekian sampai tanggal sekian, pada tahun itu, ya itu saja yang dibekukan," kata Yenti, Rabu, 28 Oktober 2020.
 
Yenti menilai penegak hukum harus memberi status yang jelas kepada pihak ketiga dalam SRE WanaArtha. Penyidik tidak bisa menyita bahkan membekukan dana nasabah yang tertautkan dengan SRE tersebut jika memang tidak ada kaitan dengan kasus korupsi yang dilakukan Benny.

"Sepengetahuan saya, WanaArtha sempat keberatan soal pembekuan rekening mereka karena ada uang nasabah dan uang WanaArta sendiri. Nah, kalau memang ada uang Benny di sana, ya uang dia saja yang dibekukan (oleh kejaksaan)," kata mantan ketua panitia seleksi pimpinan KPK itu.
 
Yenti menambahkan, jika seandainya penyidik punya bukti bahwa uang hasil kejahatan Benny dimasukkan ke SRE WanaArtha, maka harus ditelusuri, diblokir, atau dibekukan dengan nominal yang sesuai. Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) itu berpendapat apabila uang yang ditelusuri bercampur dengan uang yang sah, sebenarnya di industri keuangan bisa dihitung.
 
"Harus sesuai dengan jumlahnya itu, termasuk bunganya misalnya. Jadi, harus melindungi juga pihak ketiga yang beriktikad baik dan mendukung penegakan hukum. Ini yang juga menjadi pelajaran," kata Yenti.
 
Yenti juga heran dengan isi tuntutan jaksa dalam kasus Jiwasraya. Dalam kasus itu, Benny dituntut hukuman penjara seumur hidup dan denda Rp5 miliar subsider satu tahun kurungan. Selain itu, JPU menuntut majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp6,078 triliun.
 
"Sudah ada denda Rp5 miliar, lalu ada pidana tambahan Rp6 triliun, itu kenapa ada subsidernya? Sementara pidana tambahannya sudah Rp6 triliun. Apakah jaksa takut vonis hakim tidak seumur hidup atau bagaimana? Ini seperti semena-mena juga," kata dia.
 
Hal senada juga dikemukakan pengamat pasar modal Hans Kwee. Hans mengatakan bahwa memang tujuan penyitaan dan pembekuan rekening yang dilakukan Kejagung dapat dipahami, yaitu untuk mengamankan pengembalian kerugian negara akibat kasus Jiwasraya. Tapi, bukan berarti semua dana dalam rekening, di luar jumlah kerugian negara, juga ikut dibekukan.
 
 

Ia mengatakan seharusnya tak semua orang menjadi korban dan dilibatkan dengan kasus yang terjadi. Apalagi jika hanya karena membeli saham yang kebetulan sama dengan yang dimiliki Jiwasraya atau dimainkan grup tertentu.
 
"Mereka kan tidak terlibat itu. Sehingga bisa beroperasi kembali dengan normal. Jika ternyata memang mereka terlibat konspirasi dan merugikan negara, maka harus ditegakkan secara hukum, dibuktikan mereka terlibat dan dihukum," kata Hans.
 
Ia menyesalkan penyelesaian kasus itu dibuat berlarut sehingga terjadi pembekuan rekening. Karena jika dibuka sekarang, WanaArtha Life punya masalah tersendiri karena nilai investasinya sudah turun.
 
"Belum lagi gara-gara kasus ini kepercayaan mereka turun. Sebaiknya segera dirapikan. Rekening yang dibekukan banyak loh. Ya, mereka juga dirugikan. Jadi kalau sudah selesai, lebih baik blokirnya dibuka saja,” ujar Hans.
 
Baca: Komisi Kejaksaan Pertanyakan Pemblokiran Rekening Benny di WanaArtha
 
Sebanyak 13 SRE dan 42 investor fund unit account (IFUA) WanaArtha mulai diblokir Kustodian Sentra Efek Indonesia (KSEI) mulai 21 Januari 2020. Pemblokiran dilakukan atas instruksi Otoritas Jasa Keuangan yang diminta oleh Kejaksaan Agung.
 
Jika dihitung, nilai efek yang diblokir KSEI waktu itu sekitar Rp3 triliun. Terdiri atas nilai aset investasi WanaArtha di saham sebesar Rp1,44 triliun dan di reksadana sebesar Rp1,54 triliun. Sedangkan informasi lain menyebutkan, ada Rp4,1 triliun dana di rekening WanaArtha saat dibekukan.
 
Karena pemblokiran itu, WanaArtha kesulitan membayar manfaat klaim pemegang polis. Kemudian mulai gagal bayar pada bulan-bulan berikutnya. Pemegang polis WanaArtha tercatat sebanyak 26 ribu polis, terdiri atas produk dwiguna dan unit link.
 
Di persidangan kasus Jiwasraya, terdakwa Benny Tjokrosaputro mengaku tak berkaitan dengan WanaArtha. Pengaitan namanya dengan WanaArtha, dengan adanya penyebutan nominee, dinilai tidak tepat.
 
 

Terhadap pernyataan itu, Komisi Kejaksaan (Komjak) juga mengamati. Ketua Komjak Barita Simanjuntak menilai jaksa harus membuktikan sesuai dengan tuntutannya, termasuk apakah uang negara milik Jiwasraya atau uang siapa.
 
Kejagung menegaskan pemblokiran SRE Benny di WanaArtha bukan menjadi penyebab utama gagal bayar yang dialami asuransi itu. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung Ali Mukartono menjelaskan sesungguhnya WanaArtha telah mengalami gagal bayar sejak Oktober 2019. Atau sebelum pihak Kejagung melakukan pemblokiran rekening efek milik Benny Tjokro terkait kasus Jiwasraya.
 
"Jangan sampai gagal bayarnya di sana kemudian digeser-geser menjadi tanggung jawab kejaksaan, karena kejaksaan baru melakukan penyidikan perkara ini (Jiwasraya) di akhir Desember 2019. Ini kita harapkan kejujuran dari pihak direksi WanaArtha," kata Ali, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Jumat, 25 September 2020.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan