Kaleidoskop 2020
Lingkaran Setan Klinik Aborsi Ilegal
Renatha Swasty • 29 Desember 2020 07:07
Jakarta: Praktik menggugurkan kandungan atau aborsi secara ilegal masih menjamur di Ibu Kota. Tahun ini saja, Polda Metro Jaya mengungkap tiga klinik yang membuka praktik aborsi ilegal.
Pelarangan aborsi sebetulnya diatur Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, undang-undang memberikan pengecualian.
Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 mengatur mereka yang dapat melakukan aborsi ialah adanya indikasi darurat kesehatan pada usia dini kehamilan yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin. Kemudian, janin menderita kelainan genetik berat.
Lalu, cacat bawaan yang tidak dapat disembuhkan sehingga sulit bagi janin untuk bertahan hidup di luar kandungan. Serta kehamilan akibat pemerkosaan yang menyebabkan trauma.
Meski begitu, aborsi legal juga diatur dalam aturan turunan. Aborsi hanya dapat dilakukan pada usia kehamilan paling lama 40 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT).
Sementara itu, pada korban pemerkosaan harus memiliki keterangan penyidik, psikolog, atau ahli lain. Mereka yang melanggar dapat dipidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar.
Ancaman hukuman yang tinggi rupanya tak membuat pelaku takut. Pelaku aborsi ilegal kambuhan.
Praktik klinik aborsi ilegal yang diungkap polisi pada September 2020 di Cempaka Putih, Jakarta Pusat pernah beroperasi pada 2002-2004 lalu tutup. Pengelola berinisial LA kembali membuka klinik pada 2017.
"Mereka (pelaku) belum pernah tertangkap dan mereka memang ada yang sudah lama, ada juga yang direkrut baru," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus di Jakarta, Kamis, 24 September 2020.
Hal serupa terjadi di klinik aborsi ilegal di Jalan Paseban Raya, Jakarta Pusat. Salah satu pelaku MM pernah terjerat kasus aborsi pada 2016. Saat itu, dia masuk daftar pencarian orang (DPO).
Kemudian, MM membuka klinik aborsi ilegal pada 2018. Dia menjalankan aksinya selama 21 bulan sebelum tertangkap Senin, 10 Februari 2020.
Penegakan hukum lemah
Ancaman hukuman bagi pelaku aborsi ilegal memang tinggi. Namun, praktik di lapangan pelaku justru dihukum ringan.
Misalnya, dr Edward Amando atau yang dikenal 'Raja Aborsi' hanya dihukum 1 tahun penjara terkait praktik aborsi ilegal. Dia membuka praktik sejak 1992 dan baru terbongkar pada 2007.
Selepas dari penjara, Edward kembali melanjutkan praktik itu. Dia kembali tertangkap pada 2011 setelah kasus Suparlina muncul di media.
Tumpang tindih aturan juga membikin masalah. KUHP mengatur sanksi pidana kejahatan aborsi dikenakan pada semua jenis aborsi. Padahal, UU Nomor 36 Tahun Tahun 2009 memperbolehkan aborsi dengan syarat.
Kurangnya pemahaman penegak hukum terkait aborsi juga membuat masyarakat memilih jalur ilegal. Koalisi Kesehatan Seksual dan Reproduksi Indonesia (KSRI) mencatat aparat penegak hukum kerap mengkriminalisasi perempuan sebagai pihak yang melakukan aborsi dan pendamping perempuan, pemberi informasi, dokter, bidan, ataupun perawat sebagai pemberi layanan.
"KSRI mencatat setidaknya terdapat delapan kasus berkaitan dengan aborsi yang dikriminalisasi oleh aparat penegak hukum selama Februari-Agustus 2020," dikutip dari Info Singkat Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR, Minggu, 27 Desember 2020.
Kurang pengawasan
Pemerintah daerah sebetulnya punya peran penting mencegah menjamurnya klinik aborsi ilegal. Sebagai pemberi izin, pemerintah daerah mestinya bisa mencium bila klinik melakukan praktik di luar semestinya.
Namun, petugas di lapangan juga kerap kecolongan. Mantan Wali Kota Jakarta Pusat Bayu Meghantara mengaku kecolongan terkait klinik aborsi ilegal di Paseban Raya, Senen, Jakarta Pusat. Padahal, lokasi itu sempat didata melalui aplikasi carik.
"Petugas dari Dasa Wisma (datang) karena memang petugas niatnya baik, ya didata saja apa yang ada di situ apa adanya. Padahal kita juga tidak lihat juga aktivitasnya," kata Bayu di Jakarta, Kamis, 20 Februari 2020.
Kepala Seksi Layanan Kesehatan Dasar Dinkes DKI Ratna mengaku hanya bisa mengawasi klinik-klinik yang terdaftar. Klinik akan terus diawasi secara berkala dan berjenjang mulai dari tingkat kecamatan oleh puskesmas dan Suku Dinas Kesehatan.
Pihaknya juga menerima laporan program kesehatan dari klinik atau fasilitas kesehatan untuk perbaikan ke depan. Untuk itu, diperlukan peran serta masyarakat melaporkan klinik-klinik yang tak berizin.
Menjamurnya iklan aborsi ilegal di internet juga membuat masyarakat lebih memilih jalur tak semestinya. Iming-iming harga murah membuat pasien mengorbankan nyawa.
Polda Metro Jaya mengaku telah bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk merazia iklan aborsi ilegal. Selain promosi dari mulut ke mulut, klinik juga berani memasarkan secara online.
"Ke depan kami koordinasi dengan Kominfo dan cyber crime untuk patroli," kata Yusri di Polda Metro Jaya, Kamis, 24 September 2020.
