Jakarta: Surat Keputusan (SK) Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terkait kepemilikan tanah PT Salve Veritate atas nama Benny Tabalujan dipertanyakan. Menteri ATR/Kepala BPN dianggap tak menghormati proses peradilan tanah sengketa yang masih berjalan.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai Sofyan dan pejabat kementerian seharusnya menunggu sengketa selesai diputus hakim. Jika tidak, pejabat yang mengeluarkan aturan berpotensi dipidana.
"Pejabat yang mengeluarkan SK itu bisa dipidana agar jadi pelajaran bagi pejabat publik lainnya. Mestinya menghormati peradilan,” ujar Abdul Fickar dilansir dari Media Indonesia, Jumat, 10 Desember 2021.
Fickar menilai rumitnya birokrasi pertanahan dan agraria, khususnya pendataan sertifikat pendaftaran tanah, jadi penyebab.
Harus menunggu inkrah
Pakar hukum tata negara Juanda menilai BPN semestinya menunggu kasus sengketa tanah di pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkrah) sebelum mengeluarkan keputusan terkait tanah berperkara. Penerbitan keputusan sebelum keluarnya keputusan akhir berpotensi menimbulkan masalah baru.
“Seharusnya, kalau satu satu objek sengketa bergulir di pengadilan tidak mengeluarkan satu perbuatan hukum. Apapun ditunda sampai ada kepastian hukum atau ditunda sampai putusan itu yang mempunyai kekuatan hukum tetap,” tutur Juanda.
Baca: Bank Tanah Siap Jawab Permasalahan Ini
Juanda mendesak BPN memperbaiki persoalan tanah yang menerbitkan sertifikat atas objek yang disengketakan. Hal senada juga dilontarkan mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
Saut heran Menteri ATR/BPN tak memantau suatu sengketa hukum objek tanah sebelum mengeluarkan sertifikat sebelum ada putusan inkrah. Dia menilai Kementerian ATR/BPN harus berhati-hati dan seksama sebelum mengeluarkan aturan.
“Mana ada sengketa tanah bisa selesai dengan adil kalau dilakukan dengan cara-cara tidak dengan proses hukum prudent,” kata Saut.
Ilustrasi sidang terdakwa kasus sengketa tanah di Cakung, Jakarta Timur, Paryoto. Dok. Istimewa
Masalah menahun
Saut menyebut persoalan penerbitan perizinan dan sertifikat agraria memang menjadi persoalan penyelenggara negara dan penegak hukum dari tahun ke tahun. Apalagi, ribuan surat masuk ke aparat penegak hukum terkait dugaan penyimpangan seputar izin pertanahan.
Persoalan ini tidak hanya terkait kinerja penyelenggara negara. Substansi birokrasi harus ditangani dengan baik. Jika tidak, mafia tanah atau masalah hukum terkait agraria bakal menjadi isu yang tak bakal kelar.
Baca: Pemerintah Diminta Tak Gentar Hadapi Mafia Tanah
Di kesempatan terpisah, Wakil Ketua KPK Nurul Gufron menyatakan Lembaga Antirasuah siap berkolaborasi untuk memberantas isu mafia tanah. Sebab, potensi rasuah di perizinan agraria tak bisa dipungkiri.
"Sebab mungkin saja kasus mafia tanah ini ada unsur korupsinya, mungkin saja tidak ada," terangnya.
Contoh kasus
Kasus PT Salve Veritate ini bermula saat Maman Suherman mengadu ke Propam Mabes Polri dan meminta perlindungan hukum. Ia merasa diperlakukan dengan tidak adil oleh penyidik Bareskrim Polri. Ia dilaporkan atas tudingan pemalsuan surat atau akta autentik dan turut serta.
Maman kebingungan saat dilaporkan ke polisi hanya karena mengantar petugas BPN dan pemilik tanah melakukan pengukuran. “Saya hanya mengantar dan menjadi saksi, tidak tau apa-apa malah dilaporkan ke polisi begini,” ujar Maman.
Seingat Maman, dirinya ditawari pekerjaan oleh temannya untuk mengantar dan menyaksikan pengukuran tanah di Cakung, Jakarta Timur, pada 2018 . Saat itu, ia bersedia karena akan mendapat honor mengantar.
Maman merasa ada pihak yang menzaliminya, karena dianggap terlibat pemalsuan surat tanah. Ia mengaku tidak pernah sama sekali melihat surat baik girik, apalagi sertifikat tanah. Ia berharap polisi lebih objektif menangani kasus tersebut.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Andi Rian Djajadi, ogah berbicara banyak terkait laporan Maman Suherman ke Divisi Propam Polri. “Bukan tugas saya menanggapi (laporan Maman ke Divisi Propam),” kata Andi.
Namun, Andi tidak menampik penyidik Subdit II Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim telah menetapkan Maman Suherman sebagai tersangka kasus tersebut. Hanya saja, Andi tidak mau mengungkap siapa yang melaporkan Maman dalam kasus ini.
“Iya betul (tetapkan Maman jadi tersangka). Tunggu waktu rilis saja, karena yang bersangkutan tidak sendiri,” ujar Andi.
Baca: Jadi Korban Mafia Tanah, Kakek Tukang AC Mengadu ke Kapolda Metro
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) menyatakan mantan juru ukur BPN Jakarta Timur Paryoto dinyatakan setelah divonis Pengadilan Negeri Jakarta Timur bebas. MA menyatakan Paryoto terlibat dalam kasus pemalsuan sertifikat di Cakung yang juga menyeret pemilik PT Salve, Achmad Djufri, dan Benny Tabalujan.
Djufri dan Benny saat ini masih dalam status DPO dan disebut berada di luar negeri. Polda Metro Jaya menetapkan keduanya sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemalsuan akta autentik tanah.
Kemudian, belakangan Paryoto juga terlibat dalam kasus ini. Kasus itu bermula dari laporan polisi yang diterima pada 2018 lalu. Laporan itu terdaftar dengan Nomor: LP/5471/X/2018/PMJ/Ditreskrim, tanggal 10 Oktober 2018.
Belakangan, Abdul Halim dan Maman dilaporkan ke Bareskrim Polri atas dugaan pemalsuan pada 28 Oktober 2020, oleh RA, dengan laporan nomor LP/B/0613/X/2020. Kasus ini tak kunjung kelar walau telah berjalan bertahun-tahun.
Jakarta: Surat Keputusan (SK) Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (
ATR/BPN) terkait kepemilikan tanah PT Salve Veritate atas nama Benny Tabalujan dipertanyakan. Menteri ATR/Kepala BPN dianggap tak menghormati proses peradilan tanah
sengketa yang masih berjalan.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai Sofyan dan pejabat kementerian seharusnya menunggu sengketa selesai diputus hakim. Jika tidak, pejabat yang mengeluarkan aturan berpotensi dipidana.
"Pejabat yang mengeluarkan SK itu bisa dipidana agar jadi pelajaran bagi pejabat publik lainnya. Mestinya menghormati peradilan,” ujar Abdul Fickar dilansir dari
Media Indonesia, Jumat, 10 Desember 2021.
Fickar menilai rumitnya birokrasi pertanahan dan agraria, khususnya pendataan sertifikat pendaftaran tanah, jadi penyebab.
Harus menunggu inkrah
Pakar hukum tata negara Juanda menilai
BPN semestinya menunggu kasus sengketa tanah di pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkrah) sebelum mengeluarkan keputusan terkait tanah berperkara. Penerbitan keputusan sebelum keluarnya keputusan akhir berpotensi menimbulkan masalah baru.
“Seharusnya, kalau satu satu objek sengketa bergulir di pengadilan tidak mengeluarkan satu perbuatan hukum. Apapun ditunda sampai ada kepastian hukum atau ditunda sampai putusan itu yang mempunyai kekuatan hukum tetap,” tutur Juanda.
Baca:
Bank Tanah Siap Jawab Permasalahan Ini
Juanda mendesak BPN memperbaiki persoalan tanah yang menerbitkan sertifikat atas objek yang disengketakan. Hal senada juga dilontarkan mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
Saut heran Menteri ATR/BPN tak memantau suatu sengketa hukum objek tanah sebelum mengeluarkan sertifikat sebelum ada putusan inkrah. Dia menilai Kementerian
ATR/BPN harus berhati-hati dan seksama sebelum mengeluarkan aturan.
“Mana ada sengketa tanah bisa selesai dengan adil kalau dilakukan dengan cara-cara tidak dengan proses hukum prudent,” kata Saut.
Ilustrasi sidang terdakwa kasus sengketa tanah di Cakung, Jakarta Timur, Paryoto. Dok. Istimewa
Masalah menahun
Saut menyebut persoalan penerbitan perizinan dan sertifikat agraria memang menjadi persoalan penyelenggara negara dan penegak hukum dari tahun ke tahun. Apalagi, ribuan surat masuk ke aparat penegak hukum terkait dugaan penyimpangan seputar izin pertanahan.
Persoalan ini tidak hanya terkait kinerja penyelenggara negara. Substansi birokrasi harus ditangani dengan baik. Jika tidak, mafia tanah atau masalah hukum terkait agraria bakal menjadi isu yang tak bakal kelar.
Baca:
Pemerintah Diminta Tak Gentar Hadapi Mafia Tanah
Di kesempatan terpisah, Wakil Ketua KPK Nurul Gufron menyatakan Lembaga Antirasuah siap berkolaborasi untuk memberantas isu
mafia tanah. Sebab, potensi rasuah di perizinan agraria tak bisa dipungkiri.
"Sebab mungkin saja kasus mafia tanah ini ada unsur korupsinya, mungkin saja tidak ada," terangnya.