Ladang uang
Klinik aborsi ilegal bak bisnis menguntungkan. Pelaku bisa memperoleh pundi-pundi uang.
Klinik aborsi ilegal di Cempaka Putih misalnya, mengantongi Rp10 miliar sejak beroperasi pada 2017. Pasien dikenakan biaya Rp2,5 juta-Rp5 juta sekali menggugurkan janin.
Begitupula praktik aborsi ilegal dr. SWS di Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat. Penyidik menyita uang Rp881 juta saat menggerebek klinik.
Keuntungan menggiurkan itu juga membuat DK, dokter klinik aborsi ilegal di Cempaka Putih, meninggalkan co-assistant atau koas di salah satu rumah sakit di Sumatra Utara. Dia berhenti setelah menjalani koas dua bulan lantaran tawaran menjadi dokter aborsi.
"Setelah diambil keterangan memang faktornya itu ekonomi," kata Yusri di Polda Metro Jaya, Kamis, 24 September 2020.
Keuntungan DK cukup tinggi. Dia bisa menerima Rp5 juta dari melayani 5-10 pasien per hari.
Mirisnya, praktik ini didukung masyarakat. Yusri mengaku pengungkapkan klinik aborsi ilegal justru terhalang masyarakat.
"Satu yang menjadi permasalahan kita, tanya ke masyarakat di lokasi mereka selalu bilang tidak mendapat kerugian, ini yang menghambat, kadang ada yang dapat untung contoh berjualan," kata Yusri di Jakarta, Kamis, 3 September 2020.
Tak peduli kesehatan
Ketakutan masyarakat dijerat hukum dan sifat nekat boleh jadi salah satu masalah klinik aborsi ilegal kerap menjamur. Pasien rela melakukan aborsi tanpa pikir panjang masalah-masalah yang kemungkinan timbul.
Undang-undang menegaskan aborsi bisa dilakukan hanya oleh dokter/bidan yang berpengalaman. Nyatanya, praktik aborsi ilegal dilakukan oleh dokter/bidan yang tidak mempunyai izin melakukan aborsi.
Adapula dokter/bidan yang sudah lama tidak memiliki izin kedokteran/bidan. Aborsi mesti dilakukan oleh mereka yang mempunyai keahlian di bidang aborsi, fasilitas yang memenuhi persyaratan kebersihan, hingga peralatan yang sesuai.
Masalah kesehatan menanti mereka yang menggugurkan kandungan tidak semestinya. Seperti pendarahan berat, rusaknya kondisi rahim, gangguan sistem reproduksi, kamandulan, hingga paling parah kematian.
Kondisi itu pernah terjadi pada Suparlina. Warga Pandugo, Surabaya itu meninggal dengan kondisi luka pendarahan.
Suparlina menjalani aborsi di klinik dr Edward Armando pada Januari 2011. Nyawa Suparlina tak tertolong saat dibawa ke RS DKT Sidoarjo.
Alasan seseorang memutuskan aborsi bisa bermacam-macam. Mulai dari kesehatan, ekonomi, hingga hasil hubungan di luar nikah.
Namun, apa pun alasannya proses itu sebaiknya dilakukan dengan benar. Mengingat, proses yang tak semestinya bakal berakibat fatal bagi sang ibu.
Penegak hukum punya peran penting untuk menindak klinik aborsi ilegal. Pelaku mesti dijerat dengan hukuman berat agar menimbulkan efek jera.
Pemerintah daerah juga mesti memaksimalkan koordinasi di Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Mematikan lingkaran setan klinik aborsi ilegal butuh kerja sama semua pihak.
"Polisi kan punya intelijen, harusnya bisa koordinasi dengan Dinkes DKI via forum ini, untuk mengungkap kasus praktik aborsi. Nyatanya terjadi kelalaian (klinik aborsi beroperasi dalam waktu lama tanpa ketahuan)," kata pengamat hukum pidana, Fachrizal Afandi, kepada Medcom.id, Kamis, 20 Agustus 2020.
Kalau tidak, klinik-klinik itu tetap ada. Bukan tak mungkin di kemudian hari kita juga mendengar kabar Suparlina lainnya.
Jakarta: Praktik menggugurkan kandungan atau aborsi secara ilegal masih menjamur di Ibu Kota. Tahun ini saja, Polda Metro Jaya mengungkap tiga klinik yang membuka praktik aborsi ilegal.
Pelarangan aborsi sebetulnya diatur Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, undang-undang memberikan pengecualian.
Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 mengatur mereka yang dapat melakukan aborsi ialah adanya indikasi darurat kesehatan pada usia dini kehamilan yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin. Kemudian, janin menderita kelainan genetik berat.
Lalu, cacat bawaan yang tidak dapat disembuhkan sehingga sulit bagi janin untuk bertahan hidup di luar kandungan. Serta kehamilan akibat pemerkosaan yang menyebabkan trauma.
Meski begitu, aborsi legal juga diatur dalam aturan turunan. Aborsi hanya dapat dilakukan pada usia kehamilan paling lama 40 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT).
Sementara itu, pada korban pemerkosaan harus memiliki keterangan penyidik, psikolog, atau ahli lain. Mereka yang melanggar dapat dipidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar.
Ancaman hukuman yang tinggi rupanya tak membuat pelaku takut. Pelaku aborsi ilegal kambuhan.
Praktik klinik aborsi ilegal yang diungkap polisi pada September 2020 di Cempaka Putih, Jakarta Pusat pernah beroperasi pada 2002-2004 lalu tutup. Pengelola berinisial LA kembali membuka klinik pada 2017.
"Mereka (pelaku) belum pernah tertangkap dan mereka memang ada yang sudah lama, ada juga yang direkrut baru," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus di Jakarta, Kamis, 24 September 2020.